Jika UU ITE Direvisi, Polisi Harus Jadi Pendengar yang Baik
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah bersiap untuk merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sejumlah pasal dalam UU ITE dianggap memiliki banyak pasal karet.

Pengamat politik Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menyambut baik wacana tersebut. Asal, jika UU ITE telah direvisi, kepolisian sebagai aparat harus jadi pendengar yang baik bagi masyarakat yang mengkritik kinerja pemerintah.

"Pemerintah harus membuka seluas mungkin bagi kanal publik untuk menjadikan pemerintah kita stabil dalam situasi serba sulit. Semua aparatnya diharapkan jadi pendengar yang baik," kata Ray pada Jumat, 19 Februari.

Ray menuturkan, saat ini masyarakat sudah ditimpa dengan berbagai persoalan. Mulai dari krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19, melemahnya kondisi perekonomian bagi warga yang terdampak kehilangan, serta kehilangan pekerjaan.

Maka, kata Ray akan menjadi beban permasalahan baru jika pemerintah membungkam kritik masyarakat, yang secara psikologis sedang tertekan dan butuh didengar.

"Jadi kalau keempatnya betul-betul sulit nah itu justru berbahaya. Bagi siapa? Bagi presidennya sendiri. Ekonominya gak jalan, penganggurannya makin besar, kemudian kesehatan juga terancam, saat bersamaan tidak bisa ngomong apa-apa, gak boleh mengkritik. Justru ini bahaya," ujarnya.

Tiga pasal karet yang mesti direvisi

Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto menyebut terdapat tiga pasal yang bermasalah dalam UU ITE. Pertama adalah Pasal 27 ayat (1) tentang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. 

Pasal ini sayangnya sering menjerat mereka yang menyiarkan muatan yang melanggar kesusilaan. Sebab, kata Arif, dalam beberapa kasus justru korban malah yang menjadi terpidana. 

"Misalnya ada orang punya konten intim. Konten itu didistribusikan. Problemnya, bukan hanya pelaku yang mendistribusikan konten itu, tapi juga dia yang merekam,  kemudian dijerat dengan pasal yang sebenarnya multitafsir ini," kata Arif.

Kedua adalah Pasal 27 (3) soal dugaan muatan informasi elektronik pencemaran nama baik. Menurut Arif, banyak perkara yang mestinya bisa diselesaikan lewat mediasi. Sayangnya, pasal ini membuka ruang pihak terkait untuk dipidana.

Ketiga adalah Pasal 28 ayat (2) soal ujaran kebencian dalam informasi atau dokumen elektronik yang menjurus ke suku, agama, ras, dan antaragolongan (SARA).

"Ini kalau saya misalnya salah ngomong atau salah salah ketik, sehingga saya share sesuatu yang ofensif terhadap orang lain. Mestinya, muatan-muatan penghinaan itu harus dibuat spesifik sehingga tidak seperti pasal karet," ucap dia.