Bagikan:

JAKARTA – Merek wadah makan plastik asal Amerika Serikat, Tupperware, resmi bangkrut. Perusahaan mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11 karena tak lagi bisa bertahan ketika penjualan terus menurun. Sebelumnya, Tupperware berhasil menjadi merek favorit ibu-ibu di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Tupperware mengumumkan telah mengajukan kebangkrutan pada Pengadilan Kepailitan A untuk Distrik Delaware pada Selasa (17/9/2024) jelang tengah malam waktu setempat, setelah sebelumnya merek ini meragukan kemampuan untuk tetap menjalankan bisnis pada Agustus di tahun yang sama.

Saat pandemi COVID-19, penjualan Tupperware sebenarnya sempat meningkat, namun situasinya justru berubah setelah pandemi berakhir.

"Perusahaan tersebut memiliki utang sebesar 812 juta dolar AS (sekitar Rp12,4 triliun)," bunyi berkas pengadilan dikutip Reuters.

"Para pemberi pinjaman baru telah berupaya menggunakan posisi utang mereka untuk menyita aset Tupperware termasuk kekayaan intelektualnya seperti mereknya, yang mendorong perusahaan untuk mencari perlindungan kebangkrutan," kata perusahaan dimuat laman yang sama.

Berawal dari Pesta di Rumah

Mengutip laman resmi perusahaan, produk Tupperware pertama kali diperkenalkan pada 1940-an di Massachusetts oleh Earl S.Tupper, seoran ahli kimia. Tupper mendapat inspirasi saat membuat cetakan di pabrik plastik, tak lama setelah Depresi Besar (1929-1939). Ia ingin membantu keluarga-keluarga yang lelah karena perang menghemat uang untuk menyimpan makanan.

Tupper meluncurkan produk pertamanya, yaitu wadah penyimpan makanan Wonderlier Bowl dan Bell Tumbler pada 1946. Untuk menjalankan bisnisnya, Tupperware menerapkan metode Tupperware Home Party atau Tupperware Party, yang pertama kali dipakai pebisnis Brownie Wise.

Ia mempromosikan produk Tupperware dengan mengadakan pesta di rumah-rumah penduduk. Dalam pesta itulah, peralatan yang digunakan dan dipamerkan berasal dari Tupperware. Berkat cara dagangnya, Wise diangkat sebagai Vice President of Marketing untuk perusahaan Tupperware

“Tupperware menemukan solusi terhadap limbah makanan, memberdayakan kewirausahaan perempuan melalui penjualan sosial, menjadikan pesta rumahan populer,” demikian dinukil laman resmi perusahaan.

Brownie Wise, penggagas Pesta Tupperware, cara memamerkan dan menjual produk secara langsung kepada para wanita yang datang. (X)

Agen penjual yang biasanya perempuan bakal mengundang para perempuan lain datang ke rumahnya untuk melihat dan membeli berbagai produk Tupperware. Tak hanya menjadi model pemasaran langsung yang efektif, Pesta Tupperware juga jadi acara sosial yang populer. Dari cara inilah, produk-produk Tupperware berhasil mendominasi rumah tangga di AS bahkan dunia.

Tupperware berkembang pesat pada 1960-an ketika produk-produknya dijual di Eropa, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Sampai sekarang, Tupperware mengklaim berhasil menjual produk di 70 negara.

Di Indonesia sendiri, penjualan Tupperware dimulai sejak 1991. Pada 2013, Indonesia menjadi pasar terbesar Tupperware, dengan angka penjualan mencapai lebih dari 200 juta dolar AS dan 250 ribu distributor.

Tupperware menjelma menjadi merek idola para ibu saat itu. Saking populernya, nama Tupperware kerap disebut untuk menyebut wadah makan plastik dengan merek berbeda, seperti halnya kebanyakan orang menyebut air mineral dengan sebutan Aqua. Dengan harganya yang cukup tinggi dibanding merek lain, memiliki Tupperware sebagai sebuah kebanggaan, makanya banyak orang tergila-gila.

Namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak pilihan produk merek lain dengan desain lebih beragam dan harga lebih terjangkau.

Perubahan Perilaku Konsumen

“Beberapa waktu terakhir, pesta Tupperware telah usai,” kata Susannah Streeter, analis dari perusahaan jasa keuangan Hargreaves Lansdown.

Ia menjelaskan beberapa alasan yang membuat Tupperware kolaps, misalnya kesalahan pelaporan keuangan yang sempat terjadi untuk tahun 2021 dan 2022. Selain itu, Streeter juga menuturkan ada perubahan perilaku konsumen yang membuat wadah plastik tidak populer.

“Perubahan perilaku pembeli membuat wadahnya ketinggalan zaman, karena konsumen sudah mulai menghilangkan kecanduan terhadap plastik dan menemukan cara yang lebih ramah lingkungan dalam menyimpan makanan,” ucap Streeter.

Ini senada dengan hasil riset Tetra Pak, perusahaan pengolahan dan pengemasan makanan dan minuman asal Swiss, yang menunjukkan mayoritas konsumen kini cenderung membeli produk dari perusahaan yang menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan. Karena itu, produk plastik kian ditinggalkan, termasuk Tupperware yang sempat menjadi idola para ibu di Indonesia.

Perubahan perilaku konsumen membuat wadah plastik kurang populer belakangan ini. (Unsplash)

Teknik penjualan Tupperware juga dianggap sebagai salah satu penyebab merek ini sulit bersaing di era digital. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, 90 persen produk Tupperware dijual direct selling atau penjualan langsung serta pemasaran berjenjang atau dikenal multi-level marketing (MLM)

Menurut analisis Seeking Alpha, pendekatan MLM adalah model bisnis yang sangat terbatas untuk jangka panjang. Meski menghasilkan penjualan yang kuat dan berulang, masih ada kekurangan besar termasuk harga yang terlalu mahal dibandingkan produk pesaing, serta eksposur yang kurang.

Apalagi di era sekarang ini, ketika penjualan secara online memungkinkan konsumen mengakses lebih banyak produk berkualitas, bahkan dengan harga lebih rendah. Industri MLM menghadapi tantangan besar untuk bisa tumbuh.

"Bahkan dengan 100 peluncuran produk baru dan peningkatan pemasaran untuk mendapatkan mitra penjualan di pasar negara berkembang, model bisnis MLM adalah salah satu yang tampaknya tidak mampu bersaing di dunia modern dengan rival raksasa seperti Wal-Mart, Costco, dan Amazon," demikian analisis Seeking Alpha.

Mengutip fastcompany, Tupperware tidak benar-benar nyemplung ke penjualan online hingga di era 2020-an. Mereka baru membuka toko resmi di Amazon pada Juni 2022 dan pada Oktober di tahun yang sama perusahaan mulai menjual produk mereka di Target.com. Boleh dibilang Tupperware terlambat masuk melalui dua e-commerce terbesar di AS. 

Analis ritel dan direktur pelaksana GlobalData Retail Neil Saunders mengatakan, Tupperware mengalami penurunan tajam setelah pandemi dan dinilai masih belum terhubung dengan konsumen anak muda.

“Perusahaan ini dulunya paling inovatif seperti gadget canggih di dapur, tetapi sekarang benar-benar kehilangan keunggulannya,” kata Saunders.