Bagikan:

JAKARTA - Perjalanan hidup Presiden RI ketujuh, Joko Widodo (Jokowi) selalu jadi sorotan. Termasuk bagaimana kehidupan kampusnya sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Ada narasi-narasi menyandingkan Jokowi dengan sosok aktivis angkatan '66, Soe Hok Gie. Bagaimana ceritanya?

Bukan militansi Jokowi sebagai aktivis atau intelektual. Jokowi dikenal sebagai mahasiswa pencinta alam (Mapala). Ia konon suka naik gunung. Hal itu yang membuat Jokowi disama-samai dengan sosok Gie.

Di bangku sekolahan, Jokowi dikenal sebagai pribadi yang ambisius. Ia sempat bermimpi sekolah di SMA Negeri 1 Surakarta. Namun gagal. Jokowi akhirnya masuk ke SMA 6 Surakarta.

Di SMA 6 Jokowi kerap jadi juara umum. Prestasi itu yang membuka jalan bagi remaja kelahiran Surakarta 21 Juni 1961 itu mengenyam pendidikan di jurusan Teknologi Kayu, Fakultas Kehutanan UGM.

Jokowi (Facebook/Jokowi)

“Saat itu, Jokowi sudah punya pilihan: Fakultas Kehutanan UGM. Tak ingin si sulung jatuh lagi dalam kekecewaan jika gagal masuk UGM, Sujiatmi menyüruh Jokowi ikut bimbingan belajar agar hisa menembus pintu masuk perguruan tinggi negeri."

"Selama sebulan Jokowi ikut bimbingan belajar ini. Teman-temannya adalah para lulusan SMA 1, sekolah favorit yang permah membuatnya kecewa. Hasilnya tak sia-sia,” tulis Kristin Samah dkk dalam buku Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi (2014).

Jokowi sengaja mengambil jurusan Teknologi Kayu saat berkuliah (1980-1985). Kata Jokowi, jurusan itu diambil karena kedekatannya dengan dunia kayu sejak kecil. Iya, Jokowi lahir dan besar di lingkungan para pengusaha kayu. Kakek, paman hingga orang tuanya adalah pengusaha kayu.

"Kakek saya usaha kayu, pakde saya juga berjualan kayu. Selain itu, lingkungan dekat saya juga hidup dengan berjualan kayu," kata Jokowi dikutip Mukti Ali Qusyairi dalam buku Jalinan Keislaman, Keumatan, & Kebangsaan: Ulama Bertutur tentang Jokowi (2018).

Kehidupan kampus Jokowi sebagai mahasiswa

Jokowi bersama Mapala Silvagama (Instagram/Mapala Silvagama)

Perjalanan Jokowi sebagai mahasiswa tak mulus-mulus amat. Orang tua Jokowi sempat kekurangan dana untuk menyekolahkannya sampai sarjana. Saat itu ayah Jokowi adalah pedagang kayu kecil-kecilan.

Pengahasilan sang ayah hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tambah berat lagi, ketiga adik Jokowi --Iit Sriyantini, Ida Yati, dan Titik Relawati-- juga masih dalam usia sekolah yang membutuhkan biaya besar juga.

Terkait keputusannya memilih kampus, Jokowi sudah bulat pada UGM. Suatu hari orang tuanya melakukan rapat keluarga. Masalah kekurangan dana akhirnya terpecahkan.

Tanggungan biaya kuliah tak cuma dibebankan pada ayahnya tapi juga pada paman dan nenek keluarga ibunya. Jokowi saat itu juga mondar-mandir jadi penagih utang pada para pelanggan ayahnya yang bermasalah. Uang-uang itu juga jadi sumber dana kuliah Jokowi.

“Jokowi memang fenomenal. Walaupun tidak pernah mempelajari ilmu sosial, apalagi psikologi (kuliahnya dulu di Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta), Jokowi menerapkan kaidah-kaidah intervensi sosial dengan sangat tepat, hanya berdasarkan akal sehatnya dan komitmennya pada tugas (saya tidak mau menyebut ‘hati nurani,’ karena istilah itu sudah jadi pasaran, malah murahan)," ujar Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Sarlito Wirawan Sarwono dikutip Owen Putra dalam buku Si Nyentrik yang Disukai: Jokowi (2012).

