JAKARTA - Pemerintah resmi menaikkan cukai rokok sebesar 12,5 persen. Peraturan baru ini efektif berlaku mulai 1 Februari 2021. Keputusan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok di tengah pandemi COVID-19 menuai reaksi dari petani tembakau hingga pengusaha rokok. Mereka meminta pemerintah untuk membatalkannya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kenaikan cukai rokok yang dijadwalkan pada tahun 2021 mendatang, adalah untuk mengendalikan tingkat konsumsi rokok di Indonesia.
Selain itu, kata Sri, kebijakan ini merupakan komitmen pemerintah untuk terus berupaya menyeimbangkan berbagai aspek dari cukai hasil tembakau (CHT). Hal ini sesuai dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo untuk menekankan sumber daya manusia (SDM) maju serta Indonesia unggul.
"Harga rokok lebih mahal atau indeks keterjangkauannya naik dari 12,2 persen menjadi 13,7-14 persen. Sehingga rokok semakin tidak dapat terbeli," ujar Sri Mulyani dalam webinar, Kamis 10 Desember.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan, aspek yang diperhatikan dalam kebijakan cukai rokok tahun depan adalah pengendalian konsumsi sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Di mana prevalensi merokok khususnya usia 10 sampai 18 tahun ditargetkan turun 8,7 persen pada 2024.
"Pemerintah berharap dapat menurunkan prevalensi merokok pada anak-anak dan perempuan. Prevalensi merokok tercatat secara umum turun dari 33,8 persen menjadi 33,2 persen pada 2021," jelasnya.
Tak hanya itu, kebijakan dilakukan juga dalam rangka menjaga 158.552 tenaga kerja di pabrik rokok langsung terutama yang terkonsentrasi pada industri rokok kretek tangan.
Selain itu, pemerintah turut menjaga dari sisi petani penghasil tembakau dengan jumlah 526.389 keluarga atau setara 2,6 juta orang yang bergantung pada pertanian tembakau.
"Besaran kenaikan tarif cukai memperhatikan tingkat serapan tembakau dari petani lokal dengan demikian 526 ribu kepala keluarga yang menggantungkan hidup dari pertanian tembakau bisa tidak terancam oleh kenaikan cukai hasil tembakau (CHT)," katanya.
Menkeu merinci untuk industri yang memproduksi sigaret putih mesin (SPM) golongan I naik 18,4 persen, sigaret putih mesin golongan II A naik 16,5 persen, dan sigaret putih mesin naik II B naik 18,1 persen. Kemudian untuk sigaret kretek mesin (SKM) golongan I naik 16,9 persen, sigaret kretek mesin II A naik 13,8 persen, dan sigaret kretek mesin II B naik 15,4 persen.
Sementara itu, kata Sri Mulyani, untuk industri sigaret kretek tangan tarif cukainya tidak berubah atau tidak dinaikkan yang artinya kenaikannya nol persen karena memiliki unsur tenaga kerja terbesar.
"Dengan komposisi tersebut maka rata-rata kenaikan tarif cukai adalah 12,5 persen," ujarnya.
Pemerintah tidak melakukan simplifikasi golongan karena strategi yang diterapkan adalah pengecilan celah tarif antara SKM golongan II A dengan SKM golongan II B serta SPM golongan II A dan SPM golongan II B.
"Jadi meski kita tidak melakukan simplifikasi secara drastis atau menggabungkan golongan tapi kami memberikan sinyal ke industri bahwa celah tarif antara II A dan II B untuk SKM maupun SPM semakin diperkecil atau didekatkan tarifnya," jelasnya.
Sri Mulyani mengatakan untuk besaran harga banderol atau harga jual eceran di pasaran adalah sesuai dengan kenaikan dari tarif masing-masing kelompok tersebut.
Kenaikan Cukai Bikin Saham Perusahaan Rokok Kebakaran
Pasca kabar pemerintah menaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen, hal ini langsung berimbas pada harga saham dua emiten rokok nasional, PT HM Sampoerna (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM).
Kenaikan tarif cukai rokok ini dianggap tidak menguntungkan bagi HMSP dan GGRM karena kedua emiten tersebut mayoritas meraup pendapatan dari segmen SKM.
Berdasarkan data RTI yang dikutip VOI, saham HMSP tercatat anjlok 6,96 persen ke level Rp1.670 per lembar saham pada penutupan perdagangan Kamis 10 Desember. Sebelumnya pada penutupan perdagangan Rabu 9 Desember, saham HMSP berada di level Ro1.795 per lembar saham.
Adapun saham GGRM pada penutupan perdagangan hari ini, tercatat melemah 6,99 persen ke level Rp44.275 per lembar saham. Di hari sebelumnya, saham Gudang Garam berada di level Rp47.600 per lembar saham.
Petani Tembakau dan Perusahaan Rokok Minta Kenaikan Cukai Rokok Dibatalkan
Industri hasil tembakau (IHT), termasuk salah satu industri yang terpukul dan menderita akibat adanya wabah COVID-19. Padahal IHT merupakan salah satu industri strategis yang menggerakan ekonomi masyarakat. Selain menyerap jutaan tenaga kerja di industri rokok juga tenaga kerja di sektor perkebunan serta sektor turunan lainnya.
