JAKARTA – Banyaknya masyarakat yang menggunakan rel kereta api sebagai tempat aktivitas menjadi bukti minimnya ruang publik di berbagai daerah di Indonesia. Kasus orang yang tertabrak kereta juga bisa menjadi contoh kelalaian pemerintah soal keselamatan warga.
Tragedi mengenaskan terjadi Km 88+700 petak jalan Cikampek-Tanjung Rasa, Dusun Daring, Desa Pangulah Selatan, Kecamatan Kotabaru, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Minggu (22/9/2024).
Di sanalah empat orang warga Kabupaten Karawang meninggal dunia akibat tertabrak Kereta Api Fajar Utama jurusan Pasar Senen-Solo. Diketahui empat korban meninggal yang tertabrak kereta di Karawang adalah AA (37), MAI (7), S (63), dan TA yang usianya belum diketahui. Tiga korban ditemukan tergeletak di sekitar Lokasi kejadian, sedangkan TA tersangkut di lokomotif dan ikut terbawa sejauh 20 km hingga ke Subang.
Berdasarkan video yang beredar di media sosial, korban tengah merekam momen Kereta Api Kertajaya jurusan Surabaya-Pasar Senen yang melintas sambil melambaikan tangan di jalur rel lain.
Tapi di saat bersamaan, melintas KA Fajar Utama Solo dari arah berlawanan dan langsung menabrak empat orang tersebut. Padahal menurut saksi mata, dua kereta api tersebut sudah membunyikan suling lokomotif berulang kali, tapi tidak diindahkan warga.
Selepas kejadian, PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan tegas melarang masyarakat beraktivitas di jalur kereta api, kecuali untuk kepentingan operasional. Hal ini dilakukan semata-mata demi keselamatan dan meminimalkan kecelakaan serta perlindungan tergadap pengguna transportasi itu.
Rel Kereta Api Harus Steril
Larangan beraktivitas di rel kereta api sebenarnya sudah diatur Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Secara umum, larangan tersebut dimuat dalam Bab XV pasal 178 sampai Pasal 185.
Larangan itu cukup spesifik mulai dari larangan membangun gedung, membuat tempat, menanam jenis pohon, menempatkan barang di jalur kereta api sampai larangan melakukan kegiatan di jalur kereta api.
Sementara larangan melakukan kehiatan di jalur kereta api termuat dalam Pasal 179 yang berbunyi: "Setiap orang dilarang melakukan kegiatan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran tanah di jalur kereta api sehingga mengganggu atau membahayakan perjalanan kereta api."
Pelanggaran terhadap larangan yang tertera pada Pasal 179 dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp250 juta.
Meski larangan beraktivitas di rel kereta api diatur dalam undang-undang, kenyataannya masih banyak masyarakat yang melanggar. Pengamat transportasi sekaligus Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menegaskan, seperti halnya jalan raya, jalur kereta api juga berbahaya sehingga tidak bisa digunakan untuk tempat beraktivitas warga.
Untuk kasus yang terjadi di Karawang, Deddy menilai warga mengabaikan keselamatan diri. Sebagai orang dewasa, mereka seharusnya lebih waspada dan memperingatkan anak-anak agar tidak bermain di lintasan kereta api. Namun pemahaman dan sosialisasi soal keselamatan diri masih minim.
Hal senada juga diungkapkan pengamat transportasi lainnya, Djoko Setijowarno. Ia mengungkapkan warga seharusnya bisa menghindari kejadian tersebut.
“Ini jadi kesalahan warga, apalagi di sana ada orang dewasa yang ikut, seharusnya bisa dihindari. Ini Pelajaran untuk warga, jangan mepet di rel, jaga anak-anak,” ucap Djoko melalui pesan singkat kepada VOI.
“Pemda perlu lakujan sosialisasi keselamatan di sepanjang jakur KA utk mengingatkan warga,” imbuhnya.
Kelalaian Struktural
Menurut warga, Lokasi kejadian tabrakan merupakan tempat favorit warga bersantai dan berolahraga di pagi dan sore hari karena suasananya menyejukkan di dekat persawahan.
Sebenarnya, kejadian kereta api menabrak warga di lintasan bukan kali ini saja terjadi. Di hari yang sama kejadian di Karawang, warga Kelurahan Gunung Gajah, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan dihebohkan dengan penemuan jasad seorang pemuda diduga tewas ditabrak kereta api.
Menurut petugas KAI, korban tertabrak KA Sindang Marga jurusan Linggau-Palembang. Warga sekitar menyebut pada malam kejadian korban nongkrong di TKP bersama teman-temannya. Namun, ia telat menghindar saat kereta api dari arah Lubuk Linggau menuju Palembang melintas.
Sebelumnya, pria berinisial AYD (24), di Grogol, Jakarta Barat juga tewas tertabrak saat berolahraga di jalur kereta. Saat kejadian, korban memakai headset sehingga diduga tidak sadar datangnya kereta. Lalu pada 2021, seorang bocah berinisial D (16) tewas tertabrak kereta api di perlintasan kereta api di kawasan Kampung Peninggaran Timur RT 03 RW 09, Kebayoran Lama Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
BACA JUGA:
Sejumlah kejadian tabrakan di rel kereta menurut Dosen Perencanaan Wilayah Kota (PWK) sekaligus pengamat transportasi dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, tidak semata-mata karena kelalaian perorangan.
Ia justru menyoroti kebiasaan warga yang mengubah rel kereta menjadi ruang rekreasi atau tempat aktivitas. Menurutnya, ini menjadi bukti bahwa pemerintah daerah gagal menyediakan ruang publik yang layak bagi masyarakat.
Karena tidak mempunyai ruang terbuka yang memadai, akhirnya masyarakat memanfaatkan jalur kereta api untuk berkumpul. “(Kawasan sekitar rel kereta) itu jadi bentuk ruang untuk bersosialisasi yang distrukturkan atau dibentuk akibat kurangnya ruang terbuka bagi publik,” jelas Yayat.
Yayat berpendapat, kasus tersebut merupakan bentuk kelainan kultural yang menyebabkan kelalaian struktural.
“Apabila dilihat dari dua sisi, itu termasuk kelalaian struktural dan kultural. Jadi dari satu sisi peraturan dari Pemda untuk mengingatkan tidak optimal, di sisi lain ada kebiasaan masyarakat untuk berkumpul yang tidak memahami makna bahaya,” tambah Yayat.
Menurut Yayat, kasus orang yang tertabrak kereta juga bisa jadi contoh kelalaian pemerintah yang mengabaikan keselamatan warga. Tak hanya keselamatan di sekitar jalur kereta api, anak-anak yang bermain bola bersama teman-temannya di jalan raya juga merupakan contoh yang tidak dapat diabaikan.
Ia menyayangkan ketiadaan ruang publik, sehingga memaksa anak-anak memakai jalan raya untuk tempat bermain. Yayat menyampaikan, fenomena tersebut terjadi karena kurangnya ruang publik sekaligus minimnya edukasi keselamatan oleh pemerintah.