Jokowi mahasiswa pecinta alam

Satu hal menarik dari dunia perkuliahan Jokowi adalah dirinya aktif sebagai aktivis Mapala. Jokowi kala itu menjadi anggota Mapala Silvagama UGM. Jokowi tahu betul pentingnya pendidikan di luar kelas. Menjadi Mapala selalu disebut Jokowi sebagai ruang mengasah kepekaan terhadap lingkungan.

"Tapi juga saya aktif, tapi aktif utamanya di pecinta alam. Saya memang senang dan juga bisa belajar di mana saja, belajar kan tidak hanya di kampus, tapi di alam pun kita bisa belajar," kata Jokowi dikutip Suara.com.

Sahabat Jokowi semasa di Silvagama, Herdanto Hartomosuharjo mengamini hal itu. Jiwa Jokowi ditempa untuk mengakrabi alam. Herdanto bahkan mengenang Jokowi sebagai mahasiswa berjiwa rimbawan. Sebuah ungkapan bagi mereka yang secara naluri tertuntun untuk merawat lingkungan hidup.

Setiap naik gunung, Jokowi bukanlah orang yang datang ke puncak gunung, lalu merusaknya. Jokowi konon kerap mengajak teman-temannya untuk melindungi lingkungan pegunungan.

Jokowi juga disebut-sebut jadi panutan teman-temannya ketika melakukan pendakian. Jokowi dengan tubuh kecilnya mampu bergerak lincah dalam mendaki, terutama mencapai puncak Gunung Kerinci di Sumatra Barat.

"Dia paling berkesan waktu dia manjat ke Kerinci. Karena dari beberapa yang ikut, dia nomor satu yang paling puncak di atas," tutur Hardanto Hartomosuharjo dikutip Darmawan Prasodjo dalam buku Jokowi Mewujudkan Mimpi Indonesia (2021).

Disama-samai dengan Soe Hok Gie

Soe Hok Gie (Sumber: Wikipedia.org)

Jejak Jokowi dalam Mapala Silvagama membuatnya dikaitkan dengan kegiatan aktivisme. Imej itu melekat pada Jokowi karena secara umum aktivisme di kalangan Mapala dikenal luas sebagai organisasi yang kritis kepada Orde Baru (Orba) di bawa kepemimpinan Soeharto.

Rekan-rekan Jokowi yang tergabung dalam tim relawan Pemilu 2014 pernah menyama-nyamai Jokowi dengan sosok aktivis Mapala UI, Soe Hok Gie atau Herman Lantang. “Jokowi adalah seorang pecinta alam, pendaki gunung seperti Soe Hok Gie dan Herman Lantang."

"Jangan-jangan, Jokowi lebih merindukan gunung dalam keadaan seperti itu ketimbang berada di keramaian,” cerita tim relawan Jokowi, Indra J. Piliang dalam buku Selamat Datang Presiden Jokowi (2014).

Kendati demikian, pengamat lingkungan, Yani Sagaroa menyebut Jokowi dan Sok Hok Gie sebagai sosok yang berbeda. Keduanya sulit disetarakan atau diseimbangkan. Jejak aktivisme Soe Hok Gie jelas.

Soe Hok Gie adalah anak muda yang mempunyai rasa empati tinggi. Ia begitu sensitif pada penderitaan rakyat. Gie juga memiliki empati besar pada keberadaan spesies atau makhluk hidup lain yang juga sama-sama terancam oleh sistem kekuasaan maupun sistem kapitalisme global.

“Soe Hok Gie ini memiliki idealismenya tinggi. Maka dia sangat kritis dalam memandang sesuatu persoalan, kritis yang ditunjukkan oleh Soe Hok Gie ini tidak hanya kritis pada persoalan tata kelola Negara, kebijakan-kebijakan rezim pemerintah yang berkuasa."

