JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkeinginan untuk merevisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ia juga akan menghapus pasal-pasal karet dalam UU ITE yang justru menimbulkan rasa tidak adil dalam berpendapat di ruang digital dan media sosial (medsos).
Setidaknya ada sembilan pasal-pasal karet yang diusulkan SAFEnet, jika UU ITE direvisi oleh pemerintah. Pasal-pasal ini ada yang perlu dihapus dan juga perlu diperbaiki kembali rumusannya.
"Prof @mohmahfudmd saya usul mulai dari 9 pasal bermasalah UU ITE ini. Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan karet dan ada duplikasi hukum. Selain itu ada juga pasal-pasal lain yang rawan persoalan/disalahgunakan dan perlu diperbaiki rumusannya," tulis Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto, Selasa, 16 Februari.
Prof @mohmahfudmd saya usul mulai dari 9 pasal bermasalah UU ITE ini.
Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan karet dan ada duplikasi hukum.
Selain itu ada juga pasal2 lain yg rawan persoalan/disalahgunakan dan perlu diperbaiki rumusannya. https://t.co/zaxmXAZlAi pic.twitter.com/ZsKf9W6ARX
— Damar Juniarto (@DamarJuniarto) February 15, 2021
Mengutip dari laporan SAFEnet, pasal-pasal karet di UU ITE ini wajib untuk direvisi karena multitafsir dan bisa menimbulkan dampak sosial. Beberapa di antaranya bahkan bisa menjerat kebebasan masyarakat dalam berkespresi:
1. Pasal 26 Ayat 3 tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan. Pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
2. Pasal 27 Ayat 1 tentang Asusila. Rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online
3. Pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi. Rentan digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, jurnalis/media, dan represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden.
4. Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian. Rentan jadi alat represi minoritas agama, serta warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.
5. Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan. Rentan dipakai untuk mempidana orang yang mau melapor ke polisi.
6. Pasal 36 tentang Kerugian. Rentan dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
7. Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang Muatan yang Dilarang. Rentan dijadikan alasan untuk mematikan jaringan atau menjadi dasar internet shutdown dengan dalih memutus informasi hoax.
8. Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang Pemutusan Akses. Pasal ini bermasalah karena penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
9. Pasal 45 Ayat 3 tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dibolehkan penahanan saat penyidikan.
BACA JUGA:
Secara spesifik, SAFEnet mencatat 324 kasus hukum yang menjerat masyarakat, dengan UU ITE sebagai instrumennya. Seluruh angka itu dicatat dalam kurun waktu 2016 hingga Oktober 2020.
Data Safenet mencatat korban UU ITE sebagian besar adalah jurnalis, aktivis, warga, artis, hingga tenaga pendidikan. Sehingga rencana Jokowi untuk merevisi UU ITE sangat diperlukan.
Dilihat secara spesifik, Pasal 27 UU ITE jadi instrumen yang paling berbahaya. Pasal yang mengatur perkara pencemaran nama baik ini jadi alat yang paling banyak digunakan dalam memerkarakan seseorang dengan UU ITE. Disusul Pasal 28, yang banyak juga digunakan karena mengatur perihal ujaran kebencian.
Dari kedua pasal tersebut saja, pihak paling banyak memerkarakan orang lain dengan UU ITE adalah pejabat publik, instansi, dan aparat keamanan. Persentasenya mencapai 38 persen.