JAKARTA - Mahasiswa jadi elemen penting dalam pergerakan nasional. Mahasiswa Angkatan 66, Soe Hok Gie paham benar hal itu. Baginya, mahasiswa harus sensitif dengan segala persoalan hajat hidup orang banyak. Bukan malah sibuk berebut masuk ke parlemen. Karenanya, sebaik-baiknya mahasiswa adalah mereka yang menentang pemimpin zalim.
Lepasnya Indonesia dari belenggu penjajahan adalah momentum paling menentukan. Sebagai bangsa baru, Indonesia segera berbenah banyak hal. Di tengah pembenahan itu, kondisi ekonomi dan politik Indonesia justru jauh dari kata baik. Secara politis, Indonesia sudah merdeka. Namun, secara ekonomi ketergantuangan pada perusahaan asing jadi masalah tak berkesudahan.
Kondisi itu makin diperparah oleh sikap Soekarno yang mulai terlena kekuasaan. Bung Karno bahkan mendeklarasikan diri sebagai pemimpin besar revolusi dan presiden seumur hidup. Ia membangun banyak proyek mercusuar, agitasi dan propaganda terhadap Malaysia, nasionalisasi perusahaan asing, serta pembelian peralatan tempur. Pemborosan yang dilakukan Soekarno makin nyata ketika memiliki istri lebih dari satu. Rakyat pun tak lagi bersimpati kepadanya. Sebab, rakyat tak bisa hidup dari retorika belaka.
“Dia (Soekarno) juga berambisi ingin membangun sebuah dunia baru yang lebih baik, lebih adil, dan bebas dari penindasan. Ini terlihat dari pidatonya di Sidang Umum PBB yang berjudul To Build the World a New. Sayangnya, negaranya sendiri terus jatuh miskin. Saya kira sulit untuk membangun atau mengubah dunia hanya dengan retorika perjuangan.”
“Banyak yang mengatakan retorika nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme) dan membangun dunia baru hanyalah pengalih perhatian rakyat dari kesulitan di dalam negeri. Pidato dan gagasannya memang bagus dan enak didengar, tetapi sayangnya lebih sebagai retorika,” ungkap mahasiswa angkatan 66, Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).
Krisis ekonomi di era 1960-an jadi cerita lain yang memperburuk citra Bung Karno. Harga-harga makin membumbung tinggi, kaum kapitalis makan lahap memakan bagian rakyat, hingga Orang Kaya Baru (OKB) makin bertingkah. Tingkah tengik anak OKB sempat dirasakan oleh Jenderal Hoegeng Imam Santoso. Pengalaman itu didapat Hoegeng semasa dirinya menjabat sebagai Kepala Djawatan Imigrasi pada 1960.
OKB yang sehari-harinya pengusaha itu adalah anak emas Bung Karno. Ia datang menemui Hoegeng untuk dibuatkan paspor diplomatik. Sebuah paspor yang memiliki kekebalan hukum tertentu berdasarkan hukum internasional.
Hoegeng dengan tegas menolak. Sikap lurus Hoegeng beralasan. Paspor diplomatik hanya dikeluarkan untuk kalangan terbatas seperti diplomat. Lagipula, paspor diplomatik harus dimintakan lewat rekomendasi Departemen Luar Negeri dan tak langsung ke Kantor Imigrasi. Si pengusaha malah tertawa dan mencoba menawarkan angka sebagai suap. Hoegeng naik pitam.
“Saudara lihat itu pintu. Jadi saudara tinggal pilih: keluar baik-baik atau saya tendang keluar pintu itu! Persetan dengan uang kamu itu!” tegas Hoegeng sebagaimana yang ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).
Melawan pemimpin zalim
Sederet kebijakan pemerintah Orde Lama membuat banyak rakyat Indonesia sensara. Apalagi ulah elite-elite politiknya. Mereka hanya memikirkan gemuknya rekening pribadi semata. Pada akhirnya, rakyat yang jadi korban. Kondisi itu membuat Sok Hok Gie kembali mengingat pentingnya peranan mahasiswa sebagai agen perubahan.
Tiap kesempatan Gie selalu mengingatkan kawan-kawannya bahwa tugas mahasiswa adalah selalu sensitif pada penderitaan rakyat. Sebab, sebaik-baiknya hidup sebagai mahasiswa adalah mereka yang berani menentang pemimpin zalim.
Seperti Bung Karno yang menjadikan politik sebagai panglima. Maka, Gie berharap mahasiswa harus menjadikan idealismenya sebagai panglima. Karena itu, dengan sendirinya mahasiswa tak saja berlaku kritis pada persoalan tata kelola negara atau kebijakan-kebijakan rezim pemerintah yang berkuasa.
Tapi mahasiswa harus krisis pada dirinya sendiri. Dalam artian, ketika melihat penindasan dan ketidakadilan di depan mata, kalau empunya raga tidak berbuat maka mereka dapat marah dengan diri sendiri. Pada jiwanya, pada nuraninya, dan kepada teman-temannya.
“Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaannya. (Ambil contoh) Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School berkata tidak. mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata tidak.”
“Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin geng-geng bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran,” terang Soe Hok Gie dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran (2015).
Kaum mahasiswa, kata Gie bisa berbuat banyak hal. Termasuk memberantas generasi tua yang mengacau. Kaum mahasiswa dapat menjadi hakim atas mereka yang melakukan penyelewengan jabatan. Lebih luasnya, mahasiswa dapat memakmurkan Indonesia.
Namun, lain cerita jika mahasiswa-mahasiswa yang kritis hanya memanfaatkan idealismenya hanya untuk berakhir berebut masuk parlemen dan kemudian berebut mendapatkan kredit mobil Holden. Mental itu niscaya tak menunjukkan mahasiswa sebagai insan cerdas. Justru malah membawa Indonesia kembali ke ratusan tahun lalu. Di mana Indonesia masih menjadi bangsa terjajah.
Makanya, Gie sempat mengirimkan sejumlah paket berisikan gincu, pupur, dan kutang kepada kawan-kawannya yang jadi anggota parlemen. Paket itu jadi sebentuk kritik kepada mereka yang menghampa pada kekuasaan dan mengabaikan perjuangannya. Ia menuliskan kata-kata: Gunakan ini agar makin tambil cantik di parlemen.
“Komitmennya (Gie) yang total kepada modernisasi dan demokrasi. Kejujuran yang nekat dan ketiadaannya yang lengkap dari kesadaran diri sendiri dalam melancarkan perjuangan-perjuangannya membuat mungkin bagi dirinya untuk mengatasi syarat-syarat keberatan tertentu yang tradisional terhadap dirinya yang dipunyai oleh banyak orang karena dia keturunan Tionghoa.”
“Bagi saya, dia merupakan contoh dari tipe atau sejenis baru orang Indonesia, dari seorang Indonesia sejati. Adalah pesan ini saya pikir yang terkandung dalam kehidupannya yang singkat,”kenang tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI), Soedjatmoko dalam bukunya Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko (2010).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.