Bagikan:

JAKARTA - Popularitas Soe Hok Gie acap kali bikin gerah rezim berkuasa. Kritikannya yang tajam jadi muasal. Namun, kehidupannya tak melulu diisi oleh masalah serius. Ia sama seperti mahasiswa Universitas Indonesia (UI) angkatan 60-an yang umumnya melanggengkan narasi buku, pesta, dan cinta. Kaum Hawa mengenalnya sebagai sosok yang romantis. Sisi romantisnya berwujud tindakan sampai bait puisi. Karenanya, Gie dianggap sosok idaman. Sekalipun Gie dikenal sebagai seorang puritan dalam hal cinta. Apalagi seks.

Bagi mahasiswa, idealisme adalah kemewahan terakhir. Pandangan itulah yang menuntun daya kritis seorang Gie dalam melihat ketidakadilan. Terutama, kala persoalan itu menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia memanfaatkan banyak ruang untuk bersuara – dari mimbar demonstrasi hingga menulis di media massa. Kebijakan-kebijakan rezim yang memihak orang kaya dilawannya. Pemerintah diminta untuk lebih peduli nasib rakyat kecil. Perjuangan itu terus dilakukan oleh Gie, apapun risikonya. Sekalipun nyawa taruhannya.

Bukan apa-apa. Gie memandang perjuangan seorang mahasiswa laksana seorang koboi penyelamat. Analogi tersebut telah berkembang di antara mahasiswa angkatan 66. Seorang mahasiswa dianggapnya sebagai koboi yang kebetulan singgah di desa yang dikuasai oleh bandit.

Gie terenyuh melihat para penduduk desa yang tertindas. Karenanya, koboi merasa terpanggil untuk membebaskan desa. Tanpa ada yang menyuruh, apalagi meminta. Tindakan itu hanya insting, katanya. Kala perjuangannya berhasil, maka koboi penyelamat segera meninggalkan kota. Ia tak mau menerima hadiah, ataupun jabatan. Dan Gie telah mengamalkan itu dalam tindak-tanduk kehidupan.

“Soe Hok Gie berpendapat aksi mahasiswa adalah gerakan kelompok yang seharusnya seperti tindakan koboi. Gerakan murni karena moral dan panggilan hati nurani, bukan karena alasan lain atau mengharapkan pamrih, misalnya untuk mencari jabatan dan kekuasaan.”

“Setelah selesai misinya, seharusnya kembali lagi ke kampus, meneruskan kuliah dan berkarier masing-masing. Saya kira pemikiran Hok Gie ini diilhami film koboi Shane yang dibintangi Alan Ladd. Film ini diputar pada pertengahan 1950-an dan sangat terkenal. Saya sendiri pernah menontonnya dan ceritanya mirip dengan analogy cerita koboi yang disampaikan itu,” ungkap Mahasiswa Angkatan 66, Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).

Kesungguhan Gie dalam membela hajat hidup orang banyak membuatnya dianggap sosok yang serius. Padahal, sosok Gie tidak ada bedanya dengan mahasiswa umum. Gie malah terlihat seperti mahasiswa UI yang menyukai narasi buku, pesta, dan cinta. Gie menyukai aktivitas bercengkrama dengan buku-buku, menghabiskan waktu bersenang-senang bersama teman, dan yang paling penting membangun hubungan romantis dengan kaum hawa.

Romantika itu semakin terlihat ke dirinya semakin mendalami aktivitas naik gunung. Aktivitas itu dilakukan untuk aktualisasi diri. Ia mampu mengenal dirinya lebih jauh. Begitu pula mengenal wanita. Lebih lagi, wanita yang dicintainya itu memiliki hobi yang sama dengannya: naik gunung. Setelahnya, sisi romantisme Gie mulai dilanggengkan dalam bentuk tindakan, hingga merasuk dalam goresan pena yang berisi bait-bait puisi indah.

“Di kalangan para anggota Mapala ada cita-cita bahwa kalau mereka mendapatkan jodoh seorang pecinta alam, akan honeymoon di puncak gunung dan ‘mendengarkan konser burung-burung hutan.’ Sebuah kalimat yang umum di kalangan anggota Mapala, kalau mereka melamun tentang perkawinan,” ungkap Soe Hok Gie dalam buku Zaman Peralihan (2005).

