Profesi <i>Buzzer</i> Abu Janda Sejatinya Bukan Masalah Besar Asal Syarat dan Ketentuannya Dipenuhi
Abu Janda (Instagram/permadiaktivis2)

Bagikan:

JAKARTA - Perdebatan soal buzzer atau pendengung kembali bergulir setelah pegiat media sosial Permadi Arya alias Abu Janda terang-terangan mengaku menjadi buzzer Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019. Tak ada masalah sebenarnya dari pekerjaan buzzer, termasuk segala promosi ide dan barang fisik di media internet. Yang penting, para buzzer itu patuh dengan ketentuan yang berlaku.

Belakangan ini nama Abu Janda mencuat setelah menyebut Islam arogan di akun media sosial Twitternya. Pernyataannya itu keluar ketika sedang menimpali twit Ustaz Tengku Zulkarnain.

Pernyataan Abu Janda menjadi polemik. Bahkan Abu Janda terancam ditahan setelah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) melapor ke Bareskrim Polri. 

Belum beres soal masalah Islam arogan, Abu Janda kembali meramaikan ruang publik ketika mengaku menjadi buzzer Jokowi. Lewat program Blak-blakan yang tayang di detik, Abu Janda menceritakan asal-usulnya menjadi buzzer Jokowi. 

Mulanya Abu Janda mengaku prihatin melihat Jokowi yang sering difitnah sejak awal mula mencalonkan diri sebagai presiden. Sejak saat itu ia mulai rajin membela sang patron di media sosial. 

"Ketika mau Pilpres 2019, 2018 di-approach timses (tim sukses Jokowi) kita direkrut. Kita jadi salah satu influencer Jokowi ... Influencer kampanyenya. Cuma itu saat Pilpres," kata Abu Janda.

Ia mengaku mendapat gaji bulanan dari praktiknya mempromosikan kampanye-kampanye Jokowi. Namun ia tak mau sebut angka. "Kita tahu perlu dana besar untuk maju jadi Capres."

"Tapi perlu diluruskan, ini selesai Pilpres dibubarin. Enggak bener kalau dibilang sampai sekarang jadi buzzer," tutur Abu Janda.

Pasca Pilpres, Abu Janda mengaku konten-konten buatannya yang kerap membela pemerintah dibuat atas dasar suka rela. Soal polemik Undang-Undang Cipta Kerja misalnya, Abu Janda mengaku bangga telah membuat video yang viral mengenai penjelasan beleid yang dibuat dengan teknik omibus law itu.

"Karena waktu itu ada hoaks yang bilang omnibus law merugikan buruh. Aku bikin video yang menjelaskan pasal-pasalnya," kata Abu Janda.

Abu Janda (Foto: tangkapan layar)

Sah dengan syarat

Sebetulnya memang tak ada masalah dari pekerjaan yang dilakukan Abu Janda dan buzzer lainnya. Apalagi melihat bayarannya yang lumayan. Namun tetap saja, syarat dan ketentuan berlaku.

Pada dasarnya, prinsip buzzer menurut Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan dan Komunikasi (CISSReC) Pratama Pershada cuma ada dua, yakni yang berbayar dan yang tidak. Mereka yang berbayar ini yang bisa bergerak masif karena memang bisa membuat isu dengan alat dan akun-akun berpengaruh.

"Buzzer berbayar lebih rapi dengan isu yang disuplai dan akun yang bisa menakar sampai sejauh mana serangan lewat konten yang mereka buat," kata Pratama kepada VOI

Soal batasan dari tindak tanduk buzzer, kata Pratama semuanya sudah diatur dalam UU ITE, KUHP maupun UU lain. "Bila melanggar UU dan bisa dipidana ya itu harus ditegakkan."

Ketentuan berlaku

Ada beberapa persoalan yang penting untuk disoroti dari buzzer. Pertama masalah transparansi. Konten mana yang merupakan pesanan dari suatu institusi atau konten pribadi seyogyanya perlu dipisahkan.

Namun karena ranah transparansi ini menurut Pratama masih gamang, jadi tiada kewajiban yang mengharuskan seorang buzzer memberi tahu mana konten pesanan mana bukan. Berbeda dengan influencer atau pemengaruh yang jelas dia memposting produk dari bisnis advertoial dan endorse

"Buzzer memang lebih abu-abu, cara deliver kontennya juga lebih fleksibel. Bahkan bisa lewat ads atau fitur iklan medsos," kata Pratama. 

Namun untungnya, saat ini Facebook, salah satu alat buzzer menggelorakan pesanannya, sudah mendorong transparansi dengan menyertakan KTP dan NPWP bagi pengiklan yang kontennya cenderung sosial politik. "Jadi kita akan melihat keterangan siapa pengiklan beserta tulisan bersponsor," kata Pratama.

Selanjutnya soal argumentasi atau pernyataan si pendengung itu sendiri. Lagi-lagi ranah ini juga masih abu-abu menurut Pratama. 

Dalam contoh kasus penyerangan isu Komisi Perlindungan Korupsi (KPK) yang dianggap sarang Taliban misalnya, Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) menjelaskan para pendengung memang ingin menekan kelompok Penyidik Novel Baswedan. "Memberikan asosiasi jenggot panjang celana cingkrang di KPK identik dengan kelompok garis keras, sehingga memgurangi relevansi kepercayaan masyarakat terhadap mereka."

Kemudian dalam kasus Abu Janda yang menyebut Islam arogan, mantan Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti juga mendapat serangan dari para buzzer dengan menyertakan foto Susi dengan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan keluarga cendana. "Para buzzer menginginkan masyarakat punya persepsi bahwa bu susi sedang memainkan isu politik," kata Pratama.

Pratama menjelaskan, secara prinsip memang ada tugas buzzer untuk membentuk opini masyarakat. Lebih jauh, mereka bisa membentuk stereotip terhadap kelompok ataupun individu tertentu.

"Buzzer bukan hal yang dilarang namun tindakannya tidak boleh melanggar UU. Batasannya jelas. Kalau dalam kasus abu janda ada kawan seperjuangannya membela, itu hak mereka. Namun aparat sebagai pihak penegak hukum harus menyelesaikan kasusnya dengan proporsional agar tidak ada sentimen negatif dari masyarakat ke negara, dianggap tebang pilih misalnya," kata Pratama.

Abu Janda (Foto: Instagram @Permadiaktivis2)