Bagikan:

JAKARTA - Setahun belakangan dunia maya Indonesia makin ramai. Namun keramaian dunia maya ini belum terlindungi. Selain sosialisasi agar berhati-hati dalam berselancar, Pemerintah Indonesia perlu menyiapkan regulasi yang dapat melindungi masyarakat dalam dunia internet.

Saat ini, tarik ulur pemerintah dan DPR masih terjadi terkait kedudukan lembaga pengawas perlindungan data pribadi. Hal ini memicu RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang diinginkan masyarakat belum dapat dituntaskan DPR.

DPR mengusulkan agar lembaga tersebut bersifat independent. Namun pemerintah ingin agar lembaga tersebut berkedudukan di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Dari data We Are Social tercatat adanya peningkatan 1 persen warga maya Indonesia setahun terakhir, dari 203 juta orang menjadi 204,7 juta orang.

Kenaikan pengguna internet baru di Indonesia selama era pandemi ini cukup signifikan.  Bandingkan per Januari 2020 pengguna internet masih di bawah kisaran 176 juta orang. Terdapat kenaikan sebesar 16 persen dalam dua tahun terakhir.

Sosialisasi Kemenkominfo soal pencurian data melalui kartu prakerja. (KEMENKOMINFO)

Kenaikan pengguna internet Indonesia dipicu oleh kebutuhan bersosialisasi yang terbatas selama era pandemi COVID-19. Keterbatasan interaksi dengan dunia nyata menjadikan dunia maya sebagai media untuk bersosialisasi bagi masyarakat. Hal ini menyebabkan nyaris 70 persen warga maya menghabiskan waktunya bertemu teman dan saudara melalui internet.

Sejak awal masa pandemi peralihan sumber hiburan masyarakat adalah melalui internet. McKinsey pada akhir tahun 2020 mencatat adanya peningkatan keinginan warga maya Indonesia sebesar 13 persen, untuk mengonsumsi produk  atau jasa yang terkait dengan aktivitas mencari hiburan hanya di rumah saja.

Sekitar 76 persen warga maya Indonesia juga sepakat akan tetap pada kebiasaan mengonsumsi barang dan jasa itu, sampai pandemi COVID-19 berakhir.

Belum Sepenuhnya Aman

Namun sayangnya keramaian dunia internet Indonesia ini masih dihantui oleh maraknya aksi ancaman kejahatan siber. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat selama 2021 terdapat 90 ribu lebih tindak kriminal di dunia Internet Indonesia. Tindakan kriminal maya ini tak hanya ancaman bagi individu namun juga oleh institusi di berbagai bidang seperti keuangan, perdagangan, pendidikan, kesehatan dan bahkan pemerintahan.

Selain itu laporan tahunan pantauan keamanan siber 2021 yang dikeluarkan BSSN, juga mendeteksi usaha mencurigakan untuk menginfeksi sistem keamanan siber atau anomali trafik internet di Indonesia sebanyak 1,6 miliar . Jumlah itu meningkat tiga kali lipat dibandingkan tahun 2020.  Aktivitas bekerja dari rumah sepanjang pandemi diduga menjadi penyebab tingginya kasus peretasan dan kebocoran data.

Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Operasi Keamanan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Ferdinans Mahulette seperti dikutip dari Antara 8 Maret 2022, terjadi 5.574 kasus peretasan. Rinciannya yang melibatkan situs pendidikan 36,49 persen , 25,1 persen melibatkan situs swasta, dan 18,23 persen melibatkan situs pemerintah daerah.

“Banyak hal yang harus kita benahi, karena banyak orang berlomba-lomba melaksanakan transformasi digital, tapi disisi lain mengabaikan unsur keamanan,” ujar Ferdinans.

Imbauan yang dikeluarkan Kemenkominfo soal kehati-hatian bertransaksi di internet. (KEMENKOMINFO)

Dari semua tindak kriminal siber tersebut, dari 84 ribu kasus yang tercatat kebocoran data adalah yang paling menonjol. Berikutnya adalah kasus yang sering terjadi adalah kasus pengubahan halaman situs (web defacement) dengan 5.490 kasus.

Berikutnya adalah serangan penipuan atau mengelabui (phishing), yang masuk dalam kategori kejahatan digital tradisional. Phishing attack menjadi pintu masuk peretas untuk mengambil alih surel pribadi ataupun surel kantor.

Tingginya tingkat kejahatan siber khususnya tentang pencurian data di dunia internet, semakin mengingatkan pentingnya bagi pemerintah untuk segera menyelesaikan aturannya. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengklaim setidaknya telah ada 48 peraturan perundang-undangan yang mengatur tertang perlindungan data.

Saat ini terdapat 51 kasus yang sedang diperiksa. Dadi semua itu, kasus pelanggaran perlindungan data pribadi terlalu sering terjadi.

Kita semua berharap perbedaan pendapat pemerintah dan DPR, yang akhirnya menempatkan publik dalam ancaman kejahatan siber dapat segera disingkirkan. RUU PDP diharapkan dapat segera disahkan tahun ini. Namun publik juga perlu meningkatakan literasi, dan selalu waspada dalam menjelajahi dunia maya agar tidak masuk dalam jebakan peretas.