JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen hanya berlaku bagi barang yang saat ini tergolong Pajak Penjualan Barang Merah (PPNBM). Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira mengatakan, keputusan ini akan membawa dampak lebih positif ke ekonomi meski harga barang sudah terlanjur naik.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen sempat menjadi headline di hampir semua media nasional. Namun masyarakat menolak keras kenaikan ini meski pemerintah menyebut keputusan tersebut diambil demi menambah pemasukan negara.
Sebelumnya, pemerintah hanya mengecualikan tiga barang dari PPN 12 persen, yaitu minyak goreng Minyakita, tepung terigu, dan gula industri. Selain dari ketiga barang itu tetap dikenakan PPN 12 persen, termauk bahan makanan premium, seperti daging, beras, dan ikan premium sampai sekolah internasional.
“Kenaikan PPN 12 persen hanya untuk barang merah lebih positif ke ekonomi meski saat ini harga barang terlanjur naik karena aturan teknis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terlambat terbit,” kata Direktur Eksekutif Center of Economis and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
Stimulus Ekonomi Tetap Berlaku
Kepastian bahwa PPN 12 persen hanya untuk barang mewah diumumkan secara langsung oleh Presiden Prabowo Subianto didampingi Menkeu Sri Mulyani pada hari terakhir tahun lalu.
“Komitmen saya adalah selalu berpihak kepada rakyat, kepentingan nasional, dan berjuang serta bekerja untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Prabowo di Gedung Kemenkeu.
“Karena itu, seperti yang sudah saya sampaikan dan berkoordinasi dengan DPR hari ini pemerintah memutuskan bahwa tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah,” lanjutnya.
Meski demikian, presiden mematikan paket stimulus kepada masyarakat yang nilainya mencapai Rp38,6 triliun tetap diberikan. Stimulus itu dalam bentuk bantuan beras kepada 16 juta penerima bantuan pangan yang masing-masing memperoleh 10 kilogram selama dua bulan, Januari dan Februari 2025.
Selain itu diskon listrik 50 persen bagi pelanggan rumah tangga dengan daya sampai dengan 2.200 volt ampere (VA) di periode yang sama.
Ada pula insentif Pajak Penghasilan (PPh) 21 ditanggung pemerintah untuk pekerja di sektor padat karya dengan gaji hingga Rp10 juta per bulan yang berlaku mulai 1 Januari 2025. Termasuk pembebasan PPh bagi UMKM beromset kurang dari Rp500 juta per tahun.
Di waktu yang sama, Menkeu Sri Mulyani menekankan bahwa PPN yang naik dari 11 persen menjadi 12 persen hanya untuk barang dan jasa kategori mewah yang selama ini sudah terkena PPNBM.
Sri Mulyani mengatakan, yang termasuk dalam kategori ini hanya sedikit, yaitu jet pribadi, kapal pesiar, dan rumah sangat mewah yang nilainya diatur dalam PMK nomor 15 tahun 2023.
Bukti Kekhawatiran Presiden Prabowo
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan PPN 12 persen hanya untuk barang mewah menunjukkan Presiden Prabowo khawatir dianggap gagal dan tidak berpihak kepada rakyat dalam 100 hari pertema pemerintahannya.
Selain itu, Prabowo juga ingin menunjukkan kepada publik dan menteri-menterinya bahwa yang berkuasa adalah dirinya bukan para pembantunya termasuk Menkeu, Sri Mulyani.
"Karena yang selama ini memaksa PPN naik jadi 12 persen ke semua barang kan Sri Mulyani, artinya ada keretakan antara Prabowo dengan Kemenkeu. Itu yang terlihat, jadi Prabowo ingin menunjukkan lagi bahwa dia adalah presidennya yang punya mandat pro rakyat, jangan diganggu kebijakan yang kontradiktif," tutur Bhima.
Terlepas dari itu, Bhima yakin memiliki dampak lebih positif ke ekonomi meski saat ini harga barang terlanjur naik karena aturan teknis PMK terlambat terbit. Namun, ia mendorong pemerintah ke depannya untuk lebih tegas dalam membuat aturan sehingga masyarakat dan pelaku usaha tidak diping-pong.
“Pemerintah akhirnya kan menimbang juga efek daya beli masyarakat menengah ke bawah, dan UMKM,” kata Bhima kepada VOI.
“Tapi yang diharapkan setelah pembatalan PPN 12 persen ke barang dan jasa umum, harusnya pemerintah mulai siapkan penurunan tarif PPN ke 8 persen,” ia mengimbuhkan.
BACA JUGA:
Hanya saja, ekonom CELIOS Media Wakyudi Askar menyebut keputusan PPN 12 persen hanya untuk barang mewah masih membingungkan, karena aturan perpajakan Indonesia tidak mengenal sistem multitarif.
Sebelumnya, penerapan PPN 12 persen diprediksi bisa menambah pemasukan negara sekitar Rp80 triliun. Namun hal ini diyakini akan kian menggerus daya beli masyarakat yang ujung-ujungnya memberikan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berlakukan Pajak Kekayaan
Untuk menggantikan penerimaan PPN yang tidak jadi naik, kata Bhima, pemerintah memiliki banyak opsi. Pertama dan yang terpenting adalah mulai merancang pajak kekayaan atau wealth tax, di mana total harta orang super kaya dipajaki dua persen.
“Jadi bukan pajak penghasilan ya tapi pajak harta yang selama ini Indonesia belum punya. Estimasinya akan diperoleh Rp81,6 triliun sekali penerapan pajak kekayaan. OECD dan G20 kan mendorong pemberlakuan pajak kekayaan juga,” tegasnya.
Pajak kekayaan telah lama menjadi instrumen fiskal di berbagai negara, termasuk negara-negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pertumbuhan (OECD). Di Norwegia, pajak kekayaan bersih (net wealth tax) dikenakan tarif 0,85 persen dan hasil penerimaan dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Sedangkan di Swiss, pungutan net wealth tax di tingkat daerah bervariasi.
Selain di Eropa, pajak kekayaan juga diterapkan negara OECD di Amerika Latin seperti Kolombia. Pemerintah Kolombia menetapkan tarif satu persen atas aset bersih senilai lebih dari COP 5 miliar atau Rp19,3 miliar.
Cara kedua, dijelaskan Bhima, adalah dengan menjalankan pajak karbon seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mulai tahun ini. Mengenai pajak karbon menurut Bhima pemerintah hanya tinggal mengeluarkan PMK-nya saja.
“Begitu diberlakukan ke PLTU batubara, hasil pajak karbon akan digunakan untuk dorongan belanja energi terbarukan yang menyerap tenaga kerja. Bagus juga pajak karbon bagi lingkungan hidup,” kata dia lagi.
Kemudian yang ketiga, opsi penerimaan PPN juga bisa didapat melalui pajak produksi batu bara di luar royalti yang lebih tinggi. Keempat, pemerintah harus menutup kebocoran pajak di sektor sawit dan tambang.
“Kelima, evaluasi seluruh insentif pajak yang tidak tepat sasaran. Misalnya perusahaan smelter nikel yang labanya besar sekali tidak perlu dikasih tax holiday,” pungkasnya.