Bagikan:

“Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas sejauh-jauhnya.”(Soe Hok Gie)

JAKARTA - Gelombang unjuk rasa dari 18 Universitas di Indonesia di depan gedung DPR/MPR berlangsung pada Senin 11 April lalu.  Aksi demonstrasi mahasiswa ini mengajukan tuntutan, diantaranya menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu.

Aksi demo yang digelar di Jakarta mengalami kericuhan, karena aksi ini tidak hanya dari mahasiswa tapi juga diramaikan kelompok-kelompok lain tanpa jaket almamater. Suasana yang dipenuhi beragam masyarakat ini akhirnya memicu kekacauan.

Saat ini aksi demo mahasiswa banyak mendapat sorotan.Terutama pada aktivitas demonstrasi yang dilakukan. Demonstrasi dianggap adalah ekspresi idealisme mahasiswa untuk menyalurkan pikiran, pandangan dan kritiknya.

Demonstrasi mahasiswa BEM SI mengangkat isu korupsi dan Ketua KPK, Firli Bahuri di Kawasan Patung Kuda, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (21/10/2021). (ANTARA/Mentari)

Namun sayangnya anarkisme telah menjadi simbol setiap aksi demo mahasiswa. Sangat jarang kita melihat berakhir dengan damai. Setiap hari kita melihat berita Sabang sampai Merauke mahasiswa terlibat bentrok dengan aparat.

Tidak ada yang salah menjadi idealis atau realitis, namun yang penting adalah bagaimana kita menempatkan salah satu pendirian tersebut pada situasi yang tepat. Di saat  manusia dituntut untuk berpikir kritis dan berinovasi, mahasiswa harus idealis. Namun sikap realistis juga diperlukan mahasiswa agar tidak overconfident. Mahasiswa memerlukan keduanya untuk keseimbangan.

Menurut KBBI definisi idealisme adalah: (1) aliran ilmu filsafat yg menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami; (2) hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yg dianggap sempurna; (3) aliran yg mementingkan khayal atau fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dengan kenyataan. Dan pengertian nomor dua adalah yang sering kita alami.

Romantisme Sejarah

Dalam sejarahnya mahasiswa Indonesia bersama element masyarkat mampu menjatuhkan dua orde yaitu, orde lama dan orde baru. Demonstrasi Tritura pada tahun 1966 dikenal sebagai salah satu peristiwa sejarah paling heroik bagi para mahasiswa. Mahasiswa pada saat itu bersatu padu untuk melawan PKI yang ingin mengganti dasar negara. Puncaknya saat mahasiswa berbondong-bondong menuntut tiga tuntutan rakyat (tritura).

Pada periode 1960 an, gerakan mahasiswa Indonesia terpecah oleh berbagai kepentingan pribadi, kelompok, golongan, agama, bahkan kepentingan politik. Dapat dikatakan situasinya agak mirip dengan kondisi saat ini.

Pada periode ini muncul sosok Soe Hok Gie, dengan sikap idealis yang dipertahankannya membuat sosoknya dikucilkan oleh teman-temannya. Namun bukan persoalan berarti untuknya. Untuknya, mempertahankan kebenaran artinya siap untuk kesepian.

Soe Hok Gie selalu tampil ke depan untuk melawan dan menyuarakan ketidakadilan. Namun, ia tak pernah menganjurkan anarkis saat mereka melakukan aktivitas politik ala mahasiswa.

Menurutnya idealis sejati hanya berkata, berbuat, dan bertindak atas nama kebenaran. Intelektual muda itu selalu menjadi inspirasi mahasiswa Indonesia di segala zaman.

Soe Hok Gie, ikon idealisme demonstrasi mahasiswa di Indonesia. (Dok. Mapala UI)

Ketika kawan-kawan seperjuangannya telah duduk menjadi birokrat dan perlahan-lahan mulai kehilangan idealismenya, Gie tetap saja pada pendiriannya. Baginya, politik adalah lumpur yang kotor. Namun ketika kita tidak menghindar, maka terjunlah ke dalamnya.

Perubahan tak akan berubah hanya dengan idealisme saja, namun perlu ada pergerakan. Seperti kata Gie, “Patriotisme tidak akan lahir dari hipokrisi dan slogan ”Hidup Mahasiswa”. Idealisme mahasiswa adalah idealisme hati nurani bangsa.

