Bagikan:

JAKARTA - Soekarno menyukai pembangunan yang bersifat monumental. "Politik mercusuar” membuat nama Indonesia melambung di pelosok dunia. Namun, langkah itu sering kali kontroversial. Pembangunan kompleks olahraga Gelora Bung Karno (GBK), misalnya, yang dinilai tak bijak. Sederet kampung orang Betawi digusur.

Hajatan Asian Games IV mendorong Ibu Kota Jakarta berbenah. Sebagai tuan rumah, Indonesia mulai melakukan persiapan yang tak sedikit dari 1958 hingga 1962. Presiden Indonesia yang juga pemimpin besar revolusi, Soekarno sampai turun tangan.

Baginya, perhelatan olahraga terbesar se-Asia jadi ajang Indonesia unjuk gigi ke dunia Internasional. Bung Karno menginginkan Jakarta dapat menjelma sebagai pusat kegiatan olahraga yang besar dan sangat mewah.

Detail-detail, seperti lokasi kegiatan hingga persiapan pembangunan fasilitas dikomandoi langsung olehnya. Apalagi Soekarno sendiri adalah seorang arsitek, yang lebih dikenal sebagai arsitek negara Indonesia.

Bung Karno turun sendiri dalam mencari lokasi representatif untuk Asian Games IV. Saban hari, Bung Besar terbang dengan helikopter mengelilingi kota Jakarta. Demi mencari lokasi utama pusat Asian Games. Selatan Jakarta jadi pilihan Bung Karno kala itu.

Mulanya Bung Karno menginginkan Asian Games IV dihelat di kawasan sekitar Menteng atau Kebayoran Baru. Adapun lokasi lain yang dipilihnya berada di Setiabudi-Karet. Bung Karno pun tak lupa dengan opsi tambahan di sekitar kawasan Bendungan Hilir.

Keinginan itu berbanding jauh dengan pilihan Gubernur Jakarta dua periode (1960–1964 dan 1965–1966), Soemarno Sosroatmodjo. Ia justru lebih memilih daerah Rawamangun.

Pembangunan GBK (Sumber: Commons Wikimedia)

“Untuk itu perlu disiapkan fasilitas dan sarana olahraga yang memadai dan cukup representatif. Sebelumnya, sarana olahraga yang ada di Jakarta hanyalah Stadion Ikada (singkatan dari Ikatan Atletik Djakarta) di Lapangan Medan Merdeka (Lapangan Monas sekarang). Stadion ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda dan pernah dipakai saat Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-2 di Jakarta pada 1951.”

“Namun, Stadion Ikada dianggap kurang memenuhi syarat untuk pesta olahraga regional, seperti Asian Games. Maka, direncanakanlah pembangunan satu kompleks sarana olahraga yang patut untuk penyelenggaraan Asian Games. Untuk itu, perlu dicari satu lokasi baru guna membangun sarana olahraga tersebut,” ungkap Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).

Pengembaraan Bung Karno dengan arsitek kebanggaannya, Friedrich Silaban membawa hasil. Kampung Senayan dipilih Soekarno untuk merealisasikan mimpi Indonesia memiliki pusat olahraga terbaik di Asia.

Inisiasi itu dimaksud Bung Karno untuk melengkapi narasi paket segitiga pembangunan Jakarta. Kawasan Istana Negara sebagai pusat pemerintahan. Senayan sebagai pusat olahraga, dan Senayan bagian barat sebagai ruang politik.

Perihal dana Soekarno tak ambil pusing-pusing. Persahabatannya dengan pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev jadi jalan keluar. Pinjaman sebesar 12.5 juta dollar untuk pembangunan lalu keluar dari kantong Uni Soviet. Pinjaman itu bentuknya pinjaman lunak dengan bunga yang dapat dibayar dalam jangka panjang.

Soekarno dan Khurshchev (Sumber: Wikimedia Commons)

Khrushchev pun memberikan bantuan lainnya. Sederet insinyur dan teknisi Uni Soviet dilibatnya. Karena itu, mimpi Soekarno memiliki kompleks olahraga sekaligus stadion termegah yang dapat menampung 110 ribu orang sekaligus selangkah lagi terwujud.

“Eratnya hubungan bilateral juga tercermin di bidang-bidang lain Tahun 1962, Uni Soviet memberi beasiswa kepada mahasiswa Indonesia. Tercatat tahun itu sekitar 700 mahasiswa Indonesia belajar di berbagai universitas di negara beruang merah. Sejumlah perwira Angkatan Laut belajar di Vladivostok dan Leningrad.”

“Di samping itu, kerja sama pembangunan pabrik baja Cilegon, Rumah Sakit Persahabatan, Gelora Bung Karno, dan Patung Tani, semuanya membuktikan betapa kokohnya kerja sama kedua negara saat itu,” tegas Tomi Lebang dalam buku Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia (2010).

