Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Penghantar Nikotin Indonesia (Appnindo) berharap tarif cukai hasil tembakau atau CHT, terutama untuk hasil produk tembakau lainnya (HPTL) seperti liquid vape alias rokok elektrik, tak naik tahun depan mengingat kondisi industri yang masih lesu akibat pandemi COVID-19.

Ketua Appnindo Roy Lefrans mengatakan, pada semester I 2021 penjualan HPTL sudah anjlok sampai 50 persen dan sampai akhir tahun ini diperkirakan penurunan penjualan tersebut bertambah sekitar 30 persen.

"Toko-toko banyak yang tutup permanen dan produsen akhirnya mengurangi produksi. Produksi yang turun, otomatis membuat produsen mengerem pemesanan cukai. Kami berharap pemerintah lebih bijaksana dalam menentukan kebijakan terkait cukai. Pilihan mempertahankan beban cukai adalah yang paling tepat untuk kondisi saat ini," ujar Roy dalam keterangannya, dikutip dari Antara, Selasa 14 September.

Selain itu, lanjut Roy, mempertahankan beban cukai HPTL juga dapat berguna untuk membatasi peredaran HPTL ilegal. Mengacu data Bea Cukai Kementerian Keuangan tahun 2018, tercatat ada 218 penindakan terhadap produk HPTL ilegal dengan nilai barang hasil penindakan (BHP) Rp1,59 miliar. Sedangkan pada 2019, penindakan menurun menjadi 104 kasus dengan nilai BHP Rp522 juta.

Hal itu sedikit banyak dinilai mencerminkan pelaku HPTL cukup patuh membayar cukai. Kenaikan beban cukai diharapkan tidak menimbulkan polemik baru terkait HPTL ilegal.

Sementara itu, Ketua Umum Koalisi Bebas TAR (Kabar) Ariyo Bimmo mengatakan, selain mempertahankan beban cukai untuk HPTL, pemerintah juga diharapkan membuat aturan cukai khusus bagi HPTL.

"Regulasi atau PMK khusus jelas perlu ada, karena produk HPTL memiliki profil risiko yang berbeda. Semangat pengawasan cukai adalah soal profil risiko. Saat risiko suatu produk lebih rendah, penghitungan seharusnya dibedakan dan lebih rendah," ujar Ariyo.

Ketentuan cukai HPTL masih diatur dalam PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Beleid tersebut mengatur cukai seluruh produk hasil tembakau.

Ariyo juga menambahkan, karena memilki sifat harm reduction, produk-produk HPTL bisa menjadi solusi alternatif bagi para perokok dewasa. Dia bahkan mendukung diberikannya insentif untuk produk-produk HPTL agar lebih mudah diakses oleh perokok dewasa agar dapat menurunkan prevalensi merokok.

"Pemerintah harus bisa melihat lebih luas. Kenaikan CHT bisa diimbangi dengan insentif untuk pelaku HPTL yang terus melakukan inovasi agar produknya bisa jauh lebih rendah risikonya. Sehingga perokok dewasa bisa mendapat akses produk rendah risiko," kata Ariyo.

Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah pun menyepakati hal itu. Ia mengatakan, ada urgensi keberadaan regulasi khusus HPTL karena pengguna HPTL yang makin banyak. Kini ditaksir ada sampai 2 juta pengguna HPTL di Indonesia.

"Jumlah pengguna HPTL ini makin banyak sehingga perlu dibuat regulasi tersendiri agar ekosistem industri juga bisa berkembang. Karena produk ini juga merupakan produk yang berbeda dari rokok, sehingga perlu diatur pula secara berbeda," ujar Trubus.

Trubus menambahkan, insentif juga menjadi hal yang penting karena pelaku HPTL mayoritas merupakan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan bersifat padat karya sehingga berperan penting dalam aspek penyerapan tenaga kerja. Insentif juga bisa diberikan terkait investasi di industri HPTL.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana meningkatkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2022 yang dilatarbelakangi oleh faktor kesehatan hingga tenaga kerja.

“Untuk CHT ada target kenaikan. Seperti biasa kami nanti akan menjelaskan kebijakan CHT begitu kita sudah merumuskan mengenai beberapa dalam penetapan tarif CHT,” katanya dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2022, Senin, 16 Agustus.

Di sisi lain, Sri Mulyani masih belum menjelaskan secara detail mengenai rencana kenaikan tarif CHT tersebut mengingat pemerintah harus merumuskan berbagai kebijakan terlebih dahulu.

Sri Mulyani menjelaskan rencana kenaikan tarif CHT ini didasarkan pada beberapa faktor, yaitu pertama dari sisi kesehatan karena sebagai langkah pengendalian prevalensi perokok anak.

Kedua yaitu dari sisi tenaga kerja terutama buruh yang bekerja di dalam Industri Hasil Tembakau (IHT) dan ketiga adalah mempertimbangkan keberlangsungan para petani tembakau.

Kemudian faktor keempat yaitu hitungan kenaikan tarif CHT terhadap penerimaan negara dan kelima adalah sebagai upaya pemberantasan rokok ilegal.