Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, lima tahun yang lalu, 29 Juli 2019, Presiden Joko Widodo teken surat Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti untuk Baiq Nuril. Kehadiran amnesti itu menjadi landasan hukum Nuril yang dijerat UU ITE dibebaskan. Jokowi meminta Nuril segera mengambil Keppres itu ke Istana.

Sebelumnya, mantan guru honorer SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu dilecehkan verbal oleh kepala sekolahnya, M. Nuril memiliki ide untuk merekam percakapan dan tersebar. M tak terima. M menjebloskan Nuril ke penjara dengan UU ITE.

Kasus Baiq Nuril kian menampilkan sisi buruk bagaimana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berkerja. UU ITE justru jadi ajian menjerat orang yang seharusnya jadi korban, justru dipaksa duduk di kursi pesakitan. Kondisi itu menjadi potret buruk hukum Indonesia.

Kasus itu bermula dari Nuril yang kerap dilecehkan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, M sedari 2012. Baiq pun sering dihubungi M lalu dengan leluasa menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya melalui sambungan telpon. Nada-nada pelecehan kerap diterimanya.

Gosip beredar. Nuril dianggap berselingkuh dengan M. Namun, Nuril tak terima. Ia membuktikan diri tak melakukan hubungan gelap. Ide merekam percakapan M muncul. Nuril merekam pembicaraan dengan M. Namun, rekaman pembicaraan M tersebar bukan atas kendalinya pada 2015.

Presiden Jokowi menerima Baiq Nuril di Istana Bogor pada 2 Agustus 2019. (ANTARA)

M yang mengetahui dirinya direkam tak terima. Ia melaporkan Nuril dengan UU ITE pada 2015. Baiq sempat mendekam di penjara pada 2017. Nuril pun dapat bebas kala Pengadilan Mataram memutuskan dia tak bersalah pada 27 Juli 2017.

Jaksa Penuntut Umum pun tak tinggal diam. Mereka mencoba melakukan upaya banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya Nuril diputuskan bersalah pada tahap kasasi pada 26 September 2018. Nuril juga terancam pidana penjara 6 bulan serta denda Rp500 juta. Apabila pidana denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

"Saya rasa ini tidak adil karena saya merasa... Bukan saya merasa, saya pastikan saya tidak bersalah sama sekali. Dari putusan Pengadilan Negeri di Mataram saya terbukti tidak bersalah. Saya mohon mudah-mudahan ada keringanan yang seringan-ringannya, atau saya berharap saya tidak ditahan," ucap Nuril sebagaimana dikutip laman CNN Indonesia, 13 November 2018.

Deru protes muncul dari mana-mana. Keputusan kasasi MA ditentang banyak pihak. Orang-orang menganggap Nuril adalah korban, bukan penjahat. Kasus Nuril pun sampai ke telingga Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi mengaku bersimpati. Namun, dirinya mengungkap tak dapat mengintervensi hukum. Jokowi mendukung Nuril untuk melakukan peninjauan kembali (PK). Hasilnya PK Nuril ditolak. Jokowi pun mulai tergerak.

Jokowi memberikan surat kepada DPR berisi permintaan pertimbangan permohonan amnesti untuk Nuril dan dikabul. Akhirnya, Jokowi secara resmi meneken Keppres amnesti untuk Nuril pada 29 Juli 2019. Artinya Nuril dapat menghirup udara bebas. Hukuman kepada Nuril resmi ditiadakan.

“Tadi pagi Keppres untuk Ibu Baiq Nuril sudah saya tanda tangani. Jadi, silakan Ibu Baiq Nuril kalau mau diambil di Istana silakan. Kapan saja sudah bisa diambil,” kata Presiden Jokowi sebagaimana dikutip laman Sekretariat Negara, 29 Juli 2019.