JAKARTA – Nasib AA (13), yang meninggal dunia mengenaskan setelah diperkosa dan dibunuh empat anak di bawah umur, masih menjadi pembicaraan hangat. Perilaku anak-anak yang makin sadis belakangan ini, menimbulkan kengerian di kalangan masyarakat. Apa yang salah sehingga membuat anak mampu melakukan hal di luar nalar?
AA ditemukan tewas di Talang Kerikil, Palembang, pada Minggu (1/9/2024). Siswi yang masih duduk di bangku sekolah SMP ini kehilangan nyawanya seusai dicekik kemudian diperkosa oleh empat pelaku yang masih di bawah umur, yaitu IS (16), MZ (13), MS (12), dan AS (12).
Apa yang dilakukan empat pelaku yang masih di bawah umur ini bisa dibilang sesuatu yang tidak bisa diterima dengan nalar orang normal. Bagaimana mungkin anak-anak yang masih di bawah umur mampu melakukan tindakan sekeji itu?
Tapi kalau mau dirunut, pembunuhan dan pemerkosaan yang terjadi Palembang baru-baru ini sebenarnya bukan satu-satunya peristiwa mengerikan yang pelakunya adalah anak di bawah umur. Ini adalah fakta yang tidak menggembirakan. Anak-anak yang seharusnya fokus belajar demi menata masa depan justru menjadi pelaku kriminal, yang kejahatannya kata sebagian besar orang di luar nalar.
Menjadi Peringatan Keras
Sebelum dibuat miris dengan aksi empat pelaku yang tega memperkosa dan membunuh AA, publik sudah cukup sering disuguhkan dengan berita-berita tak mengenakkan, yang mengganggu ketenteraman masyarakat.
Pada Mei 2024 contohnya, warganet dikejutkan dengan kabar Aldelia, siswi SD di Padang Pariaman yang meninggal setelah dibakar temannya di sekolah saat keja bakti. Kemudian pada September 2023, siswa SD di Gresik mencolok mata temannya hingga buta. Kemudian Mei 2021, kasus pelecehan seksual terjadi di daerah Koja, Jakarta Utara. Menurut polisi, korban dan pelaku sama-sama masih berstatus anak di bawah umur.
"Pelaku dan korban sama-sama anak di bawah umur. Kisaran 11-13 tahun," terang Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Guruh Arif Darmawan pada Oktober 2021.
Itu masih belum termasuk deretan kasus bullying di sekolah yang hampir berulang di setiap tahunnya. Melihat deretan kasus, yang boleh dibilang mengerikan ini, banyak di antara kita yang bertanya-apa apa yang menyebabkan anak-anak ini makin sadis?
Psikolog senior Elly Risman mengatakan Indonesia sedang menghadapi bencana pengasuhan. Menurutnya, bencana pengasuhan ini terjadi akibat fatherless atau ketiadaan figur ayah dalam sebuah keluarga. Dengan kata lain, ayah hanya hadir dalam bentuk fisik tapi perannya tidak dirasakan.
Absennya peran ayah diakibatkan selama ini kita terjebak dalam budaya lama bahwa ayah adalah sosok pencari nafkah. Padahal kenyataannya menurut Elly Risman, ayah memiliki peran penting di keluarga. Ayah adalah tokoh identifikasi anak, namun karena jebakan budaya lama tersebut, peran ini tidak mampu dijalankan ayah.
BACA JUGA:
Sementara itu, psikolog anak Novita Tandry mengatakan peristiwa ini menjadi peringatan keras bagi kita semua sebagai pendidik, sebagai guru, bahwa dunia sudah berubah. Pola asuh yang dipakai dulu tidak bisa lagi dipakai di era sekarang. Di era yang serba digital ini, pornografi sudah betul-betul menjadi momok buat anak-anak.
"Kalau kita lalai dan kita biarkan anak-anak ini tanpa pengawasan, tanpa kontrol dengan menggunakan gadget ini, dia (gadget) akan menggantikan tugas kita sebagai orangtua. Salah satu contohnya adalah kekerasan, perkosaan, yang terjadi," ucap Novita.
Konflik Batin Keinginan dan Undang-undang
Di hampir setiap kasus yang pelakunya adalah anak-anak, desakan agar mereka dihukum seberat-beratnya diserukan masyarakat. Seruan tersebut keluar karena apa yang dilakukan anak-anak ini dianggap melebihi nalar kebanyakan orang dewasa. Kejam, sadis, dan brutal, begitu kata psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menggambarkan kenakalan anak-anak di era sekarang.
Untuk kasus pemerkosaan dan pembunuhan siswi SMP di Palembang, tiga pelaku yaitu MZ (13), MS (12), dan AS (12) dipulangkan. Ketiga pelaku sebelumnya sempat dibawa ke panti rehabilitasi anak di Ogan Ilir, usai diperiksa aparat kepolisian, sebelum akhirnya dipulangkan kepada orangtua masing-masing.
Reza mengatakan, dalam hati nuraninya ia mengharapkan hukuman seberat-berat atas kekejaman, kebrutalan anak-anak-anak ini, tanpa memandang usia yang diharapkan bisa memberikan efek jera secara langsung dan tidak langsung.
“Efek jera langsung adalah efek jera untuk para pelaku ini, dan tidak langsung diharapkan hal ini tidak ditiru anak-anak lainnya,” kata Reza.
Ia menambahkan, keinginan agar hukuman seberat-beratnya diberlakukan kepada anak-anak yang melakukan tindak pidana mesti dikoreksi karena adanya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Undang-undang ini, dikatakan Reza, sejak kata pertama sudah mengajak semua kita untuk tidak memandang anak yang melakukan tindakan pidana dengan muatan dendam, amarah, sakit hati, dan sejenisnya. Keinginan hati nurani masyarakat yang berbenturan dengan undang-undang di Indonesia menimbulkan konflik batin.
“Tapi justru UU buru-buru mengingatkan saya, mengingatkan kita semua, untuk memandang anak itu sebagai insan memiliki masa depan. Sehingga tugas kita, kata undang-undang ini, adalah membantu mereka, membersamai mereka menuju masa depan yang lebih baik lagi, agar suatu saat mereka menjelma sebagai orang dewasa yang lebih beradab, lebih bertanggung jawab,” imbuh Reza.