Bagikan:

JAKARTA – Kekerasan di sekolah masih menjadi salah satu masalah serius di dunia pendidikan. Dalam empat tahun terakhir saja, tren kekerasan di dunia pendidikan selalu meningkat.

Dunia pendidikan Indonesia masih sering diwarnai kabar-kabar tak mengenakkan. Mulai dari masalah kurikulum, sistem penerimaan peserta didik baru yang menjadi polemik, hingga biaya pendidikan yang tinggi.

Satu hal lain yang hampir selalu mewarnai pemberitaan media massa Tanah Air adalah bagaimana dunia pendidikan seringkali tercoreng oleh aksi kekerasan di lingkungan sekolah.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat tren kekerasan di dunia pendidikan terus mengalami lonjakan dari tahun ke tahun.

Kampanye damai perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan pelecehan seksual. (ANTARA/Aditya Pradana Putra/kye/aa)

Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan, dalam upaya pencegahan kekerasan di sekolah, butuh kolaborasi berbagai pihak dalam upaya pencegahan kekerasan di sekolah. Hal ini, katanya, diawali dorongan political will dari pemerintah, mulai dari pusat hingga ke dinas-dinas pendidikan.

"Ada pemerintah pusat, madrasah, pesantren, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendidikan yang harus bekerja sama. Ini harus menjadi bagian dari agenda nasional," katanya.

Tren Kekerasan Meningkat 

Baru-baru ini terjadi kasus perundungan di SMAN 70 Jakarta yang melibatkan lima siswa kelas 12 terhadap siswa kelas 10 berinisial ABF. Kepala SMAN 70 Jakarta Sunaryo menyatakan pihaknya telah mengeluarkan kelima orang tersebut, namun belum diketahui ke mana mereka dipindahkan.

Ada juga kasus perundungan seorang siswa yang masih duduk di kelas 3 sekolah dasar (SD) yang dilakukan oleh tiga orang teman sekelasnya di sebuah sekolah swasta di Yogyakarta.

Dua kejadian tersebut hanya secuil dari banyak kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan sepanjang 2024. Ini terlihat dari data yang dihimpun JPPI selama empat tahun ke belakang.

Menurut data JPPI yang diterima VOI, pada 2020, kekerasan di dunia pendidikan sebanyak 91 kasus, kemudian naik menjadi 142 kasus di 2021, 194 kasus di 2022, 285 kasus pada 2023 dan terjadi lonjakan besar pada tahun ini menjadi 473 kasus.

Dibanding tahun-tahun sebelumnya, jumlah kasus kekerasan mengalami lonjakan cukup tajam di 2024. Data menunjukkan terjadi kenaikan kasus kekerasan di lingkungan pendidikan lebih dari 100 persen pada 2024 jika dibandingkan 2023. Atau dengan kata lain, berarti terdapat setidaknya satu kasus kekerasan setiap satu harinya.

"Bila satu tahun 2024 terdapat 366 hari sedangkan jumlah kasus mencapai 573 maka minimal satu hari ditemukan satu kasus kekerasan di lembaga pendidikan," kata Ubaid.

Tampak depan SMA Negeri 70, Jakarta Selatan, di hari pertama masuk sekolah tahun ajaran 2016/2017, Jakarta, Senin (18/7/2016). (ANTARA/Natisha)

Hal lain yang menjadi perhatian dalam perilisan data ini adalah, terungkap bahwa Jawa Timur menjadi daerah dengan jumlah kasus kekerasan terbanyak di Indonesia dengan angka 14,2 persen atau 81 kasus. Kasus yang dilaporkan termasuk kekerasan seksual dan perundungan.

Wilayah lain yang juga memiliki kasus kekerasan terbanyak adalah Jawa Barat (9,8 persen). Jawa Tengah (7,8 persen), Banten (5,4 persen), dan Jakarta (4,9 persen).