Penggusuran kampung Betawi

Soekarno di GBK (Sumber: Wikimedia Commons)

Ambisi Soekarno membangun GBK harus dibayar mahal. Pasalnya pemerintah turut melanggengkan penggusuran kampung Betawi: Senayan, Petunduan, Kebon Kelapa, dan Bendungan Hilir. Penggusuran terhadap kampung orang Betawi seluas 300 hektar itu mulai dilakukan pada 1960. Rumah-rumah yang dibongkar kemudian direlokasi kembali ke tempat lainnya mencapai 8.652.

Rumah itu digunakan oleh sekitar 46.829 penduduk yang kemudian direlokasi oleh pemerintah ke Tebet, Pejompongan, Slipi, Cikoko, dan Cileduk. Tapi berdasarkan data resmi mereka yang dipindahkan mencapai 60 ribu jiwa. Segenap rakyat Indonesia tak tinggal diam. Kritik dan protes sempat dilayangkan. Namun, pemerintah Indonesia bersikukuh proyek GBK harus segera dirampungkan. Demi martabat bangsa, katanya.

“Penduduk yang tinggal di Senayan sebagian besar adalah penduduk pindahan dari gusuran pembangunan Kebayoran Baru. Pada tahun 1950-an, sewaktu digusur, mereka menuntut agar harga ganti rugi dinaikkan dan tidak mau ditempatkan di Senayan dan Kampung Pella, tetapi pemerintah tidak bersedia.”

“Jadi, sebagian penduduk Senayan telah dua kali terkena gusuran akibat pembangunan. Akibatnya, mereka terkena kerugian dua kali, yaitu kerugian material karena ganti rugi yang tidak sesuai dan kerugian moril karena harus meninggalkan tanah kelahirannya. Dalam pemindahan dari Senayan ke tempat penampungan yang baru, warga banyak dirugikan. Harian Merdeka melaporkan bahwa penduduk hanya menerima uang saku sebesar Rp 500, suatu jumlah yang sangat sedikit,” terang Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010).

Pemerintah pun menolak kabar jumlah ganti rugi yang kecil. Dalam bahasa pemerintah, yang mereka lakukan bukan penggusuran, tapi program pemindahan massal. Sebab, mereka yang rumahnya digusur dibuatkan kompleks perumahan baru. Porsi ganti ruginya pun besar. Bahkan, sampai mencangkup ganti rugi tanaman-tanaman yang ada di halaman rumah.

Empunya pemerintahan juga tak lupa membangun ragam fasilitas di lokasi pemindahan. Pemerintah membangun tidak kurang dari enam masjid, 18 langgar (surau), 19 gedung sekolah, dua pasar, dan tiga poliklinik.

Demikian pula dengan akses jalan-jalan dari dan ke tempat pembangunan. Boleh jadi GBK hingga hari ini dielu-elukan sebagai mahakarya besar yang pernah dibangun oleh bangsa Indonesia. Tapi bagi masyarakat Betawi, ada tangis dan kesedihan di balik megahnya GBK.

Salah satu kritikan yang populer dan satire terkait penggusuran di Senayan ini, sempat muncul dalam serial Si Doel Anak Sekolahan (1994–2006). Serial itu diperankan oleh nama besar sekaligus tokoh Betawi, di antaranya Benyamin Sueb, Rano Karno, Mandra dan lainnya.

Satire soal Senayan ini diceritakan ketika Kasdullah (Si Doel) baru di wisuda sebagai insinyur. Babenya si Doel (diperankan Benyamin Sueb) sempat berjanji, ketika anaknya jadi insinyur, ia akan berkunjung ke bekas kampung leluhurnya.

Pergilah mereka menggunakan opelet menuju Senayan, tepatnya ke Stadion Utama Gelora Bung Karno. Mereka datang ke sana dengan sadar diri, tanah yang mereka injak sudah bukan milik mereka lagi.

Meski tampak enggan masuk ke stadion, si Doel diingatkan oleh babe-nya, "gue cuman mau ngajak lu biar lu tahu bahwa di sini bekas tanah leluhur lu."

Lalu mereka masuk ke lapangan, tepat di depan gawang.

"Di sini rumah gua dulu," lanjut sang Babe.

"Kok Abang masih inget?" tanya istrinya, ibu si Doel.

"Ya inget, dong. Orang dibrojolin di sini. Nah, di situ ada pohon gatet. Di sono, pohon duren," ucap babenya penuh semangat.

Kunjungan itu harus berakhir cepat, sebab mereka duduk di area lapangan saat orang-orang sedang berlatih sepak bola. Dan saat itu juga muncullah ocehan ikonik dari Benyamin Sueb terkait Tim Nasional Indonesia yang berlatih di Stadion Utama Gelora Bung Karno, “latihan mulu, menangnya kagak!”

*Baca Informasi lain soal SEJARAH JAKARTA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya