JAKARTA – Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut makin jauh dari semangat perlindungan lingkungan dan lebih mementingkan kepentingan oligarki dan pengusaha seusai membuka keran ekspor pasir laut setelah 20 tahun dilarang.
Jokowi kembali menerbitkan izin ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Sebelumnya, ekspor pasir laut dianggap ilegal selama 22 tahun terakhir. Di era Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2002, ekspor laut dilarang pemerintah.
Ekspor pasir laut kembali legal setelah Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI merevisi dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).
Revisi tersebut tertuang dalam Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor yang diteken Mendag Zulkifli Hasan.
Namun kebijakan ini langsung memicu kritik dari berbagai kalangan. Mulai dari dugaan motif politik, kerugian negara, sampai tentu saja pegiat lingkungan. Kebijakan ini dinilai akan memicu kehancuran ekosistem laut, meningkatkan erosi pantai, merusak terumbu karang, dan menimbulkan hilangnya biodiversitas laut.
Mementingkan Oligarki dan Pengusaha
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, pasir laut adalah bahan galian pasir yang terletak pada wilayah perairan Indonesia yang tidak mengandung unsur mineral golongan A dan/atau golongan B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan.
Presiden Jokowi bersikukuh bahwa yang akan diekspor bukan pasir laut, melainkan sedimentasi yang mengganggu jalur layar kapal.
“Sekali lagi, itu bukan pasir laut, ya. Yang dibuka itu sedimen, sedimen. Yang mengganggu alur jalannya kapal," kata Jokowi, mengutip Antara.
Pemerintah mengklaim ekspor pasir laut dapat meningkatkan pendapatan negara. Namun menurut studi yang dilakukan Lembaga riset yang fokus di bidang ekonomi dan kebijakan publik CELIOS, menemukan bahwa dampak negatif pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp1,22 triliun, dan pendapatan masyarakat akan menurun hingga Rp1,21 triliun.
Jadi studi ini menunjukkan, klaim pemerintah bahwa ekspor pasir laut akan meningkatkan keuntungan ekonomi dan pendapatan negara adalah berlebihan.
Bukan hanya soal keuntungan ekonomi dan pendapatan negara yang dianggap “mengada-ada”, pembukaan kembali ekspor pasir laut diyakini sangat berdampak pada lingkungan.
Para pegiat lingkungan khawatir pembukaan kembali izin ekspor tersebut oleh Jokowi memicu kerusakan lingkungan yang masif di wilayah pesisir.
Dalam laman resminya, Greenpeace Indonesia menyebut aturan ini semakin mendambah daftar panjang kebijakan Jokowi yang jauh dari semangat perlindungan lingkungan dan lebih mementingkan kepentingan oligarki dan pengusaha.
Greenpeace Indonesia menolak keras keputusan pemerintah membuka kembali keran ekspor pasir laut tersebut karena hanya akan merusak ekosistem laut dan pesisir, serta mengancam kehidupan nelayan serta masyarakat pesisir.
“Sejak tahun lalu ketika Jokowi pada 15 Mei 2023 mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang membolehkan pengisapan pasir laut ataupun sedimennya di luar wilayah pertambangan, sudah banyak kritik yang disampaikan oleh masyarakat, nelayan, akademisi hingga peneliti. Sudah kami prediksi dari awal bahwasanya rezim Jokowi tidak akan peduli dengan kritik dan tidak akan berpihak pada lingkungan,” kata Ocean Campaign Leader Greenpeace Indonesia, Afdillah Chudiel.
BACA JUGA:
Penambangan pasir laut dapat merusak ekosistem laut, menghancurkan habitat keanekaragaman hayati, serta memperparah abrasi pantai dan banjir rob.
Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah penambangan pasir di Kepulauan Spermonde, lepas Pantai Makassar pada 2020, di mana kapal dredging asal Belanda, Queen of the Netherlands, melakukan pengerukan pasir laut yang merusak wilayah tangkapan nelayan.
“Penambangan pasir dapat merusak wilayah tangkap nelayan, menurunkan produktivitas, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kelangkaan pangan,” kata Afdillah.
Pemerintah Lakukan Greenwashing
Senada, Pengamat ekonomi dan energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mendesak pemerintah menyetop kebijakan ekspor pasir laut. Fahmy mengatakan, ekspor pasir laut akan memicu dampak buruk terhadap kerusakan lingkungan dan ekologi laut.
“Menyebabkan tenggelamnya pulau yang membahayakan bagi rakyat di pesisir pantai, dan meminggirkan nelayan yang tidak dapat melaut lagi,” kata Fahmy.
Sebelumnya, pemerintah bersikeras PP 26/2023 dibuat untuk memulihkan ekosistem laut yang terdampak oleh sedimentasi. Namun Afdillah menuturkan, peraturan tersebut merupakan bentuk greenwashing atau pembungkusan kebijakan yang merusak dengan label pemulihan lingkungan.
Karena meski bertujuan sebagai pemulihan ekosistem laut, ternyata sebagian besar isi regulasi tersebut mengatur mekanisme perizinan dan penambangan pasir daripada pemulihan lingkungan.
“Sampai hari ini kita belum melihat bagaimana wujud upaya pemulihan lingkungan yang digadang-gadang sebagai tujuan utama dari peraturan tersebut, justru kita disuguhi oleh aturan-aturan yang malah melancarkan proses usaha ekspor pasirnya, bukan pemulihan lingkungannya,” jelasnya.
Afdillah menegaskan regulasi ini bukan solusi bagi pemulihan lingkungan, melainkan langkah mundur yang hanya menguntungkan segelintir elite dan berisiko memperburuk krisis ekologis serta ketidakadilan sosial.
“Pemerintah harus segera mencabut peraturan ini dan fokus melindungi lautan kita, serta berhenti mengeksploitasi lautan kita secara serampangan seperti yang terjadi selama ini,” ujar Afdillah memungkasi.