“Hampir semua provinsi di Indonesia ada kejadian, hampir semua sekolah yang ada di provinsi di Indonesia kejadian, tetapi kami jumlahkan itu paling tinggi di Jawa Timur ada 81 kasus,” ujar Ubaid.

Belum ada alasan pasti soal penyebab tingginya kasus kekerasan di Jawa Timur. Namun menurut Ubaid tingginya kasus kekerasan di Jatim kemungkinan karena jumlah sekolah di daerah tersebut lebih banyak dibandingkan provinsi lain.

“Tetapi menjadi perhatian ternyata Jawa. Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Jakarta ini Jawa semua, banyak kasus kekerasan di Jawa,” ujar Ubaid lagi.

Sekolah Paling Rawan

Kasus kekerasan sebenarnya bisa terjadi di mana saja, baik di dalam sekolah maupun luar sekolah. Namun, tempat yang paling rawan justru di dalam sekolah. Menurut catatan JPP, tempat kejadian perkara (TKP) di dalam sekolah mencapai 58 persen, sedangkan kejadian di luar sekolah sebanyak 27 persen.

Selain itu, kasus kekerasan juga tidak hanya terjadi di sekolah umum, tetapi juga di madrasah dan pesantren. Padahal sekolah berasrama seperti pesantren mestinya memiliki pengawasan yang dilakukan selama 24 jam.

Adapun berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual dan perundungan masih menjadi dosa besar yang diwariskan dari masa ke masa di lembaga pendidikan. JPPI mencatat kekerasan seksual berada di urutan pertama dengan 42 persen, dilanjutkan perundungan 31 persen, kekerasan fisik 10 persen, kekerasan psikis 11 persen, dan kebijakan diskriminatif enam persen.

Ironisnya, kebanyakan pelaku kekerasan di lembaga pendidikan sepanjang 2024 justru adalah guru, di angka 43,9 persen. Sementara 39,8 persen pelaku adalah kakak senior, masyarakat, serta lingkungan di luar sekolah. Temuan ini jelas menjadi hal memprihatinkan, karena guru seharusnya menjadi pelindung di lingkungan sekolah. Menurut Ubaid, guru menjadi pelaku kekerasan sering terjadi karena cara ini dianggap sebagai bagian dari pendisiplinan.

"Dan yang jadi penting ini juga penguatan soal guru, bagaimana guru seringkali menggunakan cara-cara kekerasan sebagai bagian dari pendisipinan, bagian dari saksi, dan seterusnya, tetapi justru terjerumus pada pelaku-pelaku tindakan kekerasan," ujarnya.

Meski guru banyak menjadi pelaku kekerasan di sekolah, tak sedikit pula mereka juga sering menjadi korban. Kita tentu sering mendengar kabar soal guru dipukuli orangtua atau kriminalisasi guru yang mewarnai serba-serbi dunia pendidikan sepanjang tahun ini. Kasus guru menjadi korban kekerasan mencapai 10,2 persen.

Untuk itu, dalam upaya pencegahan kekerasan di sekolah butuh kolaborasi antara berbagai pihak, yang diawali dengan dorongan political will dari pemerintah, mulai dari pusat hingga ke dinas-dinas pendidikan.

"Ada pemerintah pusat, madrasah, pesantren, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendidikan yang harus bekerja sama. Ini harus menjadi bagian dari agenda nasional," katanya.

Ubaid menegaskan pentingnya peran dinas-dinas yang selama ini dinilai kurang paham mengenai penanggulangan kekerasan. Menurutnya, meskipun Satuan Tugas (Satgas) dan Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) sudah dibentuk, banyak diantaranya yang belum dilatih atau didampingi secara memadai. Akibatnya, meskipun sudah ada kebijakan, implementasi di lapangan sering kali terhambat.

"Setelah di-SK-kan, masalah selesai begitu saja. Padahal, jika tidak ada political will yang kuat, masalah ini tidak akan pernah selesai," tandasnya.