Menurut Bank Dunia dan laporan dari lembaga riset seperti McKinsey, kelas menengah di Indonesia berkontribusi besar pada pertumbuhan konsumsi domestik. Konsumsi domestik menyumbang sekitar 55-60% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kelas menengah, dengan daya beli yang relatif stabil, menjadi motor penggerak utama. Ini menunjukkan kelas menengah menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Namun, rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 berpotensi menjadi batu sandungan baru. Kebijakan ini, yang awalnya hanya menyasar barang dan jasa mewah, kini menyentuh kebutuhan sekunder yang esensial bagi banyak rumah tangga kelas menengah.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, kenaikan PPN akan meningkatkan harga barang sebesar 0,9 persen. Dampak ini terlihat kecil, tetapi bagi kelas menengah yang pendapatannya stagnan, kenaikan sekecil apa pun mempersempit ruang gerak keuangan. Menurut analisis Bank Indonesia, tren tabungan masyarakat melambat hingga 15 persen pada kuartal terakhir 2024. Angka ini menjadi sinyal bahwa daya beli mereka telah tertekan bahkan sebelum kebijakan baru diterapkan.
Seperti dilaporkan Netray, sentimen publik terhadap kenaikan PPN ini di media sosial pun menunjukkan reaksi negatif sebesar 68 persen. Banyak yang menyebut kebijakan ini sebagai langkah yang lebih membebani daripada menyejahterakan.
Barang elektronik mewah, seperti televisi layar besar dan smartphone flagship, akan dikenai PPN 12 persen. Begitu pula dengan mobil premium, perhiasan, dan jasa hiburan eksklusif seperti konser internasional. Namun, peralatan rumah tangga canggih yang kini menjadi kebutuhan esensial juga terimbas, meski tidak tergolong mewah. Di sisi lain, layanan rumah sakit VIP dan pendidikan berstandar internasional, menjadi perhatian karena tarifnya akan melonjak lebih tinggi.
Bukan hanya konsumen, pelaku usaha juga terdampak. Ketua GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia) menyebut kenaikan PPN akan meningkatkan biaya operasional, yang pada akhirnya dibebankan kembali kepada konsumen. Ketua Aprindo menambahkan, konsumsi domestik berpotensi menurun hingga 20 persen, terutama karena kelas menengah cenderung mengurangi belanja pada barang non-esensial.
BACA JUGA:
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini tetap mengacu pada asas keadilan. Namun, bagaimana adil jika kelas menengah yang menopang konsumsi domestik harus ikut menanggung beban? Meski pendapatan negara diprediksi meningkat Rp75 triliun, harga yang harus dibayar oleh masyarakat berpotensi lebih besar: diprediksi daya beli menurun, konsumsi melambat, dan potensi inflasi meningkat.
Ironisnya, pemerintah belum memaksimalkan penerimaan pajak dari sektor digital, yang nilainya mencapai triliunan rupiah. Dilansir dari bisnis, tercatat, realisasi penerimaan PPN perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau pajak digital sepanjang 2023 hanya senilai Rp6,76 triliun, sedangkan pada tahun yang sama Bank Indonesia mencatat transaksi e-commerce mencapai Rp453,75 triliun. Dengan tarif PPN 11%, potensi penerimaan PPN PMSE tahun lalu tercatat mencapai Rp49,91 triliun. Artinya, ada potensi pajak yang tidak terpungut sebesar Rp43,15 triliun.
Kenaikan PPN 12 persen sebaiknya ditunda. Pemerintah perlu mengkaji ulang dampaknya secara komprehensif. Alternatif seperti pajak progresif untuk penghasilan tinggi atau optimalisasi pajak digital lebih layak ditempuh. Selain itu, pemberian subsidi dan insentif fiskal yang tepat sasaran harus menjadi prioritas untuk menjaga daya beli masyarakat.
Kenaikan PPN 12 persen membawa dampak jauh melampaui barang mewah. Kebijakan ini membebani kelas menengah, menekan konsumsi domestik, dan menimbulkan risiko inflasi. Kita setuju dengan niat pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, namun, pemerintah perlu mencari solusi yang tidak hanya kreatif tetapi juga adil. Meski sasaran masyarakat atas, tapi jangan sampai kelas menengah, yang menjadi roda penggerak ekonomi, harus membayar harga yang terlalu mahal.