Bagikan:

JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengatakan tayangan pada media televisi perlu berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak dan dapat menunjang pertumbuhan seorang anak melalui tayangan yang mengedukasi.

“Perlindungan anak telah menjadi komitmen besar negara. Apalagi UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, secara tegas bahwa perlindungan anak merupakan kewajiban semua pihak, baik negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat termasuk media, orang tua dan keluarga,” kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, dilansir Antara, Selasa, 7 September.

Ia mengatakan, sebuah tayangan pada suatu media haruslah memiliki sifat terpilih dan sehat untuk perkembangan seorang anak yang akan menonton tayangan tersebut.

Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, disebutkan bahwa penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.

Susanto juga menjelaskan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 72 ayat 5 di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, media massa dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat.

Materi edukasi tersebut dapat diambil dari berbagai aspek kehidupan seperti aspek sosial, budaya, pendidikan, agama dan kesehatan anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.

Jika melihat ketentuan maksud dalam kedua undang-undang tersebut, dia menyarankan kepada media agar sebuah tayangan yang disiarkan harus berorientasi pada kepentingan yang terbaik untuk anak.

Sebelumnya dia membeberkan pihaknya telah mendapatkan keluhan dari masyarakat, terkait pemberitaan pembebasan kasus SJ di sejumlah media massa. Pihaknya juga menilai bahwa tayangan tersebut berlebihan dan mengganggu semangat pemberitaan yang edukatif yang sejalan dengan tumbuh kembang anak.

“Maraknya tayangan yang menampilkan figur pelaku kejahatan seksual terhadap anak, bukan informasi yang tepat dan bersekesuaian dengan stimulasi perkembangan anak. Pemberitaan yang berlebihan justru rentan menimbulkan beragam dampak,” kata dia.

Susanto menyebutkan tayangan yang menampilkan pelaku kejahatan seksual, rentan berdampak imitaif bagi anak karena meski dia mejadi pelaku kejahatan seksual, tetap terkesan terhormat.

Kedua, rentan menimbulkan kesan bahwa pelaku kejahatan seksual terhadap anak merupakan hal biasa. Padahal kejahatan seksual terhadap merupakan kejahatan yang menjadi perhatian serius negara. Terakhir, pemberitaan yang berlebihan dapat menggangu suasana batin masyarakat dan korban.

“Pemberitaan pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang berlebihan rentan mengganggu psikologis korban. Serta tidak sesuai dengan etika dan kepatutan penyiaran di ruang publik dan dampak lainnya,” ujar Susanto.

Oleh sebab itu, Susanto mengungkapkan bahwa KPAI kini telah menyampaikan surat kepada pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk memberikan himbauan dan edukasi secara berkelanjutan kepada lembaga penyiaran untuk menjaga marwah lembaga penyiaran dalam menjalankan fungsi edukasi dan hiburan yang sehat.

Pihaknya turut meminta KPI melakukan penyesuaian Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dengan prinsip-prinsip perlindungan anak termasuk berorientasi perlindungan terhadap korban, saksi dan pelaku anak.