Bagikan:

JAKARTA – Kasus perkosaan dan pembunuhan siswi SMP di Palembang tengah menjadi perhatian khalayak. Masyarakat geram karena tiga pelaku dikembalikan ke orangtua karena masih di bawah umur. Perlukah Undang-Undang Perlindungan Anak direvisi?

AA (13), siswi SMP di Palembang, ditemukan tidak bernyawa di TPU Talang Kerikil, Palembang, Minggu (1/9/2024). Dari hasil penyelidikan ditemukan bekas luka akibat pukulan benda tumpul di bagian leher.

Korban meninggal dunia akibat diperkosa dan dibunuh oleh empat remaja berinisial IS (16), MZ (13), MS (12), dan AS (12). Usai melakukan hal biadab tersebut, keempat korban bahkan dengan bangga menceritakan perbuatan mereka kepada rekannya.

“Cerita tersebut menjadi awal kami mendapatkan keterangan dari saksi sehingga dapat mengungkap peran para pelaku,” kata Kapolrestabes Palembang Kombes Harryo Sugihhartono, dikutip Kompas.

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) perlu ditinjau kembali karena kejahatan yang dilakukan anak semakin mengerikan. (Unsplash)

Yang kini menjadi perhatian masyarakat adalah, selain IS (16) sebagai pelaku utama, tiga pelaku lainnya dipulangkan dengan alasan di bawah umur. Ketiga pelaku itu sempat ditempatkan di Panti Sosial Rehabilitasi Anak Berhadapan Hukum (PSRABH) Darmapala, Kabupaten Ogan Ilir (OI) Sumsel, sebelum dipulangkan ke orangtua masing-masing. Menurut Kombes Harryo, tidak ditahannya tiga tersangka yang masih SMP itu telah sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 32.

Namun tidak ditahannya tidah tersangka dinilai tidak memenuhi rasa keadilan, terlepas dari fakta bahwa hal tersebut memang sesuai dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Pertanyaan yang kini menghantui masyarakat adalah, apakah memungkinkan UU tersebut direvisi agar kejadian serupa tidak berulang?

Hukum Indonesia Lambat Beradaptasi

Mengutip JFB & Partners Indonesian Legal Consultant, pada dasarnya anak-anak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya apabila usianya sudah lebih dari 12 tahun dan belum 18 tahun. Ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Anak (SPPA).

Kemudian dalam Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih.

Dengan demikian, menurut pengamat hukum pidana Farizal Pranata Bahri, keputusan tidak menahan tiga pelaku telah sesuai dengan UU SPPA, karena ketiganya berusia di bawah 14 tahun. Namun, apabila anak tersebut melakukan tindak pidana dengan ancaman di atas tujuh tahun maka dapat dilakukan penahanan dengan tetap mengedepankan hak anak yang di atur dalam UU tersebut.

“Anak yang melakukan kejahatan bisa dipidana dengan melakukan penahanan terlebih dulu jika sudah berumur 14 tahun, dan terhadap anak yang melakukan pidana maka proses penahanan hingga penjatuhan pidana dan jenis pidananya diatur berbeda dari ketentuan Kitab Undang Hukum Acara Pidana pada umumnya,” kata Farizal kepada VOI.

“Untuk penerapan ini digunakan UU Sistem Peradilan Pidana Anak,” ia menambahkan.

Kampanye damai perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan pelecehan seksual. (ANTARA/Aditya Pradana Putra/kye/aa)

Fakta bahwa tiga pelaku lainnya tidak ditahan dengan alasan di bawah umur menjadi dilema dan memantik kekecewaan masyarakat karena seakan-akan yang perlu dilindungi Hak Asasi Manusia atau HAM-nya hanya dari sisi pelaku. Bagaimana melihat perspektif dari sisi korban, apalagi kejahatan yang dilakukan empat pelaku terbilang sadis, tidak hanya memperkosa tapi juga membunuh.

Melihat cukup seringnya kejadian serupa, ketika pelaku kejahatan tidak ditahan dengan dalih masih di bawah umur, tanda tanya besar ada di benak masyarakat. Apakah pembatas terhadap usia anak yang melakukan kejahatan bisa dikaji ulang.

“Seharusnya pembaruan hukum pidana dalam UU Perlindungan Anak dan SPPA perlu segera dilakukan. Sudah banyak jurnal dan tulisan mengenai ini,” tutur Farizal.

“Hukum di Indonesia ini terlalu lama beradaptasi dengan perkembangan zaman. Di negara lain ‘pembagian kategori umur anak dalam pertanggungjawaban pidana’ perlu dilakukan agar anak mendapat jerat hukuman sesuai dengan umur dan psikologis anak yang melakukan tindak pidana,” Farizal menambahkan.

Batasan Umur UU Perlu Ditinjau

Hal senada juga diungkapkan pakar hukum pidana dari Universitas Tarumanegara Hery Firmansyah. Ia mengatakan, apa yang dialami AA di Palembang seharusnya ‘mengganggu’ keyakinan kita bahwa UU Perlindungan Anak perlu ditinjau ulang mengenai batasan umurnya.

“Sekarang pelaku kejahatan semakin muda, tapi tindak kejahatannya makin luar biasa, makin sadis, makin berbahaya. Harus ada concern kembali, jangan nyaman dengan zona nyaman hanya karena UU Perlindungan Anak mengatakan demikian,” tegas Hery.

“Tapi perlu melihat perilaku menyimpang, yang membahayakan masyarakat perlu dipertimbangkan. Jadi memang perlu cover both sides, tidak hanya dari sisi pelaku ketika dia masih anak-anak, tapi juga di sisi lain korban juga kan perlu diperhatikan,” tambahnya.

Hery mengatakan, UU Perlindungan Anak perlu menjadi perhatian khusus, mengingat kejadian serupa makin sering terjadi. “Apakah hal semacam ini perlu diam saja dengan mengatasnamakan hukum semata?” tutur Hery.

Minimnya hukuman yang diberikan kepada anak di bawah umur dianggap menjadi salah satu tidak adanya efek jera kepada pelaku dan calon pelaku. Karena itu, tidak mengherankan kejadian-kejadian seperti ini terus berulang.

Farizal Pranata Bahri menuturkan, dengan studi komparatif yang bisa dilakukan di negara lain, Indonesia bisa memberi hukuman kepada anak di bawah umur 14 tahun apabila melakukan tindak pidana kejahatan dari dua hal, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.

Pelaku pidana pokok, menurut Farizal, bisa tetap ditahan dan dibina di lapas anak namun dengan kondisi lapas yang berbeda.

“Tidak seperti lapas anak yang saat ini menghukum anak di atas 14 tahun, tapi ada penjara khusus anak yang berada di bawah 14 tahun, yang mengedepankan pengayoman perubahan sifat dan perilaku anak melalui metode tertentu,” ucapnya.

Sementara untuk pidana tambahan, perlu dapat dihukum berupa rehabilitas psikologis di lembaga anak dalam kurun waktu tertentu, serta melakukan pekerjaan sosial yang diawasi oleh pemerintah.

“Dengan begitu hukum yang berkeadilan kepastian dan kemanfaatan itu dapat di rasakan baik kepada keluarga korban dan pelaku,” pungkasnya.