PPN Naik, Kelas Menengah Semakin Meringis

27 November 2024, 11:00 | Tim Redaksi
PPN Naik, Kelas Menengah Semakin Meringis
Foto Karya Andry Winarko (VOI)

Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dari 11 menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 mendatang. Keputusan ini didasari amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjelaskan, kenaikan PPN sudah diatur dalam pasal 7 ayat (2) UU HPN, yang menyebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Selain itu, menkeu beralasan bila kenaikan PPN diperlukan untuk reformasi perpajakan dan peningkatan penerimaan negara sehingga diharapkan bisa menyehatkan APBN.

“Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannnya. Saya setuju bahwa kita perlu banyak memberikan penjelasan kepada masyarakat,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 13 November 2024.

Pemerintah juga berdalih bila tarif PPN di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Namun, tarif PPN sebesar 12 persen tergolong besar di negara-negara Asia Tenggara.

Sebagai perbandingan, Singapura dan Thailand menetapkan tarif PPN sebesar tujuh persen, sementara Vietnam, Malaysia, Laos, dan Kamboja di angka 10 persen. Myanmar hanya mengenakan tarif lima persen, dan Brunei Darussalam tidak memiliki PPN. Bila kenaikan ini diterapkan, Indonesia akan menyamai Filipina yang menetapkan tarif sebesar 12 persen.

Kenaikan PPN sontak mendapat penolakan, mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang sedang tertekan. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mencatat deflasi selama lima bulan berturut-turut mulai Bulan Mei hingga September 2024. Rinciannya, 0,03 persen pada Mei, 0,08 persen pada Juni, 0,18 persen pada Juli, 0,03 persen pada Agustus, dan 0,12 persen pada September.

Kondisi tersebut dinilai peneliti INDEF, Esther Sri Astuti akan berdampak negatif pada perekonomian nasional. Pasalnya, kenaikan PPN satu persen berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,02 persen, mengingat biaya produksi dan konsumsi akan meningkat yang pada akhirnya melemahkan daya beli masyarakat.

Selain itu, kenaikan PPN juga ini dapat memicu inflasi yang lebih tinggi. Esther mencontohkan, saat tarif PPN naik dari 10 menjadi 11 persen pada April 2022, tingkat inflasi langsung melonjak sebesar 0,95 persen, dimana paling terasa pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,45 persen dan transportasi sebesar 0,29 persen. “Kalau inflasi kembali meningkat, daya beli masyarakat akan semakin tertekan. Pendapatan riil mereka berkurang, sementara harga barang naik,” ujarnya.

Dampak lain yang harus diantisipasi adalah meningkatnya angka pengangguran. Penurunan konsumsi akibat daya beli yang melemah akan mengurangi permintaan barang dan jasa. Konsekuensinya, perusahaan akan mengurangi produksi, yang berpotensi berujung pada efisiensi tenaga kerja. “Kondisi ini bisa memperburuk situasi ketenagakerjaan, terutama di sektor industri manufaktur dan jasa,” tambah Esther.

Peneliti Lembaga Pengkajian Ekonomi SMERU, Luhur Bima mengingatkan pemerintah bahwa kenaikan PPN ini tentu akan ditanggung salah satu pihak dalam sebuah transaksi usaha. Bila yang menanggung penjual atau pengusaha maka akan mengurangi margin profit dan dapat berdampak ke karyawan. Sedangkan jika ditanggung oleh pembeli, maka akan terjadi inflasi karena harga-harga barang dan jasa meningkat dan menyebabkan biaya hidup masyarakat meningkat.

Menurutnya, masyarakat khususnya kelas menengah berpotensi merasakan dampak negatif dari kenaikan harga-harga barang yang merupakan efek turunan dari kenaikan PPN ini. Sebab, kelas menengah tidak mendapatkan bantuan-bantuan sosial dari pemerintah yang lebih memprioritaskan kelompok miskin.

