Ini Tiga Pasal Karet UU ITE yang Mesti Direvisi, Apa Saja Sih?
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto menyebut terdapat tiga pasal yang bermasalah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Hal ini menyusul rencana Presiden Joko Widodo yang ingin merevisi UU ITE. Sebab, selama ini banyak pihak menganggap sejumlah pasal yang multitafsir dan tidak adil.

Pertama adalah Pasal 27 ayat (1) tentang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. 

Pasal ini sayangnya sering menjerat mereka yang menyiarkan muatan yang melanggar kesusilaan. Sebab, kata Arif, dalam beberapa kasus justru korban malah yang menjadi terpidana. 

Misalnya ada orang punya konten intim. Konten itu didistribusikan. Problemnya, bukan hanya pelaku yang mendistribusikan konten itu, tapi juga dia yang merekam,  kemudian dijerat dengan pasal yang sebenarnya multitafsir ini," kata Arif dalam diskusi webinar, Jumat, 19 Februari.

Kedua adalah Pasal 27 (3) soal dugaan muatan informasi elektronik pencemaran nama baik. Menurut Arif, banyak perkara yang mestinya bisa diselesaikan lewat mediasi. Sayangnya, pasal ini membuka ruang pihak terkait untuk dipidana.

Ketiga adalah Pasal 28 ayat (2) soal ujaran kebencian dalam informasi atau dokumen elektronik yang menjurus ke suku, agama, ras, dan antaragolongan (SARA).

"Ini kalau saya misalnya salah ngomong atau salah salah ketik, sehingga saya share sesuatu yang ofensif terhadap orang lain. Mestinya, muatan-muatan penghinaan itu harus dibuat spesifik sehingga tidak seperti pasal karet," ucap dia.

Contoh kasus penyalahgunaan pasal multitafsir UU ITE ini terjadi pada Prita Mulyasari dan Baiq Nuril. Prita sempat dipidana karena dianggap mencemarkan nama baik RS Omni Internasional, Tangerang. Sementara, Baiq Nuril dianggap menyebarkan rekaman bermuatan asusila. Padahal, ia merupakan korban pelecehan dari pihak yang memolisikan dirinya.

"Kasus Prita ini akhirnya berakhir saat mereka mengajukan peninjauan kembali (PK) dan Baiq Nuril mendapat amnesti. Artinya, dia sekadar menganulir putusan terdahulu. Malah, esensi awalnya tidak tercover," pungkas dia.