Bagikan:

JAKARTA – Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendapat lampu hijau untuk menambh jumlah Kementerian dan lembaga setelah DPR resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Kementerian Negara dalam Rapat Paripurna pekan lalu.

Salah satu klausul yang diubah adalah jumlah Kementerian yang dapat dibentuk oleh presiden yang akan datang. Dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, sebelumnya diatur presiden dapat membentuk Kementerian maksimal sejumlah 34. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 15 beleid tersebut. Sedangkan dalam beleid baru, Pasal 15 tidak lagi membatasi presiden dalam membentuk kementerian yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Dengan perubahan tersebut, presiden terpilih Prabowo Subianto memiliki keleluasaan untuk menambah jumlah kementerian sesuai keinginannya.

Rapat pengambilan keputusan Badan Legislasi DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (9/9/2024). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)

Tak lama setelah ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2024, beredar kabar Prabowo Subianto akan menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 41. Belakangan, jumlahnya disebut-sebut kembali bertambah menjadi 44.

Ketua MPR sekaligus politikus Golkar Bambang Soesatyo mengaku sempat mendengar obrolan “warung kopi” soal ini. Bahkan, PAN disebut bakal menjatah lima dari 44 kursi menteri.

Tiga Badan setelah Badan Gizi Nasional

Wacana penambahan kementerian atau lembaga begitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik pada 20 Oktober mendatang menimbulkan pro kontra. Dari kacamata pengamat politik, rencana ini disebut sebagai ajang bagi-bagi kue atau “politik dagang sapi” dari presiden terpilih, seperti yang diungkapkan Aisah Putri Budiarti, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Ia mencium ada kepentingan membentuk kabinet gemuk supaya Prabowo bisa mengakomodasi partai-partai pendukung dan relawan yang sudah membantunya memenangkan pemilu. Apalagi, wacana penambahan jumlah kementerian juga berbarengan dengan momen bertambahnya jumlah partai politik yang merapat ke Prabowo.

Rencana penambahan kementerian yang terendus adalah Kementerian Perumahan, yang sempat dibocorkan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo. Dengan begitu, bidang perumahan yang sekarang tergabung dalam Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akan dipisah seperti dulu.

Prabowo juga disebut akan menambah tiga badan setelah Badan Gizi Nasional dibentuk di pengujung era Presiden Jokowi. Setelah Badan Gizi Nasional, Prabowo katanya akan membentuk Badan Pengelola Pengendali Perubahan Iklim dan Tata Niaga Karbon (BP3I-TNK).

Kemudian Badan Penerimaan Negara (BPN), salah satu badan setingkat kementerian, yang diharapkan dapat mendongkrak penerimaan pajak dan non-pajak negara. Kehadiran BPN diharapkan dapat menambah rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 23 persen.

Presiden Joko Widodo (kanan) menyalami Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana (kiri) disaksikan Kepala BPOM Taruna Ikrar seusai pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Senin (19/8/2024). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/rwa. (ANTARA/Sigid Kurniawan)

“Kalau saat ini kan penerimaan dan pengeluaran itu masih di satu kementerian, yaitu Kementerian Keuangan. Kebijakan fiskal sepenuhnya ada di sana,” kata Kamhar Lakumani, politikus Partai Demokrat yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus. 

“Ini yang penting untuk dilakukan transformasi struktural ya. Ada misalnya Badan Penerimaan Negara supaya bisa lebih optimal dalam memotret dan mengapitalisasi semua potensi-potensi penerimaan negara.”

Sementara satu badan lainnya, sempat dibocorkan Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Ferry Latuhihin, kemungkinan yang berurusan dengan Bulog atau pangan. 

Perlu Dikaji Ulang

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan penambahan kementerian dan lembaga untuk menampung program yang sudah direncakan tidak masalah, selama tidak mengganggu tugas pokok dan fungsi atau tupoksi kementerian eksisting. Namun, ia tak menampik hal ini pasti akan menambah beban anggaran negara, yang memang menurutnya lebih banyak digunakan untuk belanja non-produktif.

“Ini memang hak prerogatif presiden, tapi harus dikaji lebih dalam, apakah menimbulkan inefisiensi dalam koordinasi dan sebagainya,” kata Huda kepada VOI.

"Yang harus dilakukan adalah mengkaji apakah perlu badan atau kementerian baru ketika eksisting saat ini sudah cukup," ia menambahkan. 

Menurut Huda, dengan jumlah kementerian sebelumnya tidak efektif menyelesaikan permasalahan. Ia mencontohkan Kementerian Perumahan yang tidak menyelesaikan backlog perumahan.

“Selain itu Bekraf yang tidak efektif dan dilebur lagi di Kementerian Pariwisata. Jadi, harus ada hitungan yang matang,” ujarnya.

Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf) dibentuk Presiden Joko Widodo pada periode 2014-2019, untuk memisahkan tugas-tugas ekonomi kreatif dari Kementerian Pariwisata.

Bekraf merupakan badan yang berada satu level di bawah kementerian yang berfungsi memperkuat sektor ekonomi kreatif, termasuk perlindungan bagi karya kreatif seniman Indonesia. Namun mulai 2019, Jokowi malah melebur Bekraf dengan Kementerian Pariwisata.

Lebih lanjut, ia berharap penambahan kementerian ini tidak didasari atas permintaan jatah politik. “Jangan sampai tujuannya adalah akomodir permintaan jatah parpol (partai polisi politik),” imbuhnya.

Hal senada diungkapkan Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta. Ia mengatakan pembentukan K/L baru oleh Prabowo berpotensi menambah beban keuangan negara karena harus mengalokasikan dana untuk membangun infrastruktur fisik, operasional, dan penggajian pegawai baru. padahal keuangan negara seharusnya dialokasikan untuk program pembangunan yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat, seperti pendidikan dan kesehatan.

Pembentukan K/L baru malah berpotensi menambah kerumitan dan menghambat koordinasi dalam pemerintahan.

"Dalam konteks birokrasi yang sudah kompleks, penambahan struktur baru sering kali malah menambah tumpang tindih fungsi, memperlambat pengambilan keputusan, dan meningkatkan risiko kebingungan dalam pelaksanaan kebijakan," katanya.