Bagikan:

JAKARTA – Kondisi ekonomi Indonesia disebut sedang tidak baik-baik saja. Tapi mungkin tak banyak yang menyangka, jarak antara orang kaya dan orang biasa makin terlampau jauh. Ini tercermin dari penelitian Center of Economic and Law Studies (Celios) yang mengungkapkan penambahan kekayaan para triliuner melonjak drastis pada saat yang bersamaan dengan kesulitan kelas pekerja.

Dalam kacamata pembangunan di Indonesia, ukuran kemajuan sering kali diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) dan pembangunan infrastruktur. Namun menurut Direktur Keadilan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar, keduanya disebut sebagai indikator semu.

Di atas kertas, indikator tersebut menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun di balik indikator tersebut ada ketimpangan ekonomi yang semakin dalam.

"Pengukuran yang terlalu berfokus pada angka-angka makroekonomi sering kali melupakan makna hakiki dari pembangunan, yaitu memastikan bahwa manfaat dari pertumbuhan ekonomi benar-benar menyentuh seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang seberapa tebal isi dompet mereka," tulis Media dalam laporan tersebut.

Pendapatan Crazy Rich Melonjak

Pertengahan tahun ini, nama Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang juga putra bungsu Presiden Ketujuh Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep, dan istrinya, Erina Gudono, dihujat warganet Indonesia gara-gara mereka ketahuan menggunakan jet pribadi dalam perjalanan dari Solo ke Amerika Serikat untuk mengurus pendidikan S2.

Ada dugaan gratifikasi dalam penggunaan jet pribadi Kaesang dan istrinya ke AS, namun hal ini dibantah Ketum Relawan Pro Jokowi (Projo) Budi Arie, yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika.

Peristiwa ini terjadi saat berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi di sejumlah daerah, termasuk di Gedung DPR Jakarta, menuntut DPR mengikuti utusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah.

MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu di daerah bersangkutan mulai dari 6,5 hingga 10 persen.

Ironisnya, di tengah kritik yang ditujukan kepadanya, Erina malah dianggap sengaja pamer kehidupan mewah selama perjalanannya ke AS. Mulai dari roti seharga Rp400 ribu sampai stroller atau kereta bayi yang harganya ditaksir mencapai puluhan juta.

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen hanya akan menggerus daya beli masyarakat. (Unsplash)

Maka warganet pun menganggap Kaesang dan Erina tone deaf alias tidak mengerti apa yang dirasakan orang lain, dalam hal ini rakyat Indonesia.

Di tengah kehidupan Erina yang diselimuti kemewahan, ada ratusan ribu warga Indonesia yang kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja (PHK), menurunnya daya beli masyarakat, dan jumlah kelas menengah yang merosot. Padahal kelas menengah merupakan penopang ekonomi Indonesia.

Berkaca dari penggunaan jet pribadi yang menjadi polemik, Celios merilis sebuah studi dengan tajuk Jet Pribadi untuk Si Kaya dan Sepeta Butut untuk Si Miskin. Dalam laporan tersebut, Celios menggambarkan betapa ketimpangan ekonomi di Indonesia nyata adanya.

Sejak 2020 pendapatan tiga orang terkaya di Indonesia naik lebih dari tiga kali lipat, sementara upah pekerja hanya naik 15 persen di periode yang sama. “Ini adalah cerminan ketimpangan yang semakin menghambat mobilitas sosial,” kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira.

Istilah orang kata semakin kaya dan yang miskin semakin miskin tampaknya pas untuk menggambarkan situasi ini.

Perlu Langkah Tegas Pemerintah

Dalam laporannya, Celios mengungkapkan bahwa ada kenaikan signifikan terkait kekayaan tiga triliuner teratas di Indonesia dalam periode 2020-2023. Total kenaikan kekayaan para triliuner ini diperkirakan mencapai 174 persen. Beberapa triliuner yang disebutkan dalam laporan Celios adalah Lim Hariyanto Wijaya Sarwono, Low Tuck Kwong, dan Prajogo Pangertu.

Celios memberikan analogi ketimpangan ekonomi para crazy rich ini dan rakyat biasa. Dalam temuannya, Celios menyebut gabungan harta 50 orang terkaya bisa membayar seluruh gaji pekerja di Indonesia selama satu tahun. Bahkan nilai kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia juga setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat pada umumnya.

Terdapat dua kelompok penting yang menjadi rujukan dalam studi ini, yaitu daftar 50 orang terkaya di Indonesia menurut Forbes dan daftar kekayaan para menteri di Kabinet Jokowi.

Sementara itu, dalam riset tersebut dijelaskan, kelas pekerja harus bertahan lebih keras seiring pertumbuhan upah yang hanya naik 15 persen. Ketika masyarakat mencoba mencari jalan pintas lewat pinjaman online (pinjol) ilegal, mereka malah terjebak dalam utang yang kian menggunung karena bunga pinjaman yang mencekik.

Ketimpangan kekayaan di Indonesia makin melebar. Riset Celios menunjukkan gabungan harta 50 orang terkaya bisa membayar seluruh gaji pekerja di Indonesia selama satu tahun. (ANTARA/Muhammad Adimaja/YU)

Penderitaan rakyat biasa tidak berhenti sampai di situ. Pemerintah akhirnya ketok palu, mengesahkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi 12 persen, dan di saat yang bersamaan wacana pemberian tax amnesty atau pengampunan pajak untuk orang kaya pun santer terdengar.

Seruan sejumlah pengamat ekonomi supaya pemerintah membatalkan tarif PPN 12 persen tak digubris. Padahal menaikkan PPN hanya akan menggerus daya beli masyarakat kelas menengah, yang belakangan pun sudah makin sulit. Begitu pula dengan dorongan agar memberlakukan pajak kepada orang kaya melalui pajak kekayaan atau wealth tax yang memiliki potensi mencapai Rp81,6 triliun, yang tak diindahkan pemerintah. 

"Batalkan dulu kenaikan tarif PPN 12 persen. Pajaki orang kaya melalui wealth tax karena ada potensi Rp81,6 triliun," ujar Bhima kepada VOI. 

Selain itu, Bhima menyampaikan, sebaiknya pajak karbon, pajak produksi batubara, dan pajak windfall profit komoditas ekstraktif perlu diberlakukan. Peningkatan kepatuhan pajak juga harus dilakukan, sehingga rasio pajak dapat meningkat tanpa membebani daya beli kelas menengah ke bawah.

Kekayaan yang tidak terdistribusi dengan merata ini, menurut Celios, harus segera diatasi. Menurutnya akan menjadi ironi ketika rakyat yang berjuang untuk hidup di tengah jebakan siklus utang berbunga tinggi masih saja dibebani berbagai macam tagihan pajak. Sedangkan triliuner Indonesia yang meraup kekayaan dari bisnis di tanah air justru hidup nyaman di negara tetangga Singapura.

"Pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk mengatasi ketimpangan ini. Kebijakan pengampunan pajak dan insentif fiskal yang ada saat ini justru cenderung menguntungkan perusahaan besar dan orang-orang kaya, sementara masyarakat kelas menengah-bawah dipaksa patuh membayar pajak,” pungkas Direktur Keadilan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar.