JAKARTA -Slogan “Indonesia Macan Asia” dan “Make America Great Again” tentu tidak asing di telinga kita. Slogan itu dilontarkan dua figur yang kini menjadi pemimpin di negara masing-masing. Ya, “Indonesia Macan Asia” milik Prabowo Subianto yang kini menjadi Presiden ke-8 RI dan “Make America Great Again” dikampanyekan Donald Trump yang baru saja memenangi pemilihan Presiden AS.
Kedua slogan itu memiliki kemiripan tujuan, yakni menjadikan negara masing-masing sebagai negara yang hebat, berdikari dan disegani oleh negara-negara lain. Dalam beberapa pidatonya, Presiden Prabowo menegaskan keinginannya agar Indonesia tidak menjadi negara yang “diinjak-injak” negara lain baik dari sisi kedaulatan politik maupun ekonomi.
Ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP, M Romahurmuziy menilai, niat Presiden Prabowo membawa Indoonesia menjadi negara besar sudah tercetus sejak mencalonkan diri menjadi presiden di tahun 2014. Karena itu, dalam buku yang ditulisnya berjudul “Paradoks Indonesia”, Prabowo banyak menyinggung persoalan-persoalan menghambat Indonesia menjadi negara besar.
“Sebenarnya itu (menjadikan Indonesia negara besar) sudah menjadi concern Pak Prabowo dari dulu. Bagaimana beliau menyoroti banyaknya SDA Indonesia yang diambil pihak luar hingga pada pidatonya beliau menyatakan jangan sampai SDA kita terus mengalir ke luar. Ini hanya salah satu contoh kecil,” ujarnya, Senin 11 November 2024.
BACA JUGA:
Menurut dia, salah satu cara Prabowo menjadikan Indonesia sebagai negara besar yang disegani negara lain adalah meniadakan “musuh” di dalam negeri/internal, tetapi mengajak rakyat Indonesia mewaspadai musuh dari luar negeri/eksternal. Hal inilah yang membedakan Prabowo dari presiden-presiden sebelumnya, seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.
Romi menyebut, dalam sepuluh tahun era SBY, “musuh bersama” pemerintah dan rakyat Indonesia adalah korupsi. Sedangkan era Jokowi, “musuh bersama” itu adalah persoalan radikalisme. “Sementara Presiden Prabowo berupaya menciptakan musuh bersama itu berada di luar/eksternal. Di internal, Prabowo kita ketahui berupaya merangkul semua elemen agar tidak terjadi kegaduhan di dalam negeri,” imbuhnya.
Kemiripan Kebijakan Prabowo dan Trump
Sosiolog Unpad, Jannus Siahaan mengungkapkan, sebenarnya dari sisi ideologi kebijakan, platfrom ekonomi politik dan kebijakan luar negeri Prabowo dan Donald Trump tidak terlalu jauh berbeda. Kepentingan dalam negeri adalah yang utama, sebelum berbicara di pentas yang lebih luas, yakni pentas global.
Keberhasilan kebijakan di dalam negeri akan menjadi dasar kebijakan yang akan dibawa ke luar negeri. Sehingga kata nasionalisme dan patriotisme akan menjadi terminologi ekonomi, politik, dan geopolitik yang akan banyak digunakan oleh kedua figur presiden tersebut.
Karena itu, secara substantif kebijakan-kebijakan Prabowo Subianto akan banyak persamaan dengan Donald Trump yang akan mengutamakan nasionalisme dan patriotisme ekonomi politik, walau secara teknis cara yang ditempuh hampir pasti tidak sama. Donald Trump memahami betapa pentingnya panggung, sehingga untuk tetap menguasai panggung dan arena isu, Trump akan menggunakan cara-cara kontroversial dan narasi-narasi yang cukup frontal di satu sisi dan langkah-langkah yang sedikit “out of the box” di sisi lain.
Sedangkan Prabowo, sedari awal turun ke dalam arena politik praktis nasional justru memilih langkah santun. Meski membawa narasi yang keras, tapi berusaha untuk tidak menyudutkan siapapun. Bahasa-bahasa politik Prabowo sedemikian rupa menghindari berseteru dengan para pihak di dalam arena politik.
Terlepas dari itu semua, lanjut Jannus, permasalahan berpotensi muncul di tataran internasional jika orientasi nasionalisme mulai mengemuka. Secara ekonomi, proteksionisme dan tarif akan menjadi senjata andalan untuk melindungi dunia bisnis domestik di satu sisi dan mempersiapkan daya saing domestik di sisi lain. Sehingga mau tak mau, dibutuhkan diplomasi yang superalot jika kedua negara bertemu pada satu isu yang sama-sama terkait dengan kepentingan nasional masing-masing.
“Secara personal Prabowo boleh jadi dipuji oleh Donald Trump berkat patriotisme politiknya, begitu juga sebaliknya. Namun pada tataran praktik ketika kedua negara harus berdiplomasi pada isu-isu kepentingan nasional masing-masing, besar kemungkinan kedua pihak akan saling melempar muka masing-masing, karena dibutuhkan perdebatan keras dan frontal untuk mempertemukan kepentingan kedua negara. Katakanlah, misalnya, Donald Trump akan sangat senang jika Prabowo mengambil jarak dengan China. Namun di sisi lain, rasanya hal itu akan sangat sulit diwujudkan, karena hampir bisa dipastikan bahwa Prabowo akan memilih dekat dengan Amerika sekaligus dengan China,” terangnya.
Meski demikian, kesamaan platform ideologis ekonomi politik Donald Trump dan Prabowo Subianto dianggap bisa mendamaikan dan membuat hubungan kedua figur tersebut menjadi lebih harmonis. Donald Trump yang frontal boleh jadi akan ternetralisasi oleh kehati-hatian politik luar negeri Prabowo di satu sisi dan keinginannya untuk tetap bersahabat dengan siapapun di sisi lain, meskipun berbeda kepentingan.
“Setidaknya, kemampuan Prabowo yang telah terbukti bisa dekat dengan sosok Vladimir Putin dan Xi Jinping akan menjadi kredit point bagi Trump untuk memperlakukan Prabowo sedikit setara dengan dua pemimpin besar tersebut. Boleh jadi pada akhirnya Asia Tenggara pada umumnya dan Indonesia pada khususnya menjadi semakin dipertimbangkan oleh seorang Donald Trump dan Amerika Serikat, karena keberhasilan Prabowo Subianto dalam memainkan kartu-kartu geopolitis yang cantik di satu sisi dan tetap berpegang pada kepentingan nasional Indonesia di sisi lain,” tutup Jannus.
Tuntut Ilmu sampai ke China
Presiden Prabowo Subianto memang berbeda. Hal ini bisa dilihat dari kunjungan pertamanya ke luar negeri setelah dilantik sebagai kepala negara. Prabowo tidak mengunjungi negara ASEAN sebagai tetangga Indonesia, melainkan langsung melesat ke China dan Amerika Serikat.
Rangkaian perjalanan Presiden Prabowo Subianto itu dimulai dari China selanjutnya ke Amerika Serikat, Peru, Brasil dan Inggris. Di Brasil ada pertemuan G20 dan di Peru ada APEC. Jika tak meleset, Presiden Prabowo Subianto akan bertemu Presiden China Xi Jinping sebanyak tiga kali dalam lawatan pertamanya ke luar negeri.
Kedatangan Presiden Prabowo Subianto ke China seakan ingin mengisyaratkan ke Presiden Xi Jinping bahwa dirinya punya prioritas yang berbeda dari Presiden Jokowi. Prioritasnya itu ingin mengatasi masalah pangan dan swasembada energi untuk dalam negeri. Yah, prioritas negara saat ini bukan lagi infrastruktur atau IKN lagi.
Presiden Prabowo juga mengungkapkan keinginan Indonesia untuk belajar dari China tentang bagaimana melakukan modernisasi hingga mengentaskan masyarakat miskin. Hal ini dilakukan saat pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Li Qiang di Balai Besar Rakyat, Beijing, Sabtu, 9 November.
Sementara itu, Perdana Menteri Li Qiang mengatakan pertemuan Presiden China Xi Jinping dan Presiden Prabowo dapat membentuk cetak biru pengembangan hubungan China-Indonesia. Cetak biru tersebut diharapkan dapat memberikan dukungan yang kuat bagi kedua negara untuk bekerja sama menemukan dan mengambil jalan yang baik menuju modernisasi serta mempromosikan kontribusi bagi kawasan dan dunia terhadap pembangunan dan kemakmuran bersama.
Pesan untuk Presiden
Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan ada dua negara besar yang menjadi target dari Presiden Prabowo yakni Amerika Serikat dan China. Menurut Hikmahanto, Prabowo ingin merealisassikan pidatonya dengan menjadikan Indonesia sebagai negara besar.
"Menurut saya sebenarnya yang hendak dikunjungi adalah 2 negara besar yaitu AS dan China. Dan bisa dilihat Presiden Prabowo bisa langsung mendatangi Amerika Serikat setelah dari China. Biasanya para kepala negara/pemerintahan harus antri dan menunggu lama untuk diterima," kata Hikmahanto juwana kepada VOI, Selasa,12 November.
Hikmahanto menilai kunjungan Prabowo ke China jelas bermuatan ekonomi. Pasalnya saat ini negara China yamg memiliki surplus serta pangsa pasar yang baik. Tapi dia mengingatkan penguatan kerja sama Indonesia-China melalui Pernyataan Bersama pada 9 November 2024 agar jangan sampai mengorbankan kedaulatan Indonesia dan kepentingan bersama ASEAN di Laut China Selatan.
“Kedua belah pihak mencapai kesepahaman bersama yang penting terkait pembangunan bersama di area klaim yang bertumpang tindih (overlapping claims). Apakah area klaim tersebut terkait dengan “10 garis putus-putus” (Ten-dash line) Cina? Ini terkait dengan klaim zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Pulau Natuna Utara," tandasnya