Gunung Semeru (Foto: Wikimedia Commons)

Sisi romantis

Gie  selalu memandang kaum wanita setara. Selama hidupnya, ia tak pernah memandang rendah kaum wanita. Pun ketika ada sahabatnya yang terdengar melecehkan kaum wanita maka Gie tak sungkan untuk menegurnya. Sikap itu membuat banyak kaum Hawa nyaman bersahabat hingga menjalin hubungan istimewa dengan Gie.

Hubungan Gie dengan Nurmala Kartini Pandjaitan, misalnya. Wanita yang akrab disapa Ker ini diketahui memiliki hubungan sangat dekat dengan Gie. Kala itu Gie berusia 26 tahun, sedang Ker masih berusia 18 tahun. Perbedaan usia, apalagi status – Gie sebagai asisten dosen dan Ker mahasiswa—tak menghalangi keakraban keduanya. Ker banyak belajar terkait kehidupan kemahasiswaan dari Gie. Baginya, Gie adalah mentor dalam segala hal. Politik, musik, sastra, hingga perfilman.

Adik dari Luhut Binsar Pandjaitan ini pun menjadi teman naik gunung Gie. Mereka sering naik gunung bersama Mapala UI. Aktivitas naik gunung itu kemudian mendekatkan keduanya. Lebih lagi, Ker –yang dalam buku Catatan Seorang Demonstran namanya disamarkan menjadi Sunarti-- sering kali gelisah saat naik gunung. Kemudian, Gie mulai mengambil peran sebagai orang terdekat Ker. Ia memeluk Ker dan menenangkannya dengan suara tenang.

“Semakin lama aku merasa semakin dekat dengan Hok Gie. Kalau satu hari saja aku tidak berjumpa, pasti akan kucari atau aku bertanya-tanya pada teman-teman di mana Hok Gie. Tanpa melihat, bertemu atau mengobrol dengan dia aku merasa ada yang kurang dari hariku di kampus. Kalau dibilang aku naksir atau jatuh cinta, rasanya tidak juga. Seingatku, mataku masih jelalatan ke mana-mana. Hok Gie bagiku adalah sesuatu yang harus ada dalam keseharianku.”

“Ibarat makanan, Hok Gie adalah roti bagiku. Itu saja. Dia adalah tempatku curhat. Semua isi perutku selalu kuceritakan pada Hok Gie. Kekesalanku pada bapak, kesedihanku melihat mama  yang kuanggap kadang terlalu mengalah menghadapi suami, para keluarga yang hanya menonton episode sedih sebuah rumah tangga tanpa ada upaya sungguh-sungguh menyelesaikan, kekolotan keluarga yang tidak ada dasarnya, dan atau kalau aku lagi rada naksir seseorang pasti aku ceritakan,” cerita Nurmala Kartini Pandjaitan dalam bukunya Rumah Janda (2014).

Apapun yang dikisahkan oleh Ker, Gie selalu berusaha menjadi pendengar yang baik. Kalau dia merasa perlu berkomentar, dia berkomentar. Kalau tidak dia hanya mendengarkan saja. Sikap Gie itu dianggap oleh Ker sebagai sesuatu yang romantis.

Perlahan tapi pasti, rasa cinta kepada Gie tumbuh. Ker menyukai Gie. Tapi tidak bagi keluarganya. Perbedaan suku antara Gie dan Ker jadi kendala. Gie keturunan China. Sedang Ker dari keluarga Batak yang konservatif. Orang tuanya Ker takkan setuju. Artinya kehidupan keduanya takkan bisa menyatu.

Selain itu, Ker juga mengetahui bahwa sebenarnya Gie itu cinta mati dengan anak jurusan sastra Prancis, Maria. Ker tak mengetahui pasti kapan keduanya jadian. Tapi menurut penuturan Gie dalam catatan hariannya hubungan itu sudah berlangsung selama satu tahun. Keduanya berpacaran diam-diam, bersembunyi dari orang tua Maria. Akhirnya pun hubungan itu tak berlanjut. Orang tua wanita lagi-lagi tak setuju.

