JAKARTA – Masyarakat Indonesia harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli beras. Tapi sayang, melambungnya harga beras ternyata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan para petani.
Bank Dunia mengatakan harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal dibandingkan harga beras di pasar global. Bahkan, harga beras dalam negeri merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN.
Wold Bank Country for Indonesia and Timor-Leste, Carolyn Turk mengatakan tingginya harga beras di Indonesia disebabkan beberapa kebijakan yang diteken pemerintah, salah satunya terkait dengan pembatasan impor non-tarif. Meski bermaksud melindungi sektor pertanian, kebijakan pembatasan impor non-tarif ini justru dianggap sebagai biang kerok melejitnya harga beras dalam negeri.
“Untuk melindungi pertanian, 95 persen impor sektor pangan diatur melalui tindakan non-tarif, termasuk pembatasan kuantitatif dan tindakan non-tarif lainnya seperti tindakan sanitasi, fitosanitasi, hambatan teknis, inspeksi pra-pengiriman, dan sebagainya. Hal ini mendorong kenaikan harga beras di Indonesia,” jelas Carolyn dalam Indonesia International Rice Conference (IIRC) 2024 di Bali Nusa Dua Convention Center, Jumat (20/9/2024).
Hanya Kalah dari Brunei
Tingginya harga beras di Indonesia sudah menjadi perbincangan hangat, terutama dalam setahun ke belakang. Kemarau yang panjang, bahkan hingga fenomena El Nino disebut-sebut sebagai salah satu penyebab mahalnya harga beras.
Menurut data Seasia Stats pada 2023, harga beras di Indonesia dibanderol Rp12.632 sampai Rp33.179 per kg. Harga ini hanya kalah dari Brunei Darussalam yang harga beras termurahnya Rp36.665 sampai yang tertinggi Rp68.157 per kg.
Jika melihat sekilas, harga beras di Indonesia memang jauh lebih murah dibandingkan Brunei Darussalam. Namun perlu dicatat bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia dan Brunei juga jomplang, sehingga memengaruhi daya beli. Merujuk data ASEAN Statistical Yearbook 2022, PDB per kapita Indonesia adalah 4.358 dolar AS per tahun atau sekitar Rp66,2 juta pada 2021, sedangkan Brunei berada di angka 32.398 dolar AS (Rp493 juta). Dengan kata lain, pendapatan per kapita Brunei Darussalam tujuh kali lipat lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
Sementara itu, harga beras di ASEAN jika diurutkan dari yang paling rendah dimulai dari Vietnam (Rp4.871-8.524 per kg), Kamboja (Rp5.480-7.611 per kg), Malaysia (Rp6.392-10.199 per kg), Laos (Rp7.610-38.052 per kg), Filipina (Rp10.045-22.070 per kg), Timor Leste (Rp11.415-19.026 per kg), Singapura (Rp12.632-79.144 per kg), dan Thailand (Rp13.698-35.006 per kg).
Pernyataan Bank Dunia bahwa harga beras di Indonesia konsisten menjadi yang tertinggi di kawasan ASEAN menjadi perhatian pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori. Ia menyebut tingginya harga beras di Indonesia karena diproduksi oleh petani kecil atau gurem dengan ketersediaan lahan yang makin menyempit. Merujuk BPS, konsep petani gurem adalah perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan usaha pertanian dengan penguasaan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar.
BACA JUGA:
Menurut hasil Sensus Pertanian 2023, rumah tangga usaha pertanian gurem meningkat signifikan dari 14.248.864 rumah tangga pada 2013 menjadi 16.891.120 rumah tangga pada 2023 atau naik 15,68 persen. Jika dihitung berdasarkan petani pengguna lahan, jumlah petani gurem mencapai 17.248.181 petani. Ketika total petani pengguna lahan sebanyak 27.799.280, maka 62,05 persen petani di Indonesia termasuk petani gurem.
“Kondisi seperti ini tidak ditemukan di negara-negara yang dijadikan perbandingan Bank Dunia,” ucap Khudori.
Ia sendiri tidak membantah klaim Bank Dunia. Namun, menurutnya, World Bank sama sekali tidak pernah menyinggung kondisi usaha tani secara utuh di Indonesia yang menyebabkan harga beras terus melonjak. Khudori menuturkan, jika dilihat dari struktur usaha tani padi, sekitar 75 sampai 80 persen tersedot untuk dua pos yaitu sewa lahan dan ongkos tenaga kerja. Sementara kedua posi ini di negara lain yang dijadikan pembanding oleh World Bank porsinya tidak sebesar di Indonesia.
"Fakta yang disampaikan Bank Dunia memang benar, tapi narasinya tak utuh bahkan berbelok," katanya.
Petani Gurem Meningkat
Sayangnya, petani di Indonesia dianggap belum mencapai kesejahteraan. Bahkan meski harga beras dalam negeri melambung tinggi, hal ini tidak sebanding dengan pendapatan petani lokal. Carolyn mengutip data hasil Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), yang mengungkap rata-rata pendapatan bersih petani skala kecil hanya sekitar Rp5,16 juta setahun.
Angka ini jauh di bawah rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) Indonesia pada 2024 yaitu sebesar Rp37,26 juta per tahun atau Rp3,11 juta per bulan. Hal ini turut menjadi perhatian World Bank.
“Menurut Survei Pertanian Terintegrasi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, pendapatan rata-rata petani kecil kurang dari 1 dolar AS per hari atau 341 dolar AS per tahun. Jadi, petani mendapat keuntungan rendah dari pertanian padi,” tutur Carolyn.
Biaya produksi beras yang semakin mahal dianggap sebagai salah satu yang menyebabkan petani Indonesia jauh dari kata sejahtera. Meski harga gabah di tingkat petani tengah naik, namun karena biaya produksi yang tinggi maka tidak otomatis meningkatkan pendapatan petani, menurut pengamat pertanian Syaiful Bahari.
Laman BPS merilis harga gabah di tingkat petani pada Agustus 2024 mengalami kenaikan. Gabah Kering Giling (GKG) naik 2,04 persen menjadi Rp6.723 per kg dan Gabah Kering Panen (GKP) naik 1,58 persen menjadi Rp6.230 per kg.
Sementara itu Andi Irawan, Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu, dalam kolomnya di media massa pernah juga menyoroti peningkatan jumlah petani gurem di Indonesia. Ia mengatakan, ukuran kepemilikan lahan bisa menjadi tolok ukur dari kemiskinan. Ukuran lahan yang diperlukan per rumah tangga petani padi, jagung, dan kedelai untuk mencapai pendapatan setara atau di atas Garis Batas Kemiskinan BPS masing-masing minimal 0,65 hektar, 1,12 hektar, dan 0,74 hektar.
Peningkatan jumlah petani gurem juga berarti tantangan yang makin besar untuk menjaga ketahanan pangan secara berkelanjutan. Karena seperti diketahui, aspek ketersediaan pangan sangat tergantung pada produktivitas usaha tani pangan.
“Peningkatan jumlah petani gurem ini mengindikasikan masalah dan hambatan baik dalam konteks meningkatkan kesejahteraan petani maupun dalam menghadirkan ketahanan pangan, apalagi kalau isu yang ditonjolkan adalah ketahanan pangan tanpa impor,” tulis Andi Irawan.
“Ketahanan pangan tanpa impor menjadi isu populis para politisi tanpa pernah mengatasi sumber penyebab yang salah satunya adalah jumlah petani gurem yang masif ini,” ujar Andi Irawan lagi.