Bagikan:

JAKARTA - Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan The PRAKARSA menilai rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di awal tahun 2025 di tengah kondisi penurunan daya beli masyarakat merupakan kebijakan yang kurang tepat.

Meskipun dilansir pemerintah untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak.

Peneliti The PRAKARSA Samira Hanim menyampaikan upaya pemerintah menaikkan PPN pada tahun 2022 silam nyatanya belum mampu untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak secara signifikan.

"Rendahnya penerimaan pajak di Indonesia bukan saja karena rendahnya tarif, namun juga akibat rendahnya kepatuhan dan penegakan hukum," ujarnya dalam keterangannya, Senin, 25 November.

Menurut Samira, hal tersebut tercermin dari kenaikan tarif PPN pada 2022.

Kinerja perpajakan tak kunjung membaik dimana rasio perpajakan terhadap PDB Indonesia di tahun 2023 justru menurun dari 10,39 persen di tahun 2022 menjadi 10,21 persen di tahun 2023.

Bahkan, Menteri Keuangan mengungkap Tax Ratio Indonesia masih di level 10,02 persen hingga Oktober 2024.

Kinerja penerimaan pajak Indonesia juga masih jauh tertinggal dibandingkan negara berkembang lain.

Tahun 2022, rata-rata rasio pajak di kawasan Asia tenggara sebesar 14,8 persen dan di kawasan Asia Pasifik sebesar 19,3 persen.

Selain itu, berdasarkan hasil kajian World Bank menunjukkan bahwa kenaikan PPN tidak banyak berdampak pada kenaikan penerimaan negara, kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022 tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak.

Realisasi tambahan penerimaan pajak dari kenaikan tarif PPN hanya sebesar 0,3 persen PDB pada 2022 dan 0,4 persen PDB pada 2023.

Adapun salah satu hambatan utama dalam optimalisasi penerimaan PPN adalah inefisiensi dalam sistem pengumpulan pajak.

Di mana C-efficiency ratio PPN Indonesia tercatat hanya 0,53, lebih rendah 0,17 poin dibandingkan rata-rata negara-negara tetangga. Rendahnya rasio ini menunjukkan masih tingginya potensi penerimaan pajak yang hilang.

Samira menilai, kenaikan PPN 12 persen ini justru menyalahi asas keadilan pajak itu sendiri.

“Pengenaan PPN yang bersifat objektif, tidak memandang siapa yang dikenakan justru menyalahi asas keadilan tersebut. Orang kaya akan mengeluarkan nominal pajak yang sama dengan orang miskin ketika dihadapkan pada pembelian suatu barang dan jasa kena pajak.” ujarnya.

Samira menilai bahwa kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah untuk meningkatkan kinerja penerimaan negara ini semakin memberatkan kelas menengah dan kecil.

“Kebijakan untuk terus melanjutkan kenaikan PPN menjadi 12 persen di tengah menurunnya daya beli masyarakat ini rasanya tidak tepat, deflasi yang tidak terkendali dapat menciptakan lingkaran deflasi di mana konsumsi menurun, pertumbuhan melemah, dan tekanan harga semakin besar, kenaikan PPN hanya akan memperparah kondisi ini,” tuturnya.

Samira menyampaikan pajak kekayaan dapat memastikan prinsip keadilan bahwa tingkat pajak efektif orang kaya tidak lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya, sekaligus mendukung fungsi redistribusi ekonomi.

"Dengan melengkapi langkah ini melalui pengetatan aturan penghindaran pajak dan penegakan hukum yang kuat, Indonesia dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih progresif, adil, dan inklusif,” ucapnya.

Samira menyampaikan pajak tidak hanya berfungsi sebagai sumber penerimaan negara tetapi juga alat redistribusi kekayaan, pemerintah perlu meningkatkan pajak progresif yang menargetkan individu superkaya atau Ultra High-Net-Worth Individuals (UHNWI).

Langkah ini sejalan dengan komitmen negara-negara G20 untuk memastikan UHNWI membayar pajak secara adil dan efektif, sebagaimana tertuang dalam G20 Rio de Janeiro Leaders’ Declaration.

Di Indonesia, jumlah UHNWI terus meningkat dan mereka malah mendapatkan banyak keringanan pajak.

The Wealth Report 2024 memproyeksikan pertumbuhan sebesar 34,1 persen, dari 1.479 individu pada 2023 menjadi 1.984 individu pada 2028.

Tren ini diperkuat oleh struktur pajak yang lebih menguntungkan pendapatan dari modal seperti keuntungan modal (capital gains) dan dividen, yang umumnya dikenakan tarif pajak lebih rendah dibandingkan penghasilan kerja.

Selain itu, di Indonesia, pendapatan kerja (income) atau PPh (Pajak Penghasilan) dikenakan pajak progresif hingga 35 persen, sedangkan pendapatan pasif seperti dividen atau keuntungan modal hanya dikenakan tarif hingga 25 persen.

Selain tarif pajak yang lebih rendah atas pendapatan pasif yang mendominasi kekayaan individu superkaya, mereka juga memanfaatkan strategi penghindaran pajak seperti menunda realisasi keuntungan modal, tidak membagikan dividen, atau menggunakan perusahaan holding untuk mengalihkan keuntungan.

Senada, peneliti The PRAKARSA Farhan Medio menyampaikan implikasinya, orang superkaya membayar pajak dengan persentase yang lebih kecil dibandingkan masyarakat berpenghasilan menengah dan bawah yang mengandalkan pendapatan aktif yang terus tergerus baik dari PPN maupun PPh.

Menurut Farhan, kebijakan kenaikan tarif PPN bersifat regresif, di mana kelompok termiskin harus menanggung dampak yang lebih signifikan dibandingkan kelompok kaya. Kebijakan ini juga berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi.

“Pengenalan pajak kekayaan (wealth tax) menjadi langkah penting untuk menyeimbangkan beban pajak. Riset The PRAKARSA mengestimasi terdapat potensi tambahan penerimaan negara sebesar 78,5 - 155,3 triliun rupiah apabila diberlakukan pajak kekayaan pada individu dengan kekayaan bersih lebih dari 10 juta dolar AS (Rp155 miliar) dengan tarif progresif 1 persen-4 persen”, ujar Farhan.