Ilustrasi (Antara)
Ilustrasi (Antara)

“Sejauh ini belum banyak instrumen pemerintah dalam menopang kesejahteraan kelompok menengah yang sangat rentan jatuh menjadi kelompok miskin ketika harga barang-barang meningkat akibat kenaikan PPN ini,” tukas Luhur.

Kelas Menengah Menjadi Kelompok Paling Terdampak Kenaikan PPN

Direktur Eksekutif CORE, Mohammad Faisal juga menenkankan bahwa dampak dari kenaikan PPN menjadi 12 persen akan memperparah kondisi yang sedang dihadapi oleh kelas menengah saat ini. Sebab, dengan kondisi yang ada saat ini pun peningkatan upah riil justru menurun, sedangkan biaya hidup terus meningkat walaupun inflasi rendah.

“Inflasi rendah karena permintaan juga rendah. Pada saat yang sama kalau kita melihat tabungan di perbankan, yang di bawah Rp100 juta di rekeningnya, itu turun rata-rata saldonya. Saldo rekening di bawah Rp100 juta itu sekitar 99 persen dari pemilik rekening," ujarnya.

Dia menyebut, saat masyarakat dihadapkan dengan tambahan biaya hidup, maka sudah jelas pendapatan akan tambah tergerus. Terutama kelas menengah yang menjadi objeknya. “Sehingga dalam kondisi seperti ini, permintaan domestik akan semakin melambat dan kelas menengah juga akan semakin turun dari sisi tingkat spending-nya. Selain tingkat spending-nya turun, otomatis juga yang punya tabungan akan semakin menggunakan tabungannya,” terang Faisal.

Berdasarkan data BPS akhir Agustus lalu, jumlah penduduk yang masuk kelas menengah selama lima tahun terakhir diketahui menurun. Proporsi kelas menengah Indonesia pada tahun 2024 sebanyak 47,85 juta penduduk lebih rendah dibandingkan pada tahun 2019, yakni sebanyak 57,33 juta penduduk.

Sementara itu, jumlah penduduk kategori menuju kelas menengah atau 'aspiring middle class' terus bertambah mencapai 137,5 juta jiwa pada tahun 2024 sementara di tahun 2019, jumlahnya 128,85 juta jiwa.

Peneliti dari CELIOS, Media Wahyudi mengungkapkan, penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia bukan berarti kelompok tersebut naik kelas. Sebaliknya, penurunan itu disebabkan oleh tergesernya mereka ke kelompok menuju kelas menengah atau aspiring middle class. “Kebanyakan warga di kelas menengah berada di batas bawah, sehingga ketika terjadi guncangan ekonomi, maka yang turun kelas ke kelompok miskin adalah yang berada di batas bawah tersebut,” tuturnya.

Dia mencontohkan, masyarakat yang memiliki gaji sebesar Rp2 juta, yang tidak dikategorikan miskin lagi, tapi tidak memiliki akses ke program perlindungan sosial atau mendapat subsidi, seperti bantuan pangan, pendidikan, dan sejenisnya. Karena itu, kelas menengah menjadi kelompok yang paling rentan bila kenaikan PPN berdampak pada perekonomian.

“Kenaikan biaya sehari-hari tidak diimbangi dengan kenaikan upah menjadi alasan utamanya. Jadi, ibaratnya pengeluaran lebih besar daripada pendapatan sehingga 'mantab' atau makan tabungan,” tandas Media.

Merujuk paporan BPS yang sama, pengeluaran kelas menengah meningkat dalam lima tahun terakhir antara lain karena membayar pajak dan iuran, perumahan, pendidikan, dan makanan. Pengeluaran masyarakat kelas menengah khususnya untuk pajak atau iuran pada 2024 naik 1,05 persen dibandingkan pada tahun 2019.

Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Media menegaskan, masyarakat kelas menengah mengalami hal yang mungkin tidak tercakup oleh data BPS. “Kelas menengah ditarikin pajaknya terus-menerus, mereka bayar pajak penghasilan, VAT (PPN) belum lagi pajak yang harus mereka keluarkan setiap melakukan transaksi di bidang pendidikan, kesehatan, tapi mereka juga yang relatif kecil menerima manfaat atau insentif yang diberikan oleh pemerintah,” imbuhnya.

Prabowo Bisa Menunda Kenaikan PPN Demi Stabilitas Politik

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pertama kali mengatur mengenai tarif PPN sebesar sepuluh persen. Besaran tarif ini kemudian dapat mengalami perubahan sesuai dengan peraturan pemerintah, dengan batas minimum lima persen dan maksimum sepuluh persen.

Ketentuan ini bertahan cukup lama meskipun UU tersebut mengalami revisi pada tahun 2009. Ketika menjabat presiden, Joko Widodo melakukan perubahan signifikan terhadap tarif PPN melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurut UU HPP, tarif PPN dinaikkan secara bertahap. Mulai April 2022, tarif PPN ditetapkan sebesar 11 persen, selanjutnya pada tahun 2025, tarif PPN akan kembali naik menjadi 12 persen.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie OFP mengatakan bahwa kenaikan PPN 12 persen di 2025 bisa ditunda tanpa perlu mengubah UU HPP. Penundaan itu bisa dilakukan bila Presiden Prabowo Subianto bila merasa hal tersebut memberatkan masyarakat.

Dia mengakui, kenaikan PPN menjadi 12 persen di 2025 merupakan amanat Pasal 7 UU HPP. Tapi UU yang sama juga mengatur bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen melalui penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan dengan DPR.

“Jangan lupa, di ayat (3) UU itu juga menyebutkan berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen,” terang Dolfie.

Politisi dari Fraksi PDIP ini mengungkapkan, Komisi XI sudah pernah mempertanyakan rencana implementasi PPN 12 persen ke Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat masih periode pemerintahan sebelumnya. Saat itu, pandangannya menyebut keputusan PPN menunggu arahan dari Presiden Prabowo Subianto.

“Kita sudah pernah nanya waktu pembahasan APBN 2025, kita sudah tanya pemerintah apakah tarif PPN 12 persen ini tetap atau mau diturunkan dengan melihat kondisi ekonomi? Dijawab pada saat itu oleh pemerintah 'kita menunggu arahan dari presiden baru'. Nah mungkin sampai saat ini belum ada arahan terbaru dari presiden terkait itu,” ungkap Dolfie.

Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun juga menegaskan bahwa keputusan kenaikan PPN menjadi 12 persen di 2025 sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Pasalnya sebelum UU itu diketok pihaknya telah menyampaikan berbagai masukan.

“Tinggal pemerintah apakah mempertimbangkan kondisi daya beli yang menurun, penurunan kelas menengah yang hampir 10 juta. Apakah itu jadi pertimbangan? Kalau pemerintah tidak menjadikan itu pertimbangan, berarti pemerintah masih beranggapan bahwa kondisi ekonomi masih stabil, tidak terpengaruh, itu saja, silakan. Kita serahkan sepenuhnya itu menjadi wilayah pemerintah untuk memutuskan apakah kenaikan PPN menjadi 12 persen akan dijalankan di 2025 atau tidak,” kata dia.

Media Wahyudi juga berharap agar pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto memberikan perhatian penuh kepada kelas menengah. Sebab, ekonomi Indonesia berpotensi kolaps bila kelas menengah mengalami kehancuran.

“Karena akan banyak orang miskin di tahun depan. Kalau orang miskin makin banyak, pengangguran makin banyak, PHK makin banyak Implikasi akhirnya itu adalah stabilitas politik. Dan ketika stabilitas politik kacau di seluruh negara, ini akan jadi masalah besar ke depan,” ujarnya.