“Saya ajak ngobrol-ngobrol dan mencoba menyadarkannya atas situasi baru yang kami hadapi. Saya katakana bahwa perkembangan selanjutnya sangat banyak ditentukan oleh sikapnya. Saya tunjukkan dua kemungkinan. Pertama, bertempur dari dalam, ‘you musk ask your right to choose your boyfriend.’ Saya katakan bahwa soal ini soal berat, karena ia harus bertempur sendirian di rumah. Kalau ia tak berani bertempur untuk hal tadi maka soalnya menjadi sulit. I can only give my support,” kata Soe Hok Gie dalam curhatannya di buku Catatan Seorang Demonstran (2011).

Gunung Semeru (Foto: Wikimedia Commons)

Ajal menjemput

Gie bercita-cita menaklukkan atap tertinggi pula Jawa: Semeru. Ia mencoba untuk mewujudkan mimpinya. Ingin merayakan ulang tahun di puncak tertinggi pulau Jawa, katanya. Alhasil, Pendakian ke Semeru jadi peristiwa besar bagi Gie pada Desember 1969.

Dalam pendakian peristiwa buruk menimpa Gie. Napas jadi berat. Ia sempat berhasil mencicipi berada di puncak Mahameru, sesuai mimpinya. Namun, suasana menyeramkan terjadi. seluruh pendaki bergegas turun. Tapi Gie tidak. Dalam penurunan itu, mahasiswa Soe Hok Gie, Rudy Badil melihatnya sudah kelelahan.

Gie tampak duduk di tepian lereng menjelang puncak Semeru. Ia termenung dengan ciri khasnya: duduk sembari menopang dagu. Ia menyapa Gie, dan Gie menyapanya dengan menitipkan sejumput daun cemara untuk dititipkan kepada mahasiswi di kampusnya. Sebagai bukti mereka berhasil mendaki Semeru, juga sebagai penegas ia sosok yang romantis.

“Sore hari Selasa Pon tanggal 16 Desember 1969 atau 6 Syawal 1390 Hijriah, di tepian lereng menjelang puncak Semeru, Soe Hok Gie yang umurnya 27 tahun minus sehari lagi duduk setengah termenung. Sejarawan muda yang bujangan dan berbadan ceking tapi bugar itu lagi duduk termenung dengan gaya khasnya: duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu.”

“Soe sempat tersenyum dan bilang, ‘Nih gue titip ya, ambil dan bawa pulang batu Semeru, batu dari tanah tertinggi di Jawa. Simpan dan berikan ke cewek-cewek ya,’ begitu kira-kira ujarnya.” Pungkas Rudi Badil dalam buku Soe Hok Gie: Sekali Lagi (2009).

Meski sosoknya telah tiada, romantismenya masih bertahan hingga hari ini. Daya magis romantismenya bahkan dilantunkan berkali-kali oleh generasi muda. Semua itu berkat kehadiran sebuah puisi dari catatan hariannya yang bertanggal 1 April 1969. Puisi itu berjudul Sebuah Tanya:

Akhirnya semua akan tiba

Pada suatu hari yang biasa

Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih berbicara selembut dahulu?

Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?

Sambil membenarkan letak leher kemejaku

(Kabut tipis pun turun pelan-pelan

Di lembah kasih, lembah mendala wangi

Kau dan aku tegak berdiri

Melihat hutan-hutan yang menjadi suram

Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu

Ketika ku dekap kau

Dekaplah lebih mesra, lebih dekat

(Lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi

Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya

Kau dan aku berbicara

Tanpa kata, tanpa suara

Ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita

Apakah kau masih akan berkata

Kudengar derap jantungmu

Kita begitu berbeda dalam semua

kecuali dalam cinta?

(Haripun menjadi malam

Kulihat semuanya menjadi muram

Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara

Dalam bahasa yang tidak kita mengerti

Seperti kabut pagi itu)

Manisku, aku akan jalan terus

Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan

Bersama hidup yang begitu biru

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

SEJARAH HARI INI Lainnya