Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka peluang dilakukannya revisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang selama ini dianggap memiliki banyak pasal karet.

Wacana revisi UU ITE ini disampaikan oleh Presiden Jokowi saat membuka Rapat Pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara, Jakarta. Melalui tayangan yang diunggah di YouTube Sekretariat Presiden pada Senin, 15 Februari, eks Gubernur DKI Jakarta itu meminta Kapolri Listyo Sigit Prabowo cermat dalam menangani pelaporan yang menggunakan UU ITE.

Selain itu, dia mengatakan, UU ITE dinilai tak memberikan keadilan maka pemerintah akan mengajukan revisi perundangan yang kerap dianggap mengekang kebebasan berpendapat. 

"Kalau UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya, saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini. Undang-Undang ITE ini. Karena di sinilah hulunya. Hulunya ada di sini. Revisi," tegas Jokowi di hadapan peserta Rapim TNI dan Polri tersebut.

"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda. Yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," imbuhnya.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD melalui akun Twitternya @mohmahfudmd, mengatakan pemerintah akan melakukan diskusi terkait inisiatif revisi undang-undang ini. Hal ini sekaligus menjawab kekhawatiran publik dengan adanya pasal karet dalam UU ITE tersebut.

"Jika skrng UU tsb dianggap tdk baik dan memuat pasal2 karet mari kita buat resultante baru dgn merevisi UU tsb. Bgmn baiknya lah, ini kan demokrasi," tulis Mahfud.

Sejumlah partai di DPR mendukung

Munculnya wacana revisi UU ITE ini kemudian ditanggapi oleh sejumlah partai di DPR RI. PKS melalui Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyatakan persetujuannya jika pemerintah ingin mengubah undang-undang ini.

Kata dia, jika revisi ini dilakukan hal ini sudah sesuai dengan pandangan mereka yang selama ini kerap mengusulkan revisi UU ITE dalam RUU Prolegnas.

"Rencana ini sejalan dengan pandangan kami yang beberapa tahun terakhir mengusulkan revisi UU ITE dalam RUU Prolegnas, meskipun kandas akibat kurangnya dukungan di parlemen. Karenanya, kami menyambut baik dan sangat setuju atas rencana revisi UU ITE," ungkapnya dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Selasa, 16 Februari.

Perubahan di dalam UU ITE, sambungnya, bisa memberikan rasa keadilan dan kenyamanan di masyarakat meski sudah agak terlambat hal ini dilakukan. Sebab, bila revisi ini selesai dibahas antara pemerintah dengan DPR hingga setahun atau dua tahun pembahasan maka UU ITE baru baru bisa diterapkan pada 2023 atau 2024 di penghujung masa jabatan Presiden Jokowi.

Apresiasi dan dukungan juga disampaikan oleh Fraksi PAN yang menilai ada pasal karet dalam perundangan tersebut.

"Fraksi PAN tentu senang jika pemerintah menginisiasi perubahan UU ITE tersebut. Biasanya, kalau pemerintah yang mengusulkan, birokrasi pelaksanaannya lebih mudah. Tidak berbelit. Apalagi, substansi perubahannya sudah jelas. Di DPR tentu tidak akan banyak dipersoalkan lagi," kata Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay.

Dia menyebut, seluruh fraksi di DPR RI sebenarnya telah melihat urgensi revisi UU ITE dilakukan. Sehingga, dia yakin ketika pemerintah mengajukan usulan tersebut ke parlemen akan disetujui oleh mayoritas fraksi.

Sementara anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan TB Hasanuddin menyebut, pemerintah memang ingin melakukan revisi terhadap undang-undang ini maka ppihaknya akan terbuka. Namun, sebagai Kapokja revisi UU ITE sebelumnya, dia menilai ada anggapan tak tepat jika perundangan ini dianggap mengandung pasal karet.

Dia membenarkan selama ini, ada dua pasal yang kerap jadi perdebatan yaitu Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2.

