Bagikan:

JAKARTA - Kemarin, 1 Februari, Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan tarif cukai rokok menjadi 12,5 persen. Pemerintah mengaku tujuannya untuk menekan angka perokok dari kalangan anak-anak dan perempuan. Padahal banyak pihak menyebut langkah itu tak tepat untuk menekan jumlah perokok. Satu-satunya alasan rasional dari kebijakan itu adalah: menambah penerimaan negara. Sudahlah, kenapa pula mengada-ada.

Sri Mulyani menjelaskan, aspek yang diperhatikan dalam kebijakan cukai rokok tahun ini yakni pengendalian konsumsi sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Selain itu juga terkait masalah tenaga kerja, petani tembakau, rokok ilegal, dan penerimaan negara.

"Pemerintah berharap dapat menurunkan prevalensi merokok pada anak-anak dan perempuan. Prevalensi merokok tercatat secara umum turun dari 33,8 persen menjadi 33,2 persen pada 2021," kata Sri Mulyani pada Kamis 10 Desember 2020.

Sementara itu, kata Sri Mulyani, untuk anak 10-18 tahun akan tetap diupayakan diturunkan sesuai target RPJMN. Adapun, targetnya yaitu menurunkan dari level prevalensi 9,1 persen ke 8,7 persen pada 2024. Pertanyaannya, efektifkah?

Perilaku merokok

Apabila harapan dari menaikan cukai rokok adalah menekan jumlah perokok, sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansyah tak melihatnya efektif. Menurut Tantan tak ada hubungannya antara orang yang merokok dengan kenaikan harga rokok.

Perilaku merokok, kata Tantan dihasilkan karena ada adiksi atau ketergantungan dari seseorang terhadap sebuah produk. Perilaku ini semakin kental karena menyimbolkan sesuatu. 

Secara denotatif perilaku merokok menunjukkan kedewasaan dan juga keberanian. Sementara secara konotatif, Tantan berpendapat merokok melambangkan pergaulan, relasi dan integrasi.

"Berdasarkan dua simptom semiotis tersebut, apakah merokok ada keterkaitannya dengan harga? Jawabannya jelas tidak ada. Sehingga bisa disimpulkan bahwa, semahal apapun rokok, tidak akan berpengaruh kepada menurunnya perokok," kata Tantan kepada VOI.

Ilustrasi foto (David Sarkisov/Unsplash)

Menurut Tantan, salah satu hal efektif untuk menekan jumlah perokok yakni hanya dengan hukuman. "Jika ada statement perokok akan dihukum berat, dipenjara, atau disuruh kerja sosial yg lama, saya yakin akan menurun."

Kata Tantan, bila upaya yang dilakukan untuk menekan jumlah perokok dengan menaikkan cukai rokok maka tak akan berkurang. Ia mencontohkan salah satu fenomena yang sudah lumrah terjadi yakni orang yang lebih menahan lapar agar tetap bisa merokok.

"Lagian, kalau rokok dimahalkan, yang untung malah pengusaha rokok. Jadi, merokok, jika dipandang berbahaya, harus negara yang turun langsung dengan instrumen hukum yang berat," pungkasnya.

"Sapi perah"

Senada, peneliti dari Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, rencana pemerintah meningkatkan tarif cukai hasil tembakau tidak cukup menurunkan prevalensi perokok di Indonesia. Kata Ahmad seperti dikutip Kontan, bila tarif cukai naik hanya akan berdampak ke penerimaan negara. 

"Kebijakan kenaikan tarif cukai akan terus berdampak negatif bagi industri. Industri hasil tembakau ini dibenci tapi diharapkan sebab kontribusinya besar buat penerimaan negara, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja cukup signifikan," kata Ahmad dalam seminar Akurat Solusi: Mengakhiri Polemik Kebijakan Cukai.

Sebenarnya menurut ekonom senior Enny Sri Hartati harga rokok di Indonesia tidak bisa dibilang murah. Tingkat keterjangkauan masyarakatnya juga cukup jauh. Menurutnya Indonesia adalah negara dengan tingkat keterjangkauan terhadap rokok paling tinggi ketiga di Asia dan 12 di ASEAN.

Aspek keterjangakauan ini yang menurut Enny perlu diperhatikan pemerintah. "Kenapa keterjangkauan ini penting karena kalau dikatakan mereka elastisitasnya, relatif elastis, maka mereka akan mencari substitusinya yang larinya ke rokok ilegal," ujar Enny dalam diskusi daring Akurat Solusi 'Kenaikan Cukai Tembakau:Solusi atau Simalakama? pada 12 Desember tahun lalu dikutip JPNN.

Persentase perokok usia dini jumlahnya terus meningkat sejak 2013. Hal itu diungkap peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Universitas Brawijaya, Imanina Eka Dalilah.

Lewat surveinya, Imanina menungkapkan, pada saat itu jumlah perokok usia dini sebesar 7,2 persen dan meningkat menjadi 8,8 persen pada 2016. Kembali meningkat pada 2018 sebesar 9,1 persen.

"Berdasarkan hasil survei menunjukkan sekitar 47 persen masyarakat perokok usia dini berasal dari kategori non-miskin. Dan 53 persen berasal dari pendapatan rendah," katanya.

Ketiban pulung

Kontribusi cukai termasuk rokok memang menjadi salah satu primadona terhadap penerimaan negara. Pada 2020 seperti dikutip laman Kemenkeu, kontribusi cukai tercatat sebesar 9,3 persen dari keseluruhan APBN. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan cukai tertinggi dibanding negara ASEAN lainnya. 

"Kalau kita perhatikan perbandingan dengan industri lainnya, maka persentase pajak industri sigaret ini sangat tinggi sekali. Dari Rp326 triliun pajak yang dikontribusikan dari industri sigaret ini adalah 61 persen atau sekitar Rp200 triliun," kata Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi.

Tapi mirisnya, para perokok di Indonesia sering kali ketiban pulung. Di satu sisi mereka menjadi "sapi perah" untuk menambal penerimaan negara, tapi di sisi mereka juga tersudutkan dalam hal jaminan kesehatan. 

Wacana-wacana untuk mengeluarkan para perokok dari tanggungan lembaga penjamin kesehatan santer terdengar. Pada 2019 misalnya, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie serius mencoret perokok dari daftar penerima bantuan Jaminan Kesehatan Semesta (Jamkesta) yang dibiayai Pemprov Gorontalo.

Seperti dikutip Kompas, Rusli telah menugaskan dinas teknis untuk mendata ulang penerima bantuan iruan yang terintegrasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tersebut. "Kita akan seleksi dan evaluasi kembali para penerima BPJS yang dibiayai provinsi. Tahun depan ada 200.000 orang," kata Rusli 2019 silam.