Karakter seseorang dapat menandakan jiwa zamannya tetapi terkadang pemikiran seseorang melampaui zamannya. Badan boleh binasa tetapi pemikiran seseorang tetap mengabdi sepanjang hayat.

Mahasiswa masih bisa beridealis dikarenakan mahasiswa adalah menjadi manusia yang bebas dan independen.  Tapi, adalah soal sejauh mana mahasiswa memahami idealisme yang dipilihnya.

Bagaimana Sekarang?

Tragedi Mei 1998 adalah hari paling bersejarah bagi mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Trisakti pada khususnya. Karena pada tanggal itu terjadi penembakan terhadap tiga mahasiswa yang terlibat dalam aksi demo menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya.

Tragedi Mei ini telah menjadi pintu gerbang runtuhnya singgasana Orde baru, dan membuka lembaran reformasi yang memberikan warna bagi sejarah dan perbaikan bangsa.

Lantas bagaimana dengan gerakan mahasiswa sekarang? Mungkinkah corak aksi seperti itu tertancap kokoh di jiwa para mahasiswa? Pasca reformasi 98, organisasi dan aktivitas mahasiswa seperti mati suri.

Sekarang tak jarang kita melihat gerakan aksi mahasiswa karena tren semata, sehingga aktivis-aktivis tidak memahami isu yang mereka usung. Kondisi ini berbeda dengan era 90an, karena gerakan mahasiswa selalu dibangun dengan ideologi yang tidak bisa ditawar.

Demonstrasi mahasiswa menggaungkan Tritura pada 1966 menentang Pemerintahan Orde Lama. (Dok. BBC)

Gerakan mahasiswa sekarang bertolak belakang dengan yang dulu. Gerakan mahasiswa sekarang cenderung dipengaruhi ideologi-ideologi tertentu dan kepentingan politik praktis. Tak heran jika gerakan mahasiswa muncul tidak dengan visi misi yang sama, justru sering terjadi konflik antarmereka.

Kekuatan politik itulah yang kemudian menggerogoti ideologi dan kekuatan serta daya tawar gerakan mahasiswa, membuat setiap upaya gerakan mahasiswa di tengah masyarakat kurang mendapat simpati dan dukungan.

Tapi bukan jaminan bahwa mahasiswa yang idealis, ketika memasuki dunia kerja mereka akan selalu ‘lurus’. Contohnya, ketika mahasiswa turun ke jalan meneriakan ‘anti korupsi’, namun realita dunia kerja melunturkan idealismenya. Kadang kita mendapati aktivitis kampus yang karir politiknya menanjak terseret kasus korupsi. Siapa yang salah?

Untuk menjadi ideal, mahasiswa hanya perlu menyelamatkan dirinya dari "korban" idealisme, yaitu mereka yang hanya menjadikan demonstrasi sebagai kompensasi kesemerawutan kuliahnya. Dengan gagah-gagahan berteriak di jalan dikelilingi gumpalan asap ban yang dibakarnya.

Ingat bahwa setiap generasi berhak menulis sejarahnya sendiri. Jangan sampai mahasiswa malah berubah menjadi leviathan. Meminjam istilah Thomas Hobbes, yang malah menjadi aktor di balik carut-marutnya kondisi negara ini.

Demosntrasi mahasiswa di depan Kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat pada Mei 1998 yang berhasil menumbangkan Pemerintahan Orde Baru. (WIKIPEDIA)

Sebuah pertanyaan muncul, masih adakah seorang mahasiswa Indonesia yang seperti Soe Hok Gie? Yang sama persis sulit ditemukan, tetapi yakin suatu saat pasti ada. Jika ketidakadilan, korupsi, kolusi, kemiskinan, dan hal-hal sejenisnya masih ada.

Di tengah persoalan bangsa yang semakin pelik, bangsa ini membutuhkan generasi muda yang sadar akan nasib bangsanya. Generasi muda yang tidak hanya kritis tapi juga rasional.

Namun banyak mahasiswa melupakan hal penting dibalik kesuksesannya menjunjung nilai idealismenya yaitu spiritualitas, yaitu kecerdasan spiritual yang berakar pada dari nilai-nilai agama.

Ketika menjadi mahasiswa ataupun di tengah masyarakat atau nanti menjadi atasan atau bawahan, pejabat atau rakyat jangan pernah melupakan untuk memiliki kecerdasan spiritual sebagai penjaga idealisme ketika masih menjadi mahasiswa.