JAKARTA – Rano Karno menjalani debut kampanye menjelang pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta pekan lalu. Kemunculan Rano Karno di Pilkada Jakarta kemudian dikaitkan dengan etnis Betawi.
Rano Karno menyambangi Balai Warga Sanusi Konte, Jagakarta, Jakarta Selatan, Rabu (25/9/2024). Dalam kesempatan tersebut, Organisasi Kebudayaan dan Kepemudaan Pemuda Kaum Betawi (PK Betawi) secara resmi menyatakan dukungan kepada pasangan nomor urut tiga, Pramono Anung-Rano Karno yang diusung PDI Perjuangan.
Lahir di Jakarta pada 8 Oktober 1960, Rano Karno menghabiskan masa sekolahnya di ibu kota. Namun sebenarnya, ia merupakan keturunan Minang yang didapat dari sang ayah, Soekarno M.Noer. Sosok Rano Karno sangat dekat dengan etnis Betawi setelah ia secara sukses memerankan sinetron Si Doel Anak Sekolahan di era 1990-an.
Masykur Isnan, Ketua PK Betawi mengatakan suara etnis Betawi tidak bisa dihilangkan dalam setiap Pilkada Jakarta. Masyarakat Betawi, dikatakan Isnan, memiliki peran penting dalam mensukseskan pilkada dan menjalankan pemerintahan ke depan.
“Untuk konteks Jakarta, masyarakat Betawi terbukti memiliki andil dan bargaining yang besar bagi para pemenang di kontestasi Jakarta,” ujar Masykur Isnan kepada VOI.
Etnis dan Agama Bukan Alasan Utama
Suku Betawi merupakan penghuni awal Jakarta yang diperkirakan muncul pada abad ke-17. Terdapat beberapa pandangan berbeda mengenai aal muasal suku Betawi sendiri. Beberapa tokoh menyebutkan bahwa suku Betawi muncul dari hasil interaksi antar etnis dan bangsa di masa lalu yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Tjahjono (2003) menyatakan bahwa suku Betawi lahir dari perpaduan berbagai kelompok seperti Sunda, Melayu, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon dan Tionghoa.
Namun seiring berjalannya waktu, jumlah etnis Betawi di Jakarta makin berkurang. Menurut sejumlah kalangan, hal ini disebabkan kehadiran masyarakat dari berbagai daerah yang mendatangi Jakarta.
Jika dulu pernak-pernik Betawi masih sangat mudah ditemukan, euforia tersebut sudah sedikit berkurang. Hal ini ditegaskan lewat sensus penduduk tahun 2010 yang menyatakan suku Betawi di Jakarta tercatat hanya 28,65 persen. Etnis Betawi masih kalah jumlahnya dibandingkan etnis Jawa yang mengisi Jakarta hingga 46,64 persen. etnis lain yang mengisi Jakarta adalah Sunda 14,8 persen, Tionghoa 6,71 persen, dan sisanya etnis lain.
Jika dikaitkan dengan konteks pertarungan di Pilkada Jakarta, para kandidat memperebutkan suara pemilih yang multi etnis tersebut. Di Amerika Serikat yang memiliki sejarah demokrasi yang sangat panjang, analisis pengaruh etnis dan agama terhadap preferensi pemilih dalam memilih partai atau kandidat presiden banyak dilakukan.
Per Research Center dalam banyak kajiannya menemukan bahwa pemilih kulit putih protestan di AS menjadi pendukung utama Partai Republik, sedangkan Partai Demokrat pemilihnya lebih beragam dari sisi etnis dan agama, termasuk etnis hispanik dan pemilih kulit hitam.
Di Pilkada Jakarta, tidak hanya pemilihnya yang beragam, tapi juga kandidatnya dengan latar belakang etnis yang berbeda. Tahun ini, Ridwan Kamil yang notabene asli suku Sunda akan bertarung di Jakarta, sedangkan wakilnya, Suswono asli Jawa Tengah. Demikian pula dengan Pramono Anung yang merupakan asal Jawa, serta calon independen Dharma Pongrekun yang kelahiran Palu bakal didampingi Kun Wardana, pria kelahiran Jakarta. Ini merupakan fenomena bagus terhadap demokrasi Indonesia.
