JAKARTA – Sosiolog UNJ, Asep Suryana menilai gelombang penolakan terhadap Ridwan Kamil tidak akan berkembang menjadi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) seperti ketika kasus Ahok di Pilkada 2017 silam.
“Isu kesukuan Betawi tidak cukup kuat menggoyang RK. Suku Betawi itu sudah minoritas di Jakarta. Hanya simbol politiknya yang terlihat di Jakarta, yaitu kesenian ondel-ondel. Adanya Sentra Kebudayaan Betawi di Setu Babakan dan juga adanya Bamus Betawi. Tapi, secara jumlah, cuma sedikit,” terangnya, Senin 16 September 2024.
Selain itu, isu kesukuan tidak dapat dijadikan komoditas politik mengingat tak satu pun kandidat gubernur yang asli Betawi. Rano Karno, misalnya, hanya populer sebagai orang Betawi di layar kaca. Padahal, Rano keturunan Minangkabau.
BACA JUGA:
“Meskipun, isu pribumi ini seksi bagi suatu instrumen politik. Rano memang sukses mencitrakan dirinya sebagai anak Betawi. Tapi, Rano itu bukan orang Betawi. Jadi, ini hanya isu simbolik yang enggak signifikan pengaruhnya,” tambah Asep.
Dia berharap, para pasangan calon yang berlaga di Pilkada Jakarta 2024 fokus menyerap aspirasi kaum miskin kota dan menghadirkan solusi untuk pemukiman layak huni, pendidikan, serta lapangan kerja. Jangan sampai, para elite politik malah kebablasan memainkan isu pribumi yang bisa kembali memicu ketegangan antarpendukung yang berujung polarisasi.
“Kalau mau memainkan isu ini, maka bijaksanalah. Bukan menawarkan sentimen seperti dulu saat Pilkada DKI 2017. Tapi, lebih kepada solusi. Jumlah rakyat miskin kota itu banyak sekali di Jakarta Utara, dan Jakarta Barat,” tukasnya.
“Di sisi lain warga Jakarta juga jangan mudah terjebak untuk memainkan politik identitas. Baik kontestan atau pemilih harus sama-sama menekankan langkah-langkah konkret apa yang bisa dikerjakan demi kemajuan Jakarta,” sambung Asep.