Karena itu menurut Ketua Gabungan Perusahaan Rokok Indonesia (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar, pemerintah seharusnya melindungi IHT dengan cara tidak menaikan cukai rokok di tahun 2021 mendatang.
Menurut dia, jika pemerintah tidak menaikan cukai rokok akan menyelamatkan ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja di sektor industri rokok dan perkebunan tembakau.
"Menyelamatkan IHT nasional merupakan bagian dari menyelamatkan perekonomian nasional agar perekonomian nasional tidak terseret ke jurang resesi," ujar Sulami dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis 15 Oktober.
Sebaliknya, menurut dia, pemerintah menaikkan cukai rokok hanya akan menambah beban industri nasional. Mengingat tahun 2019 lalu pemerintah sebagaimana tertuang dalam PMK (Peraturan Menteri keuangan) No. 152/ 2019 telah menaikkan cukai dan harga jual eceran rokok masing-masing sebesar 23 dan 35 persen.
"Perekonomian kita saat ini sedang mengalami resesi. Sementara di tahun 2021 itu kemungkinan baru masuk masa recovery atau pemulihan ekonomi. Apalagi wabah COVID-19 belum tahu kapan akan berakhir. Karena itu kami meminta tolong kepada pemerintah khususnya kementerian keuangan agar jangan membuat regulasi yang melemahkan Industri termasuk industri hasil tembakau. Harapan kami di tahun 2021 tidak ada kenaikan tarif ukai. Atau status quo. Tidak ada kebijakan yang menaikan tarif cukai rokok," tegas Sulami Bahar.
Sementara itu, pengurus Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Sahmihudin juga mendesak pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan menaikan tarif cukai di tahun 2021 mendatang. Alasannya, setiap kali pemerintah menaikan tarif cukai rokok, bukan hanya mengurangi jumlah penjualan rokok, tapi juga mengurangi produksi rokok itu sendiri.
Sahmihudin menambahkan, setiap 1 persen kenaikan tarif cukai yang dikeluarkan pemerintah, berakibat ribuan tenaga kerja di sektor perkebunan tembakau kehilangan jam kerja alias kehilangan mata pencahariannya.
"Dalam kondisi ekonomi yang sangat susah saat ini akibat wabah COVID-19 serta kenaikan tarif cukai tahun 2019 lalu, apabila pemerintah kembali menaikkan tarif cukai di tahun 2021, maka akan membuat perekonomian semakin sulit. Berimbas semakin menderitanya masyarakat petani tembakau di seluruh Indonesia," jelasnya.
Kenaikan Cukai Rokok di Tengah Pandemi Tak Wajar
Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok (GAPPRI) menilai keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) Tahun 2021 di masa pandemi COVID-19 merupakan hal yang tidak wajar. Angka kenaikan tarif rata-rata tertimbang 12,5 persen juga dinilai sangat tinggi. Kenaikan masing-masing layer berkisar antara 13,8 persen sampai dengan 18,4 persen.
"Tidak wajar sebab kinerja industri sedang turun akibat pelemahan daya beli, karena ada pandemi dan kenaikan cukai sangat tinggi di tahun 2020 kemarin. Apalagi saat ini angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih minus," ujar Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan, dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 10 Desember.
Menurut Henry, jika membandingkan kenaikan cukai saat ini dengan kondisi normal, di mana tahun-tahun lalu dalam posisi angka pertumbuhan ekonomi 5 persen dan inflasi 3 persen, kenaikan cukai rata-rata 10 persen sudah berdampak pada penurunan produksi IHT sekitar 1 persen
Kenaikan cukai yang sangat tinggi di tahun 2021 diperkirakan akan berdampak pada semakin maraknya rokok ilegal, kematian industri menengah-kecil, serta serapan bahan baku.
"Kenaikan cukai yang tinggi ini menyebabkan gap harga antara rokok ilegal dengan legal semakin jauh. Bertambahnya jumlah penindakan rokok ilegal dapat diartikan semakin maraknya rokok ilegal, bahkan terus meningkat akibat gap yang semakin tinggi," jelasnya.
Menurut Henry, industri belum mampu menyesuaikan dengan harga jual maksimal akibat kenaikan cukai tahun 2020 sebesar 23 persen dan HJE (Harga Jual Eceran) 35 persen. Di mana harga rokok yang ideal yang harus dibayarkan konsumen pada tahun ini seharusnya naik 20 persen, tetapi baru mencapai sekitar 13 persen. Artinya masih ada 7 persen untuk mencapai dampak kenaikan tarif 2020.
Karena itu, perkumpulan GAPPRI mengaku keberatan dengan kenaikan tarif cukai 2021 yang sangat tinggi tersebut. Meski keberatan, industri hasil tembakau menghormati keputusan pemerintah dan akan menaati kebijakan yang telah dibuat.