Bagikan:

JAKARTA - Kuasa Soeharto dan Orde Baru (Orba) meningkatkan pertumbuhan ekonomi tiada dua. Segala macam hal dapat 'disulap' sebagai bisnis yang menjanjikan. Ekspor pasir laut, misalnya. Bisnis itu mampu membuat Indonesia dan kroni Soeharto untung besar.

Namun, kerusakan lingkungan hidup akut jadi harga mahal yang harus dibayar. Masalah itu kemudian baru ditanggulangi pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Putri Soekarno itu menjelma bak juru selamat. Ia kemudian melarang kegiatan ekspor pasir laut.

Urusan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Soeharto jagonya. Ia berani membuka keran investasi yang besar bagi pengusaha. Dari dalam dan luar negeri. Siapa yang memiliki modal besar akan diutamakan untuk berinvestasi.

Kalau perlu dan memang perlu, Orba siap sedia menggunakan kekuatan militer demi mengamankan investasi. Langkah itu nyatanya efektif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat. Orba pun terus ‘menjual’ potensi sumber daya alam Indonesia ke banyak pihak.

Izin pertambangan dan ekspor pasir laut, misalnya. Izin itu diberikan secara besar-besaran kepada pengusaha. Orba memberikan izin kepada mereka yang tergabung dalam konsorsium yang dipimpin oleh kroni Soeharto atau bagian dari Keluarga Cendana sendiri.

Penambangan pasir laut yang dilakukan dalam skala besar akan merusak lingkungan. (Antara)

Pertambangan dan ekspor pasir itu dilakukan dengan skala besar. Pasir-pasir dikeruk dengan kapal pengeruk secara ilegal –kadang juga ilegal—untuk dijual ke Singapura dan negara-negara yang ingin reklamasi dalam waktu bertahun-tahun.

Gairah keuntungan itu membuat pemerintah bak tutup mata dengan kerusakan lingkungan hidup yang ada. Sebab, satu-satunya yang Orba pikirkan adalah pemasukan dan untung besar bagi kroni Soeharto. Kondisi itu terus berlanjut sekalipun Soeharto dan Orba runtuh. Tambang dan ekspor pasir laut selalu dianggap sebagai ladang uang yang tak boleh berhenti beroperasi.

“Tapi pada dasarnya, sistem oligarki itu terap bertumpu pada tiga pilar atau kaki yang sama, yakni istana, tangsi, dan partai penguasa. Di bawah Presiden B.J. Habibie, yang bisnis keluarganya jalin-menjalin sangat erat dengan bisnis keluarga Soeharto, keluarga Habibie dengan cepat berusaha menggeser peranan keluarga Soeharto dalam ekspansi bisnis oligarki ini, begitu Habibie memperoleh tongkat kekuasaan kepresidenan.”

“Ini, misalnya, dapat dilihat dari aktor utama dalam konsorsium pengekspor pasir laut dari Kepulauan Riau ke Singapura. Kalau di era Soeharto konsorsium itu dipimpin oleh Tommy Soeharto dan Anthony Salim, di era Habibie, tampuk pimpinan bisnis bernilai miliaran rupiah itu bergeser ke tangan Tharig Kemal Habibie,” ungkap George Junus Aditjondro dalam buku Korupsi Kepresidenan (2006).

Megawati Larang Ekspor Pasir Laut

Permintaan akan pasir laut makin hari makin meningkat. Semua karena banyak negara ingin melanggengkan reklamasi untuk meluaskan wilayahnya. Pemerintah pun mulai dilema. Satu sisi potensi ekonomi dari pertambangan pasir cukup tinggi. Sisi lainnya pertambangan pasir meninggalkan masalah yang tak kalah vital.

Indonesia mulai merasakan kerugian ekologis. Beberapa pulau-pulau kecil di sekitar Kepulauan Riau tenggelam. Fakta itu membuat ekosistem pesisir rusak parah. Apalagi, nelayan-nelayan yang biasanya mencari rezeki di laut justru tak dapat menikmati hasil laut akibat ekosistem rusak.

Sederet masalah itu kemudian diwariskan kepada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Presiden wanita pertama Indonesia itu mengamini banyak pertambangan pasir laut banyak membawa petaka.

Ia menganggap ekspor pasir laut banyak mudarat ketimbang manfaat. Negara lain dapat membangun, sedang Indonesia justru terpuruk karena kerusakan lingkungan hidup.

Megawati pun tak mau menunda-nunda untuk segera menghentikan sementara pertambangan dan ekspor pasir laut. Keputusan itu dikeluarkan Megawati lewat Instruksi Presiden (Inpres) No.3 tahun 2002. Ia meminta jajarannya untuk mengawasi dan mengendalikan urusan tambang dan ekspor pasir.

Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai Presiden Indonesia dari 2001-2004. (Antara)

Keputusan penghentian sementara itu ditindaklanjuti secara serius pada tahun berikutnya. Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mendukung penuh hal itu. Demikian pula dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Indonesia, Rini Mariani Soemarno. Rini bahkan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.

Surat itu menjadi awalan Indonesia berhenti mengekspor pasir laut ke negara-negara. Keputusan itu kemudian berlaku dalam waktu yang cukup lama. Alias hingga berumur 20 tahun. Sebab, setelahnya, Presiden Indonesia ke-7, Joko Widodo (Jokowi) mengizinkan kembali ekspor pasir laut pada 2023.

“Perkembangan elemen-elemen tersebut dapat menjadi cermin bahwa sektor kelautan dan perikanan dapat menjadi tumpuan dan harapan hidup bagi sebagian masyarakat Indonesia. Selain itu juga dapat menjadi indikasi bahwa geliat ekonomi sektor ini menjadi pilar pembangunan ekonomi Indonesia di masa mendatang.”

“Tambahan lagi, sejak berdirinya Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), ada beberapa kebijakan penting yang telah dihasilkan. Seperti UU Perikanan, peraturan dan perundangan pulau, dan wilayah pesisir, penutupan sementara usaha pasir laut, serta penataan harta karun bawah laut,” terang Menteri Kelautan dan Perikanan era 2001-2004, Rokhmin Dahuri dalam buku The Brave Lady: Megawati dalam Catatan Kabinet Gotong Royong (2019).