Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, kebijakan ekspor pasir laut sangat salah untuk diterapkan.

Sebab, dia bilang belum ada yang dapat memastikan bagaimana membedakan pasir dan sedimen yang akan dieskpor.

Seperti diketahui, Indonesia membuka kembali keran ekspor pasir laut setelah mendapat lampu hijau dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ekspor pasir laut sendiri sempat dihentikan sejak 20 tahun lalu. Meski begitu, Jokowi menegaskan yang diperbolehkan adalah sedimen bukan pasirnya.

“Wah salah banget itu. Ini kan peraturannya udah lama dibekukan ya, kita sudah melihat dampak lingkungannya itu sangat tinggi,” katanya ditemui di Sarinah, Jakarta, Kamis, 19 September.

“Meskipun sekarang cover-nya adalah, ini kan sedimen. Ketika diekspor ke Singapura misalnya, itu siapa yang bisa membedakan ini hasil sedimen atau pasir laut? Kita kan gak tau. Siapa yang bisa mengontrolnya?,” sambungnya.

Menurut Fithra, tidak tepat pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi dari ekspor pasir laut tetapi malah mengorbankan masalah lingkungan. Dia menilai ini adalah pertimbangan intertemporal.

“Kita kan bisa mengejar pertumbuhan ekonomi, bisa mengejar ekspor, tanpa harus kemudian mengorbankan lingkungan. Karena yang paling penting kita lakukan adalah pertimbangan intertemporal. Artinya apa? Sekarang kita bisa menikmati, nanti anak cucu kita juga bisa menikmati,” katanya.

Fithra khawatir jika pasir laut terus dikeruk dalam waktu yang panjang untuk kebutuhan ekspor, bisa menyebabkan berkurangnya jumlah pulau di Indonesia.

“Jangan sampai nanti, sekarang ya oke dikeruk segala macam. Tapi nanti pulaunya udah gak ada. Jangan-jangan nanti Pulau Riau tahun 2045 udah hilang. Karena dikeruk semua,” ucapnya.

Meksi begitu, Fithra tak menampik ekspor pasir laut memang bisa mengerek penerimaan negara. Namun, dia menekankan hal tersebut tidak akan berlaku jangka panjang sebab komoditas itu tidak memiliki nilai tambah.

“Kita ekspor itu kan sudah beralih paradigmanya dari produk mentah. Nah ini apalagi masa pasir yang kita ekspor. Itu tidak ada nilai tambahnya, sudah gitu merusak lingkungan,” katanya.

Selain itu, Fithra mengatakan kebijkan eskpor pasir laut ini juga bisa berdampak buruk kepada citra Indonesia di mata negara maju. Sebab, hal tersebut tidak selaras dengan konsep ekonomi hijau atau green economy.

“Sangat tidak sejalan. Makanya kalau misalnya kita mau bicara dengan Uni Eropa dan segala macam, itu pasti akan menjadi perhatian,” jelasnya.

Sekadar informasi, kebijakan ekspor pasir laut ini berlaku usai Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mendapat usulan dari Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) agar merevisi dua Peraturan Menteri Perdagangan di bidang ekspor.

Kementerian Perdagangan mengimplementasikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut serta tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan merevisi dua Peraturan Menteri Perdagangan di bidang ekspor.

Revisi tersebut tertuang dalam ‘Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor’ dan ‘Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor’.

“Revisi dua Permendag ini merupakan amanah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 serta merupakan usulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai instansi pembina atas pengelolaan hasil sedimentasi di laut,” ungkap Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim.

Meksi begitu, Isy menekankan, ekspor pasir laut hanya dapat dilakukan setelah memenuhi kebutuhan dalam negeri.

“Ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dapat ditetapkan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” urainya.