Hanya saja, Pasal 27 Ayat 3 yang berisi tentang penghinaan dan pencemaran nama baik sudah mengacu dan sesuai Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara, Pasal 28 Ayat 2 tentang menyiarkan kebencian pada orang atau kelompok orang berdasarkan SARA.

Sehingga, Hasanuddin menyebut, dua pasal ini perlu diperhatikan secara seksama oleh aparat penegak hukum supaya tidak ada kesalahan dalam penerapannya. 

Apalagi, Pasal 27 harusnya bersifat delik aduan sehingga mereka yang merasa dirugikan dapat melaporkan dan pelapornya harus yang bersangkutan bukan orang lain.

Tak hanya itu, Hasanuddin juga memaparkan penerapan Pasal 27 Ayat 2 harus dibedakan antara kritik dengan ujaran kebencian serta penghinaan. Ini juga berlaku bagi penerapan Pasal 28 Ayat 3 UU ITE.

"Kalau dicampuradukan antara kritik dan ujaran kebencian, maka saya rasa hukum di negara ini sudah tak sehat lagi," ungkapnya.

Ketegasan jika UU ITE tak mengandung pasal karet ini juga, kata Hasanuddin, juga didasari dari putusan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap dua pasal ini. "Hasilnya (saat itu, red) tak ada masalah," tegasnya.

9 Pasal karet yang harus direvisi 

Ke depan, jika pemerintah memang serius SAFEnet kemudian mencatat sembilan pasal karet yang harus dihapus dan diperbaiki dari perundangan tersebut. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto yang menanggapi pernyataan Mahfud MD melalui akun Twitternya.

"Prof @mohmahfudmd saya usul mulai dari 9 pasal bermasalah UU ITE ini. Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan karet dan ada duplikasi hukum. Selain itu ada juga pasal-pasal lain yang rawan persoalan/disalahgunakan dan perlu diperbaiki rumusannya," tulisnya di akun @DamarJuniarto.

Mengutip dari laporan SAFEnet, pasal-pasal karet di UU ITE ini wajib untuk direvisi karena multitafsir, bisa menimbulkan dampak sosial, dan beberapa di antaranya bahkan bisa menjerat kebebasan masyarakat dalam berkespresi. Adapun sembilan pasal tersebut adalah:

  • Pasal 26 Ayat 3 tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan. Pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
  • Pasal 27 Ayat 1 tentang Asusila. Rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online
  • Pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi. Rentan digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, jurnalis/media, dan represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden.
  • Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian. Rentan jadi alat represi minoritas agama, serta warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.
  • Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan. Rentan dipakai untuk mempidana orang yang mau melapor ke polisi.
  • Pasal 36 tentang Kerugian. Rentan dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
  • Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang Muatan yang Dilarang. Rentan dijadikan alasan untuk mematikan jaringan atau menjadi dasar internet shutdown dengan dalih memutus informasi hoaks.
  • Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang Pemutusan Akses. Pasal ini bermasalah karena penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
  • Pasal 45 Ayat 3 tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dibolehkan penahanan saat penyidikan.
  • Selain itu, secara spesifik lembaga ini juga mencatat terdapat  324 kasus hukum yang menjerat masyarakat, dengan UU ITE sebagai instrumennya. Seluruh angka itu dicatat dalam kurun waktu 2016 hingga Oktober 2020.

Dari keseluruhan pasal ini, Pasal 27 UU ITE jadi instrumen yang paling berbahaya karena menjadi alat yang paling banyak digunakan dalam memerkarakan seseorang dengan UU ITE. Disusul Pasal 28, yang banyak juga digunakan karena mengatur perihal ujaran kebencian.

Dari kedua pasal tersebut saja, pihak paling banyak memerkarakan orang lain dengan UU ITE adalah pejabat publik, instansi, dan aparat keamanan dan persentasenya mencapai 38 persen. Sementara korban dari penerapan pasal UU ITE sebagian besar adalah jurnalis, aktivis, warga, artis, hingga tenaga pendidikan.