Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah mulai membuka opsi untuk merevisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebab, UU ini dinilai memuat pasal-pasal karet yang rawan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi dalam menyampaikan pendapat di media sosial. 

Wacana revisi UU ITE itu dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo. Ia mengaku bakal meminta DPR memperbaiki UU tersebut jika implementasinya tak berikan rasa keadilan.

"Semangat awal UU ITE adalah untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, dan produktif. Kalau implementasinya menimbulkan rasa ketidakadilan, maka UU ini perlu direvisi. Hapus pasal-pasal karet yang multitafsir, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," kicau Jokowi di akun Twitter resminya, Selasa, 16 Februari. 

Jokowi pun meminta agar kepolisian dapat merumuskan aturan dalam menafsirkan pasal-pasal dalam UU ITE agar semakin jelas. Polri, diminta Jokowi untuk dapat lebih selektif dalam menangani kasus-kasus UU ITE.

Di sisi lain, Jokowi sebelumnya juga meminta masyarakat lebih aktif dalam menyampaikan kritik dan masukan terhadap kerja-kerja pemerintah. Pada saat bersamaan, ia juga menginstruksikan penyelenggara layanan publik terus meningkatkan kinerja.

Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi malaadministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020.

Tentu semangat yang bagus dari Jokowi patut diapresiasi. Mengingat sejumlah payung hukum yang berpotensi membungkam semangat publik yang kritis, begitu kira-kira keresahan yang disampaikan masyarakat Indonesia di Twitter.

Pasalnya UU ITE selama ini dianggap sebagai jebakan dari semangat kebebasan berpendapat. Begitu banyak kritik atau pun perbedaan pendapat yang berujung kriminalisasi. Senjatanya, ya UU ITE.

"Sejak awal dalam berbagai kesempatan saya selalu katakan bahwa Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE, seharusnya dicabut," kata Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar dalam pesan singkatnya kepada VOI.

Fickar mengatakan, UU ITE dibuat dengan semangat untuk mengatur bisnis dan perdagangan melalui internet (online), sehingga tidak cocok jika UU ITE kemudian mengatur tentang pencemaran nama baik atau ujaran kebencian yang menyebabkan permusuhan antar suku, agama, ras dan antargolongan.

"Bisnis (jual beli) kan tidak mengenal agama atau suku. Justru Pasal 28 ayat (2) UU ITE itu mengaburkan substansi UU tersebut. Seharusnya ketentuan tersebut dihapus saja, karena sudah diatur dalam Pasal 310-311 KUHP (pencemaran nama baik)," paparnya.

Kemudian, sambung dia, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, pada praktiknya justru digunakan untuk membungkam suara-suara yang berbeda dan mengkritik pemerintah.

Pada pelaksanaan UU ITE ini, menurut Fickar, mengesankan seolah-olah penegak hukum, baik itu kepolisian dan Kejaksaan menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik. Demikian juga nampak proses pidana atas ketentuan pasal ini menjebak penegak hukum yang menggunakannya untuk mengejar pangkat dan jabatan baik di kepolisian maupun Kejaksaan.

"Jadi, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE sebenarnya meskipun sudah tidak cocok digunakan pada era demokrasi, tetap masih menjadi hukum positif dalam Pasal 156, 156A dan Pasal 157 UU Pidana (KUHP). Seharusnya dihapus saja agar masyarakat tidak saling melapor karena pengertian tindak pidananya sangat longgar," pungkasnya.