Bagikan:

JAKARTA – Kotak kosong yang jumlahnya terus meningkat di setiap edisi pemilihan kepala daerah (Pilkada) terjadi karena ada motivasi untuk memudahkan meraih kemenangan, menurut pakar politik.

Tahun ini akan ada 41 kotak kosong yang ikut bertarung dalam Pilkada 2024, menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI per 4 September 2024. Rincian 41 daerah tersebut terdiri atas satu provinsi, 35 kabupaten, dan lima kota.

“Apakah pilkada layak disebut pesta demokrasi jika pesertanya hanya satu pasangan calon saja?” ucap pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman di Samarinda, Herdiansyah Hamzah.

Ia melanjutkan, pilkada dengan calon tunggal lebih pantas disebut sebagai pesta oligarki.

Ketua sukarelawan Kotak Kosong Yoyo Sutarya (kanan) memperlihatkan kotak kosong dan berkas di KPU Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rabu (4/9/2024). (ANTARA/Adeng Bustomi/agr)

Kotak kosong ramai dibahas menjelang Pilkada 2024 yang akan digelar pada November mendatang. Keberadaan kotak kosong sering dianggap sebagai keuntungan bagi pasangan calon tunggal yang mengikuti pilkada.

Dalam konteks pilkada, kotak kosong bukan berarti kotak suara yang kosong, melainkan munculnya calon tunggal yang tidak memiliki saingan sehingga dalam surat suara posisi lawan dinyatakan dalam bentuk kotak kosong.

Meski demikian, ini tidak membuat calon tunggal serta merta secara aklamasi diangkat menjadi kepala daerah. Karena itulah dalam sistem pilkada dikenal adanya pemilu antara pasangan calon tunggal melawan kotak kosong.

Tren Kotak Kosong Meningkat

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menjelaskan, kotak kosong pertama kali digunakan dalam kontestasi Pilkada 2015. Khoirunnisa bercerita saat itu ada semacam kebuntuan karena ada partai-partai yang mengusung satu paslon. Masalah ini kemudian dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“MK yang memutuskan, kalau pada masa pendaftaran yang terdaftar hanya satu pasangan calon, MK menyatakan bahwa masa pendaftarannya bisa dibuka lagi. Kalau setelah dibuka lagi tidak ada yang mendaftar, partai politik tidak mengalihkan dukungannya, ada yang namanya kotak kosong,” jelas Khoirunnisa.

"Jadi di surat suara itu bukan berarti hanya ada satu pasangan calon itu saja, tapi harus ada kotak kosong itu sebagai alternatif suara bagi pemilih," imbuhnya.

Dengan demikian, daerah yang memiliki satu pasangan calon tetap dapat mengikuti pilkada serentak.

Namun tren pilkada melawan kotak kosong terus meningkat di setiap pilkada. Pada Pilkada 2015 hanya ada tiga calon pasangan tunggal. Angka itu meningkat menjadi sembilan pada 2017, 16 pada 2018, dan 25 pada 2020.

Sedangkan kotak kosong mengalami kenaikan signifikan pada Pilkada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Total calon pasangan tunggal pada Pilkada 2024 naik 60 persen dibandingkan Pilkada 2020. Dengan kata lain 41 calon pasangan tunggal pada pilkada tahun ini setara 13 kali lipat dibanding pilkada serentak pertama pada 2015.

Petugas menata logistik bilik suara untuk Pilkada Serentak 2024 di gudang logistik KPU Kota Surakarta, Jawa Tengah, Senin (16/9/2024). (ANTARA/Maulana Surya/Spt)

Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan, jumlah kotak kosong pada pilkada tahun ini kemungkinan angkanya jauh lebih besar andai tidak ada putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 mengenai ambang batas pencalonan atau threshold.

“Untung ada putusan MK sehingga setidaknya bisa menekan atau mengurangi pilkada melawan kotak kosong, karena syarat ambang batas menjadi lebih ringan,” tutur Karyono kepada VOI.

Terkait calon pasangan tunggal yang angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun, Karyono menjelaskan motivasi yang melatarbelangi fenomena ini yaitu memudahkan meraih kemenangan dalam kontestasi pilkada.

“Karena kecenderungan masyarakat akan lebih memilih pasangan calon dibandingkan kotak kosong. Dari sekian pilkada yang ada kotak kosongnya, sebagian besar pasangan calon menang meskipun syaratnya 50+1,” ucapnya.

“Atas dasar itu elite politik sengaja mengambil jalan pintas memborong parpol supaya hanya ada satu pasangan calon, karena dengan begitu probabilitas atau kemungkinan menang lebih besar dibandingkan jika melawan paslon yang lain,” imbuhnya.

Ancaman bagi Demokrasi

Satu-satunya kemenangan kotak kosong adalah saat melawan kandidat tunggal Pemilihan Wali Kota dan wakil Wali Kota Makassar pada 2018. Waktu itu, untuk pertama kali dalam sejarah pilkada kotak kosong unggul mengalahkan pasangan tunggal Munafri Arifuddin dan Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal.

Saat itu banyak pengamat politik yang menyimpulkan bahwa kemenangan kotak kosong ini adalah menjadi simbol perlawanan terhadap proses pilkada di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Fenomena kotak kosong ini merupakan ancaman bagi demokrasi, kata Karyono Wibowo karena rakyat dipaksa memilih pasangan calon tunggal. Padahal, salah satu instrumen demokrasi adalah memilih pemimpin melalui pemilu. Dengan meningkatnya fenomena pasangan calon tunggal, berarti tujuan demokrasi tidak tercapai.

“Pilkada kan proses penjaringan menemukan calon pemimpin yang baik, yang kompeten, memiliki kapabilitas tapi semua ini tertutup ruangnya,” ucapnya.

“Ini ancaman bagi demokrasi, kalau ada beberapa paslon berarti masih ada peluang lahirnya pemimpin yang kompetensinya, kapabilitasnya bagus,” Karyono mengimbuhkan.

Senada, Khoirunnisa juga menyebut fenomena kotak kosong ini membawa pemilih pada situasi yang tidak ideal. Karena tidak ada kompetisi yang setara, masyarakat jadi tidak bisa membandingkan ide atau gagasan beberapa calon. 

“Ada anggapan bahwa paslon ini hanya satu-satunya yang bisa dipilih. Tidak ada perdebatan, jadi tidak sehat untuk iklim demokrasinya,” sambung Khoirunnisa.

Meski demikian, dia menggarisbawahi bahwa memilih kotak kosong tetap merupakan hak para pemilih yang merasa tak cocok dengan paslon yang disodorkan. Hanya saja, ruang demokrasi yang sehat semestinya memungkinkan ada lebih banyak pasangan calon yang bisa adu program.