Ribuan Warga Diperkosa dan Dibunuh: Kebrutalan Tragedi Nanking dalam Sejarah Hari Ini, 13 Desember 1937
Jasad para korban yang berserakan (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Setelah menguasai Shanghai, Jepang tak puas. Pasukan Dai Nippon terus berekspansi menjajah China. Hingga sampailah di Nanking atau Nanjing. Sepanjang periode itu, ribuan orang baik dari kalangan militer maupun sipil dibunuh, disiksa, dan diperkosa. Peristiwa yang dikenal dengan Tragedi Nanking ini, dimulai pada 13 Desember 1937 dan berlangsung sekitar enam minggu. 

Mengutip History, sekitar 20.000 hingga 80.000 wanita China diserang secara seksual oleh Tentara Kekaisaran Jepang. Dengan cara dari pintu ke pintu, para tentara Jepang menyeret keluar wanita, bahkan anak-anak kecil. Mereka melakukan aksi keji tersebut secara beramai-ramai. Kemudian, setelah selesai dengan korban, para tentara Jepang itu segera membunuh para korban.

Wanita tua di atas usia 70 tahun serta gadis kecil di bawah usia 8 tahun diseret untuk diperkosa. Lebih dari 20.000 perempuan (beberapa memperkirakan 80.000) diperkosa beramai-ramai oleh tentara Jepang, kemudian ditikam sampai mati dengan bayonet atau ditembak sehingga mereka tidak akan pernah bisa bersaksi.

Wanita hamil tidak luput dari sasaran dari pasukan Jepang. Dalam beberapa kasus, mereka diperkosa, kemudian perutnya dibelah dan janinnya dicabut. Kadang-kadang, setelah menyerbu ke dalam sebuah rumah dan bertemu dengan seluruh keluarga, tentara Jepang memaksa ayah untuk memperkosa anak perempuannya, anak laki-laki untuk memperkosa ibunya, dan saudara laki-laki untuk memerkosa saudara perempuan. Sementara anggota keluarga lainnya disuruh menonton.

“Belum pernah saya mendengar atau membaca kebrutalan seperti itu,” tulis seorang misionaris di Nanking, James M. McCallum, dalam buku harian yang dikutip All Interesting. "Memperkosa! Memperkosa! Memperkosa! Kami memperkirakan setidaknya 1.000 kasus di malam hari dan banyak di siang hari.”

Iwane Matsui saat memasuki Nanking (Foto: Wikimedia Commons)

Sementara di seluruh kota Nanking, pasukan Jepang melakukan pembantaian dengan menembakkan senapan mereka ke kerumunan warga sipil yang panik, membunuh tanpa pandang bulu. Banyak tentara China yang diburu dan dibunuh, lalu dikubur secara massal.

Pasukan Jepang juga membunuh pemilik toko, menjarah toko lalu membakar gedung setelah mengunci orang dari segala usia di dalam. Mereka menikmati penderitaan luar biasa yang terjadi ketika orang-orang mati-matian berusaha menyelamatkan diri dari kobaran api dengan memanjat atap rumah atau melompat turun ke jalan. Setidaknya sepertiga bangunan di Nanking hancur dibakar.

Mengutip The History Place, peristiwa memilukan itu terjadi sampai awal Februari 1938. Tua atau muda, laki-laki atau perempuan, siapa saja bisa ditembak oleh tentara Jepang karena alasan apa pun. Mayat bisa dilihat di mana-mana di seluruh kota. Jalan-jalan Nanking menjadi merah karena darah. Mereka yang tidak terbunuh dibawa ke pinggiran kota dan dipaksa untuk menggali kuburan mereka sendiri.

Yang bertanggung jawab

Segala pemerkosaan, pembunuhan, dan penjarahan yang dilakukan pasukan Jepang diperintah oleh Matsui Iwane, komandan jenderal Tentara Jepang untuk Front China. Pada 1940, Jepang menjadikan Nanking sebagai ibu kota pemerintahan boneka China yang dipimpin oleh Wang Ching-wei.

Tak lama setelah berakhirnya Perang Dunia II, Matsui dan Tani Hisao, seorang letnan jenderal yang berpartisipasi dalam tindakan pembunuhan dan pemerkosaan, dinyatakan bersalah atas kejahatan perang oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh. Mereka dihukum gantung di Penjara Sugamo pada 23 Desember 1948.

Namun di Jepang ia diperlakukan bak pahlawan. Ia bersama dengan 13 terdakwa lainnya, mendapat tempat kehormatan di Kuil Yasukuni.

Pemerkosaan dan pembantaian terjadi juga dikarenakan para perwira dan prajurit diberi pemahaman bahwa, saat merebut Nanking, mereka bebas menjarah dan membunuh sesuka mereka. Kebijakan ini didukung oleh komandan pasukan ekspedisi yang ditunjuk Jepang, Pangeran Yasuhito Asaka, yang mengeluarkan perintah tertulis untuk "membunuh semua tawanan." Pangeran Asaka bebas dari dakwaan dikarenakan memiliki kekebalan hukum.

Peristiwa Nanking menjadi subjek yang sangat sensitif antara Jepang dan China hingga saat ini. Peristiwa ini juga membuat hubungan China-Jepang begitu rumit. Pembantaian itu dikenang secara luas di China sebagai simbol penderitaan bersama bangsa. Peringatan pemerkosaan dan pembantaian di Nanking adalah pilar penting identitas nasional China.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH HARI INI atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.

SEJARAH HARI INI Lainnya