Bagikan:

JAKARTA – Media sosial tengah diramaikan gerakan “anak abah tusuk 3 paslon” atau pasangan calon di pemilihan kepala daerah atau Pilkada Jakarta. Pengamat politik menganggap gerakan ini muncul sebagai bentuk kekecewaan sebagian warga karena taka da Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024.

Gerakan ini kabarnya diinisiasi Anak Abah, sebutan untuk pendukung Anies Baswedan. Gerakan tusuk tiga paslon ini ramai dibicarakan di media sosial. Dugaannya, ini terjadi karena kekecewaan Anak Abah setelah jagoannya gagal maju di Pilkada Jakarta.

Sebelumnya, nama Anies Baswedan gencar diberitakan bakal maju kembali dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Namun rencana tersebut batal karena tiga partai pengusungnya, yaitu PKS, Partai NasDem, dan PKB balik badan dan memilih gabung Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus untuk mengusung pasangan Ridwan Kamil-Suswono.

Harapan Anak Abah melihat jagoan mereka maju bersama PDI Perjuangan (PDIP) juga kandas. Ada sejumlah alasan yang membuat partai berlambang banteng moncong putih itu batal mengusung Anies dan malah mengumumkan pasangan Pramono Anung-Rano Karno untuk Pilkada Jakarta. Salah satunya, karena PDIP ingin menjaga hubungan baik dengan Istana. 

Suara Anies ke Rano Karno?

Gerakan tusuk tiga paslon ini mengajak pemilih di Jakarta agar mencoblos tiga kotak suara sekaligus. Untuk diketahui, Pilkada Jakarta hampir pasti menghadirkan tiga pasangan calon, yaitu Pramono Anung-Rano Karno, Ridwan Kamil-Suswono, dan pasangan independen Dharma Pongrekun-Kun Wardhana.

Analis Komunikasi Politik sekaligus founder Lembaga Survei KedaiKOPI Hendri Satrio mengatakan gerakan ini menggambarkan kekecewaan sebagian warga Jakarta.

“Ya gerakan ini sebetulnya menggambarkan kekecewaan sebagian warga Jakarta yang jagoannya gagal ikut pilkada. Enggak apa-apa, namanya juga usaha menyuarakan suaranya kan boleh-boleh saja,” kata pria yang akrab disapa Hensat itu kepada VOI.

Calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Rano Karno bertemu dengan Anies Baswedan di Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) Jakarta, Minggu (1/9/2024). (ANTARA/Tim Dokumentasi Pramono Anung - Rano Karno)

Lebih lanjut, Hendri juga memprediksi beberapa kemungkinan terkait akan ke mana suara pendukung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta. Menurutnya, ada tiga kemungkinan suara Anies berlabuh. Pertama, disalurkan ke salah satu paslon, baik itu ke Ridwan Kamil, Rano Karno, atau Dharma Pongrekun. Kemungkinan kedua tidak disalurkan sama sekali, kemungkinan ketiga disalurkan tapi dicoblos semua kandidat.

“Tapi kalau disuruh pilih di antara tiga kandidat ini, suaranya pendukung Anies kelihatannya enggak ke Ridwan Kamil, mungkin ke Rano Karno,” tutur Hensat.

Karena Ridwan Kamil kesannya terlalu Jokowi. Kalau kesannya Prabowo, anak abah masih mau pilih, tapi kalau Jokowi jauh karena ia dianggap sebagai penyebab Anies gagal maju, dipersepsikannya begitu,” imbuhnya.

Sementara itu, menurut pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menuturkan gerakan tusuk tiga paslon muncul karena terjadi praktik memborong tiket parpol dan mengakibatkan keterputusan aspirasi pencalonan pada Pilkada 2024.

Menurut Titi, masyarakat dapat secara langsung merasakan akibat keterputusan aspirasi pencalonan tersebut sehingga menimbulkan ekspresi ketidakpuasan dengan adanya gerakan mencoblos semua kandidat paslon.

Dia mengatakan keterputusan aspirasi tersebut salah satunya tercermin dalam Pilkada Jakarta.

“Di Jakarta ada Anies Baswedan dan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Kok yang dicalonkan lain? Apalagi diimpor dari gubernur provinsi sebelah. Nah, itu yang menjadi problem,” katanya dalam diskusi webinar yang digelar The Constitutional Democracy Iniative atau CONSID.

Apakah Golput Bisa Dipidana

Apakah seruan atau ajakan tusuk tiga paslon ini bisa dikenai pidana? Lembaga kajian dan advokasi yang fokus pada reformasi sistem peradilan pidana dan hukum, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menilai banyak orang menganggap golput adalah sesuatu yang tidak dibenarkan dan malah melanggar hukum. Padahal, baik memilih ataupun tidak memilih, keduanya sama-sama merupakan bagian dari hak politik warga negara.

Hal ini dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945, setiap warga negara merdeka untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Salah satu bentuk turunannya antara lain adalah hak untuk menyatakan pilihan politiknya dalam pemilihan umum atau pemilu.

Menurut ICJR, setidaknya ada dua pandangan yang dapat dikaitkan dengan sikap golput. Pertama, memilih pada hakikatnya merupakan hak yang sifatnya boleh digunakan maupun tidak digunakan. Maka golput dapat diartikan sebagai pilihan seseorang yang tidak menggunakan haknya tersebut.

“Kedua, merujuk pada ketentuan UUD 1945, maka golput diartikan sebagai bagian dari hak warga negara untuk mengekspresikan pikirannya,” demikian ICJR dalam laman resminya.

Analis komunikasi politik, Hendri Satrio. (ANTARA/I.C. Senjaya)

Kendati demikian, dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memang tidak melarang golput. Kendati demikian, ternyata mengajak golput bisa dipidana. Hal ini terjadi apabila terdapat unsur-unsur pidana saat mengajak atau mengampanyekan gerakan golput, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 515.

“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah),” demikian bunyi pasal tersebut.

Menurut ICJR, atas dasar rumusan pasal ini, seseorang atau sekelompok orang bisa dipidana apabila ada unsur “dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih". Dengan begitu, tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi, tindakan sekedar menggerakkan orang untuk golput tidak dapat dipidana.