"Tapi juga dia kritis pada dirinya sendiri. Kritis kepada dirinya sendiri ini maksudnya kalau melihat sebuah penindasan di depan mata, kalau tidak berbuat dia bisa marah kepada diri sendiri, kepada jiwa, kepada nuraninya, dan kepada teman-temannya,” pungkas Yani Sagaroa dihubungi VOI, Senin, 28 Juni.

Sementara, Jokowi sendiri di mata Yani dibagi jadi dua bagian: Jokowi muda dan Jokowi tua. Jokowi muda digambarkan oleh Yani sebagai pribadi laten dengan prinsip-prinsip yang cukup kuat. Namun bagaimanapun Jokowi muda memiliki nilai dan karakter kejiwaan yang berbeda dengan Soe Hok Gie.

Presiden Joko Widodo (Instagram/@jokowi)

Jokowi tak menunjukkan perlawanan yang vulgar terhadap pemerintahan, sebagaimana ditunjukkan oleh adik dari Arief Budiman (Soe Hok Djin). Dalam gambaran Yani, Jokowi seraya ningrat Jawa yang lebih teduh, lebih kalem, dan tak frontal.

Karakter yang tak frontal itu terus dibawa Jokowi hingga ia menjadi presiden. Kata Yani, barangkali jiwa Mapala masih ada di relung hati Jokowi. Tapi bagaimana dengan pergerakan konkretnya sebagai kepala negara? Jokowi tua menelurkan banyak regulasi yang perspektifnya pada ekonomi.

Beberapa regulasi Jokowi bahkan sifatnya mengeruk dan eksploitatif pada alam dan keseimbangan lingkungan hidup. Sederet regulasi itu, menjadikan sosok Jokowi tua makin jauh dengan figur aktivis yang kesohor dengan buku Catatan Seorang Demonstran rilisan 1983.

“Dalam artian, secara umum Jokowi ini terbelenggu. Saya akui Jokowi ini orang yang bersih, orang yang berani. Namun keberanian Jokowi tidak melampaui tingkat belenggu yang ada di lingkaran kekuasaan."

"Lingkaran kekuasaan ini ‘dipenuhi’ oleh pemilik-pemilik saham kekuasaan. Yang mana, siapa saja pemilik kekuasaan ini, publik sendiri yang bisa menilai,” tambah Yani Sagaroa.

Gambaran oleh Yani Sagaroa serupa dengan yang diungkap mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang hidup sezaman dengan Soe Hok Gie, Firman Lubis. Firman menganalogikan perjuangan Gie semasa mahasiswa dapat seperti pengelana koboi jago tembak yang kebetulan singgah di desa, yang mana desa itu merupakan daerah kekuasaan bandit.

Si koboi merasa muak melihat penduduk desa yang tertindas, kemudian terpanggil untuk menyelamatkan penduduk desa. Semua itu hanya sebentuk insting saja. Setelah berhasil mengalahkan bandit, penduduk desa meminta sang koboi jagoan menjadi sheriff di desa.

Sayangnnya, si koboi menolak. Si koboi memahami betul apa yang dilakukannya bukan semata mengejar hadiah atau imbalan. Melainkan panggilan nurani. Itulah gambaran Soe Hok Gie yang merdeka. Sekali ksatria tetap ksatria. Bukan justru menghamba pada oligarki.

“Soe Hok Gie berpendapat aksi mahasiswa adalah gerakan kelompok yang seharusnya seperti tindakan si koboi. Gerakannya murni karena moral dan panggilan hati nurani, bukan karena alas an lain atau mengharapkan pamrih, misalnya untuk cari jabatan dan kekuasaan. Setelah selesai misinya seharusnya kembali lagi ke kampus, meneruskan kuliah dan berkarier masing-masing,” tutup Firman Lubis dalam bukunya Jakarta 1950-1970 (2018).

*Baca Informasi lain soal PRESIDEN JOKOWI atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

MEMORI Lainnya