JAKARTA – Penghapusan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mengundang berbagai reaksi. Pujian tentu datang dari partai-partai politik kecil maupun baru, karena itu meningkatkan harapan mereka untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden mereka sendiri, tanpa perlu bergabung dengan partai politik besar.
Permintaan perubahan ambang batas pencalonan presiden tersebut diajukan empat orang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna, dengan mengajukan dalil bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu membatasi hak pemilih dan partai-partai kecil. Mahkamah memenangkan tuntututan mereka pada 2 Januari 2025.
"Kami sebenarnya kalau boleh jujur, tidak ada yang berkespektasi permohonan tersebut akan dikabulkan. Kami cukup senang dan mengapresiasi MK," kata Enika, mahasiswi berusia 23 tahun seperti dikutip BBC Indonesia.
Presidential threshold sudah 32 kali mengalami permohonan tinjauan ulang untuk dihapuskan, namun baru dalam permohonan ke-33 dikabulkan MK.
“Mahkamah memahami bahwa ambang batas tersebut menguntungkan partai politik besar, atau setidaknya kontestan yang memiliki kursi di DPR,” kata Saldi Isra, Hakim MK saat menyampaikan amar putusan.
Saldi juga menambahkan bahwa pada pemilu-pemilu sebelumnya, partai-partai politik besar mendominasi pencalonan. Kondisi tersebut membatasi hak pemilih untuk mengajukan calon alternatif.
Pada awalnya, ambang batas pencalonan presiden ditetapkan hanya 15 persen menjelang Pemilu 2004. Namun kemudian ditingkatkan menjadi 20 persen menjelang Pemilu 2009, dengan alasan untuk menyederhanakan jumlah calon presiden.
Keputusan itu terus mendapat penentangan, dengan alasan mengebiri hak pemilih, menekan peluang, dan menguntungkan partai politik besar. Sebuah keputusan yang dipandang tidak adil. Ambang batas 20 persen masih berlaku dalam Pemilu 2024, yang memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI dalam satu putaran saja.
“Ini benar-benar kemenangan bagi masyarakat Indonesia karena kemungkinan besar bakal ada lebih banyak calon presiden,” kata Hadar Nafis Gumay, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia 2012-2017, dikutip The Strait Times.
Peluang-peluang yang Terbuka
Beberapa pemerhati perpolitikan Indonesia menyambut perubahan tersebut dengan antusias. Keputusan MK pada 2 Januari itu diyakini bakal mengubah lanskap politik Indonesia, karena pemilihan presiden kemungkinan besar tidak akan berlangsung hanya satu putaran.
Pemilihan presiden akan dilanjutkan ke putaran kedua, jika tidak ada kandidat yang mencapai 50 persen suara pemilih. Lantas di putaran kedua, bakal ditampilkan dua kandidat yang meraih suara terbanyak, untuk bersaing di “partai final”.
Putusan MK pada 2 Januari tersebut telah menghapus hak eksklusif partai politik besar untuk mencalonkan presiden.
“Ini menciptakan kesetaraan bagi semua partai politik,” ujar Titi Anggraini, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dalam 15 tahun terakhir, memang hanya segelintir partai politik yang mendominasi pemilihan presiden. Partai politik kecil seolah terpinggirkan, dan hanya membebek kemauan partai politik besar karena ada pembatasan jumlah suara minimum di parlemen.
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyebutkan bahwa keputusan MK tersebut merupakan “kebangkitan demokrasi yang sehat”.
“Pada Pemilu 2029, Partai Buruh dapat mengusung calon presiden sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain,” kata Iqbal, soal peluang partainya yang didirikan pada 2021, dan saat ini tidak memiliki kursi di DPR.
Aktivis perempuan pun berharap bahwa perubahan undang-undang tersebut akan membuka lebar peluang kaum hawa untuk maju ke pilpres.
Rekayasa Konstitusional
Lantas, akankah dalam Pemilu 2029 bakal muncul banyak calon sebagai kandidat presiden dan wakil presiden? Jawabnya, tidak!
Meskipun pemerintah lewat Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menghormati putusan MK tersebut, namun pembatasan-pembatasan tetap akan dilakukan.
“Jika diperlukan perubahan dan penambahan norma dala UU Pemilu akibat penghapusan presidential threshold, maka pemerintah tentu akan menggarapnya bersamaa-sama dengan DPR,” kata Yusril dalam keterangan tertulisnya.
Dalam kesempatan terpisah Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa pemerintah akan bekerjasama dengan DPR dan penyelenggara pemilu untuk membentuk “rekayasa konstitusional”. Itu dilakukan demi mematuhi pedoman MK yang menyebutkan agar calon presiden dan wakil presiden tidak terlalu banyak saat Pemilu 2029, meskipun ambang batas pencalonan presiden sudah dihapus.
Selain memutuskan penghapusan presidential threshold, MK juga memberikan pedoman bagi pembuat undang-undang agar melakukan constitutional engineering, rekayasa konstitusional untuk mencegah kemunculan capres dan cawapres yang terlalu banyak.
“MK berpandangan bahwa banyaknya calon presiden tidak menjamin proses demokratisasi yang dijamin oleh konstitusi,” kata Supratman.
MK mengeluarkan lima pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional. Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik maupun gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
BACA JUGA:
Ketiga, dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden partai politik peserta pemilu dapat bergabung. Namun dengan catatan, gabungan partai politik tersebut tidak menyebabkan dominasi yang berimbas pada keterbatasan calon presiden dan wakil presiden serta membatasi pilihan pemilih.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden bakal dikenai sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Kelima, perumusam rekayasa konstitusional yang dimaksud meliputi perubahan UU Pemilu, dan harus melibatkan pertisipasi semua pihak yang punya perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu. Partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR harus dilibatkan, sebagai sebuah perwujudan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
Masalah yang dihadapi pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah, menjaga agar pelaksanaan di lapangan tidak berbelok-belok. Partai politik mapan tetap berpotensi untuk mempengaruhi partai politik kecil yang mengalami keterbatasan sumber daya.
Dikhawatirkan, kekuatan sumber daya dari partai politik besar bakal mengkooptasi partai gurem. Buntutnya, ruang keberagaman politik dan kandidat tetap saja sempit yang menyebabkan partai politik besar masih untung banyak.