Bagikan:

JAKARTA - Laju pertumbuhan penduduk cukup tinggi di Singapura era 1970-an. Kondisi itu membuat Singapura mulai merasakan krisis lahan. Alih-alih untuk menambah ragam fasilitas seperti perumahan hingga perkantoran, tempat pembuangan sampah saja tak mempuni.

Insiasi pun diambil. Proyek reklamasi lahan digulirkan. Indonesia pun tergiur jadi pemasok pasir laut. Singapura pun takkan menolak tawaran Indonesia. Nyatanya kebijakan membawa hasil yang berbeda. Singapura untung, Indonesia buntung.

Peran Singapura dalam memainkan perekonomian dunia sudah kesohor sejak dulu kala. Posisi negara kecil itu tak dapat diremehkan. Mereka yang memimpin Singapura pun memiliki visi misi yang besar. Mereka memahami segala macam masalah yang ada di negaranya.

Pemahaman itu kemudian dirumuskan lewat kebijakan yang mempuni. Kondisi itu mulai terlihat pada era 1970-an. Perkembangan Singapura kala itu cukup pesat. Pembangunan ekonomi digelorakan dari berbagai bidang dari pariwisata hingga kesehatan.

Nyatanya kondisi itu membawa masalah baru. Laju pertumbuhan penduduk kian tinggi. Efek domino pun bermunculan. Lahan di Singapura semakin langka. Kelangkaan lahan itu menjelma jadi masalah serius.

Pemerintah pun melihat sendiri bagaimana kelangkaan lahan membuat kehidupan warga Singapura makin sulit. Singapura mulai terancam dengan naiknya angka pengangguran yang jadi biang keladi kemiskinan.

Seisi Singapura pun dianggap akan terkena imbasnya. Perihal pengelolaan sampah, misalnya. Tempat Pembungan Akhir (TPA) Lorong Halus hampir penuh. Belakangan jika tak ada gebrakan maka sampah-sampah yang ada takkan mampu ditangani.

Pemerintah Singapura tak mau kalah dengan keadaan. Empunya kuasa harus kuat jika tak mau tergerus zaman. Mereka mencoba menggelorakan ragam kebijakan. Pembatasan angka kelahiran pun dilakukan. Orang Singapura dibatasi hanya boleh punya dua anak.

Mereka yang mengikuti imbauan pemerintah dimudahkan hidupnya. Barang siapa yang menolak maka hidupnya semakin susah. Upaya-upaya seperti itu dilakukan untuk membuat Singapura berkembang pesat di masa depan.

“Singapura ukuran negeranya kecil. Negara itu kurang sumber daya alamnya dan selalu dikatakan dalam narasi nasional untuk menjelaskan mengapa orang Singapura harus bersyukur bahwa Negeri Singa masih eksis.”

“Hal itu menjawab pula mengapa orang-orang singapura harus bekerja keras dan tidak meremehkan kelangsungan hidup dan kemakmuran, dan mengapa pemerintah harus kuat, relatif tak tertandingi, terus berpikir dan merencanakan ke depan, dan melaksanakan dengan hati-hati,” ungkap Chao Rong Phua dalam buku Governing Cities: Asia's Urban Transformation (2020).

Pasir dari Indonesia

Pemerintah Singapura tak henti-hentinya bekerja keras. Mereka mencoba mencari solusi terkait kelangkaan lahan. Alhasil, perdebatan dan perenungan panjang di antara lingkup pejabat membuahkan hasil. Mereka sepakat membutuhkan pasir laut untuk membangun daratan baru – reklamasi.

Mereka pun mencari negara yang bersedia memberikan pasir lautnya untuk ditambang. Negara-negara yang bersedia antara lain Indonesia, Myanmar, dan Malaysia. Namun, Singapura condong memilih Indonesia.

Pertimbangan itu dilakukan karena lokasi Indonesia dekat dan pemerintah Orde Baru (Orba) yang menjamin investasi. Keran ekspor pasir Indonesia dibuka. Pemerintah Indonesia pun mencoba memberikan izin kepada birokrat dan pengusaha untuk menambang pasir di Kepulauan Riau.

Ekspor pasir laut ke Singapura pun berlangsung sedari 1970. Hasilnya Singapura untung sekalipun harus merogoh kocek yang dalam.

Wilayah Singapura hingga tahun 2000-an awal bertambah sekitar 20 persen. Singapura pun memanfaatkan pasir laut dari Indonesia untuk mereklamasi delapan lokasi yang jadi tempat wisata, lahan pertanian, tempat pengelolaan sampah, hingga pusat penelitian perikanan.

Aktivitas penambangan pasir laut yang sudah terjadi di Indonesia sejak 1970. (Wikimedia Commons)

Tahun 2001 saja, total Singapura sudah mendapat 8 miliar kubik pasir dari Riau. Keuntungan pasir yang dikirim ekspor ke Singapura justru tak dirasakan oleh negara. Pemerintah saja harus menelan pil pahit karena kehilangan lima pulau kecil di sekitar Riau.

Masalah lainnya yang hadir seperti problema di era maskapai dagang Belanda, VOC. Uang yang masuk ke kas pemerintah justru minim. Sedang mereka para individu birokrat dan pengusaha mendapatkan hasil maksimal. alias bak ketiban durian runtuh.

Kondisi itu membuat Singapura untung. Sedang Indonesia buntung. Bedanya VOC bangkrut dan bubar. Namun, budaya korupnya bak masih tertinggal karena terus diadopsi pejabat Indonesia. Keran Ekspor pasir laut kemudian dihentikan pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada 2003. Megawati menganggap ekspor pasir banyak mudarat, ketimbang manfaat.

“Andaikan pantai Jakarta diuruk dari bibir pantai ke arah laut sejauh satu kilometer dengan urukan sedalam sepuluh meter, jumlah yang dikirim ke Singapura itu bisa menutup bibir pantai di Ibu Kota tadi sampai pantai Surabaya! Jarak keduanya 800 kilometer! Yang diuntungkan ternyata bukan kas Pemerintah Daerah Riau—yang wilayahnya sudah "babak-belur" dijarah setiap hari.”

“Delapan bulan terakhir tahun lalu, Riau hanya menerima pe-masukan pajak ekspor Rp18,2 miliar, padahal pasir yang dikirim nilainya Rp14 triliun. Pajak itu hanya 0,13 persen! Data enam bulan pertama tahun ini juga sama saja. Pajak yang diterima Riau cuma Rp73,4 miliar dari ekspor yang Rp47 triliun. Cuma 0,15 persen. Segelas dari satu drum air. Si Penikmat bagian terbesar bisnis ini, siapa lagi kalau bukan pengusaha dan birokrat,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Bisnis Tanah Air di Riau (2001).