Bagikan:

JAKARTA - Senin, 8 Februari, dalam sebuah tayangan publik, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba-tiba menagih peran aktif masyarakat untuk memberi kritik dan masukan pada pemerintahan yang ia pimpin. Pernyataan Jokowi ditanggapi nyinyir masyarakat luas. Di satu sisi, omongan Jokowi terasa melegakan bagi demokrasi. Tapi praktik dan kenyataan lapangan tak demikian.

Pernyataan itu Jokowi sampaikan dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020. Selain masyarakat luas, Jokowi juga mendorong penyelenggara layanan publik untuk terus meningkatkan kinerja.

"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi, lewat kanal YouTube Ombudsman RI, Senin, 8 Februari.

Semangat yang bagus dari Jokowi. Sekarang saatnya Jokowi mencabut sejumlah payung hukum yang berpotensi membungkam semangat publik yang kritis, begitu kira-kira keresahan yang disampaikan masyarakat Indonesia di Twitter.

UU Nomor 19 Tahun 2016 Juncto UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jadi yang paling banyak disoroti. UU ITE dianggap jebakan dari semangat kebebasan berpendapat. Begitu banyak kritik atau pun perbedaan pendapat yang berujung kriminalisasi. Senjatanya, ya UU ITE.

Memang, UU ITE bukan produk hukum yang dilahirkan Jokowi. UU ITE diterbitkan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008. Namun, di masa pemerintahan Jokowi, UU ITE makin mengerikan.

Lembaga nirlaba yang fokus pada isu kebebasan berekspresi, Safenet mencatat 324 kasus hukum yang menjerat masyarakat, dengan UU ITE sebagai instrumennya. Seluruh angka itu dicatat dalam kurun waktu 2016 hingga Oktober 2020.

Secara spesifik, Pasal 27 jadi yang paling berbahaya. Pasal yang mengatur perkara pencemaran nama baik ini jadi alat yang paling banyak digunakan dalam memerkarakan seseorang dengan UU ITE. Setelah Pasal 27, pasal lain yang banyak digunakan adalah Pasal 28 yang mengatur perihal ujaran kebencian.

Data Safenet mencatat korban UU ITE sebagian besar adalah jurnalis, aktivis, warga, artis, hingga tenaga pendidikan. Seluruh data ini dihimpun di periode 2008 hingga 2019. Dan bagian ini yang rasanya Jokowi perlu tahu: pihak paling banyak memerkarakan orang lain dengan UU ITE adalah pejabat publik, instansi, dan aparat keamanan. Persentasenya mencapai 38 persen.

Pelaku utama pembungkaman

Presiden Joko Widodo (Sumber: BPMI Setpres/Laily Rachev)

Data Safenet diperkuat dengan hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) yang beberapa bulan lalu baru diterbitkan: Oktober 2020. Studi itu menunjukkan tingginya angka intoleransi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam kebebasan berpendapat warganya.

Survei tersebut menunjukkan ada 57,7 persen masyarakat yang sepakat bahwa aparat semakin seenaknya menangkap warga negara yang menyuarakan pandangan politik berbeda dengan pemerintah. Survei tersebut dilakukan terhadap 1.200 responden melalui telepon pada 24 September hingga 30 September 2020.

"Publik menilai bahwa Indonesia makin tidak demokratis, semakin takut warga menyatakan pendapat, semakin sulit warga berdemonstrasi, dan aparat dinilai semakin semena-mena, maka kepuasan atas kinerja demokrasi semakin tertekan," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.

Indikator dalam survei ini juga menyoroti sulitnya warga negara menggelar demonstrasi. Hasilnya, 20,8 persen menyatakan sangat setuju. 53 persen responden menyatakan agak setuju warga makin sulit berdemonstrasi, dan hanya 19,6 persen responden yang tak setuju bahwa warga makin susah beraspirasi di jalan. Bagian paling kecil, 1,5 persen menyatakan tak setuju sama sekali.

Demonstrasi mahasiswa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja (Muhammad Iqbal/VOI)

Ironi besar negeri demokrasi juga muncul lewat reponden yang menyatakan setuju bahwa warga makin takut menyampaikan pendapat. Ada 21,9 persen responden menyatakan sangat setuju dan 47,7 persen agak setuju. "Survei menunjukan meningkatnya ancaman terhadap kebebasan sipil. Mayoritas publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat," katanya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti situasi ini, termasuk peran pemerintah sebagai pelaku utama pelanggaran toleransi berpendapat ini. Menurut Asfin, penggunaan aparat sebagai alat membungkam pendapat dan kritik nyata terlihat dalam pemerintahan Jokowi-Maruf.

Ada satu hal yang menurut Asfin menyebabkan kemunduran dalam demokrasi. Nafsu membangun pemerintahan Jokowi yang kerap tak dilandasi kematangan perencanaan dan pertimbangan-pertimbangan seperti aspek sosial, budaya, ataupun lingkungan jadi salah satu penyebab. Pemerintah tahu banyak kesalahan yang dilakukan. Dan narasi menyangkut kesalahan yang kerap dikritisi dapat berbahaya bagi stabilitas politik penguasa. 

"Kecenderungan pemerintah yang mengedepankan pembangunanisme begitu. Alasannya stabilitas," kata Asfin, dikutip dari artikel VOI berjudul "Hari Toleransi Internasional, Hari-Hari Penuh Intoleransi Berpendapat Nasional".

Di luar konteks hukum dan perundang-undangan, pengkritik juga sering menerima intimidasi. Eksekutif Direktur Safenet Damar Juniarto, dalam tulisannya di jurnal ASEANFocus menjelaskan adanya peningkatan serangan digital pada kelompok kritikus per Oktober 2020.

Serangan itu berbentuk macam-macam, mulai dari pembajakan akun media sosial, penerobosan akses pesan singkat instan, teror telepon dari nomor asing, doxing atau penyebaran data pribadi, pembajakan situs, hingga serangan troll yang termobilisasi.

Kritik berujung hukum

Jumat, 13 Maret 2020, seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta bernama Mohammad Hibun Payu atau Iss ditangkap puluhan personel polisi dari Polda Jawa Tengah. Ia ditangkap karena kritik yang ia lontarkan terhadap Jokowi lewat media sosial.

Kritik itu dianggap memuat ujaran kebencian. Kasubdit V/Siber Ditreskrimsus Polda Jateng AKBP Agung Prabowo, kala itu menyatakan, unggahan Iss yang dianggap bermasalah itu dilakukan pada 20 Januari 2020.

Atas unggahan itu, sejumlah orang melaporkan Iss. "Kami mendapatkan laporan pada 20 Januari 2020. Pelapor dan para saksi melaporkan di Polres Sukoharjo setelah melihat posting-an di Insta story akun @_belummati yang isinya menurut pelapor dan para saksi merupakan ujaran kebencian," kata Agung, 20 Maret 2020.

Iss melontarkkan kritik melalui media sosial yang intinya menyasar kebijakan Jokowi yang lebih mementingkan investasi dibandingkan kondisi rakyat. Iss menulis dalam fitur Story di Instagramnya: Entah apa dosa rakyat Indonesia sampai punya presiden laknat kayak Jokowi ini.

Jokowi memantau proyek Pelabuhan Patimban (Sumber: Setkab)

Iss dituduh melanggar Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meski begitu, Iss kemudian dibebaskan. Polisi menerima permohonan penangguhan penahanan setelah Iss meminta maaf dan mengaku menyesali perbuatannya.

Sebelum Hibun Bayu, pemerkaraan kritik juga dialami jurnalis yang juga pendiri Watchdoc, Dandhy Dwi Laksono. Ia ditangkap empat personel polisi di kediamannya di Bekasi pada 26 September 2019, sekitar pukul 22.45 WIB.

Dandhy ditangkap atas tuduhan menebar ujaran kebencian bernapas SARA. Kala itu, lewat akun Twitternya, @Dandhy_Laksono, ia mengunggah sejumlah foto terkait isu kekerasan dan rasisme di Papua. Dalam foto-foto itu Dandhy mengunggah beberapa keterangan.

Meski begitu, Dandhy kemudian dibebaskan usai menjalani pemeriksaan selama empat jam di Gedung Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Dandhy mengaku mendapat sejumlah pertanyaan yang intinya pendalaman soal motivasi dan kemungkinan keterlibatan pihak lain dalam kicauan Dandhy yang dianggap propaganda.

BERNAS lainnya