Namun, temuan survei Alvara Research Center menyebutkan, persoalan etnis dan agama selalu berada di urutan terbawah dalam menentukan siapa kandidat yang akan dipilih para pemilih di setiap pemilu. Pemilih rupanya mempertimbangkan kapabilitas dan kapasitas kandidat yang mereka plih.
Hasanuddin Ali, Founder and CEO Alvara Research Center, tak menampik bahwa memang ada pemilih yang memilih karena ada kesamaan etnis dan agama. Tapi perlu diingat preferensi memilih karena faktor etnis dan agama adalah preferensi paling “primitif” dalam pemilu.
"Jadi silahkan kandidat atau pendukungnya berkampanye menggunakan etnis dan agama sebagai dasarnya, meskipun itu bukan satu-satunya jalan, misal kandidat muslim silahkan mengajak pemilih muslim untuk memilih dirinya," ucapnya, dilansir laman Alvara Research Center.
"Yang tidak boleh anda lakukan menggunakan persoalan etnis dan agama untuk menyerang kandidat yang lain, Anda tidak boleh dilarang mengatakan “Jangan pilih kandidat yang lain karena dia kafir, atau “jangan pilih dia karena dia muslim”, dan seterusnya," lanjutnya.
Peran Masyarakat Betawi di Pilkada
Masykur Isnan menegaskan, suara Betawi, termasuk anak muda dan masyarakat Betawi secara luas, tidak bisa dihilangkan dihilangkan atau dikesampingkan oleh para kontestan untuk menarik atau memperoleh ceruk suara elektoral yang tinggi.
Betawi di sisi lain adalah masyarakat lokal Jakarta yang juga harus mendapatkan porsi maksimal dalam penentuan kebijakan publik yang nantinya yang akan diambil, dibuat, diimplementasikan oleh para pemimpin Jakarta nantinya. Masyarakat Betawi juga memiliki peranan penting dalam mensukseskan Pilkada dan mensukseskan jalannya pemerintahan ke depan.
“Karena mereka tidak hanya sebagai subjek, tapi juga objek yang relevan untuk menjadi titik tolak bagaimana nanti kebijakan itu diambil yang tepat guna untuk masyarakat asli Jakarta," katanya.
"Untuk konteks Pilkada, masyarakat Betawi terbukti memiliki andil dan bargaining yang besar bagi para pemenang di kontestasi Jakarta,” Mayskur Isnan menjelaskan.
Saat deklarasi dukungan PK Betawi untuk pasangan Pramono Anung-Rano Karno, gerakan sendal jepit dideklarasikan sebagai simbol persatuan dan kesederhanaan dalam politik. Rano Karno yang hadir langsung dalam deklarasi, mengatakan gerakan tersebut datang dengan sendirinya dari masyarakat.
BACA JUGA:
Masykur Isnan, figur yang mendeklarasikan gerakan sendal jepit menuturkan beberapa alasannya memilih alas kaki yang identik dengan kesederhanaan ini sebagai simbol.
“Pertama kami ingin menampilkan politik yang riang gembira, politik yang penuh suka cita dengan demikian partisipasi publik diharapkan akan lebih maksimal di kontestasi pilkada kali ini,” jelasnya.
“Kedua ingin menghilangkan stigma negatif, terutama di pilkada sebelumnya yang sangat kental konfrontasinya, sehingga menimbulkan gesekan sosial di masyarakat,” Isnan menambahkan.
Selain itu, dengan menggunakan sendal jepit sebagai simbol kampanye, Masykur Isnan ingin menampilkan bahwa politik tidak selalu menelan biaya yang tinggi, salah satunya dengan penggunaan alat peraga kampanye (APK) yang multifungsi, efektif, dan efisien.
“Secara hasil assessment, sendal jepit juga memiliki value yang luar biasa di masyarakat luas. Selain multifungsi, juga memiliki makna-makna tesendiri di antaranya menampilkan kesejateraan, menampilkan kesetiaan, bentuk yang egaliter,” tandasnya.