JAKARTA - Pada 9 Desember 2016, Badan Anti-Doping Dunia (WADA) Badan Anti-Doping Dunia (WADA) mengakui temuan yang disampaikan lewat Laporan Investigasi McLaren Bagian II terkait manipulasi yang dilembagakan dari proses pengendalian doping di Rusia. Manipulasi doping Rusia pertama kali diungkapkan melalui Laporan I yang dirilis pada 18 Juli 2016 yang berfokus pada jumlah atlet yang diuntungkan dari manipulasi tersebut.
Mengutip History, laporan kedua ini menyebut konspirasi doping Rusia melibatkan Kementerian Olahraga Rusia, badan anti-doping nasional dan dinas intelijen FSB. Laporan tersebut juga mendapuk kecurangan ini terjadi pada "skala yang belum pernah terjadi sebelumnya."
"Selama bertahun-tahun, kompetisi olahraga internasional secara sengaja dibajak oleh Rusia," kata seorang penyelidik WADA. "Pelatih dan atlet bermain di lapangan yang tidak rata. Penggemar dan penonton olahraga telah tertipu," tambahnya.
Setelah penyelidikan awal pada Juli 2016, penyelidikan kedua melibatkan lebih dari 1.000 atlet. Banyak di antaranya berkompetisi di Olimpiade 2012 di London dan Olimpiade Musim Dingin 2014 di Sochi, Rusia.
"Ini yang kami harapkan," kata Dmitry Svishchev, kepala federasi curling Rusia. "Tidak ada yang baru, hanya tuduhan kosong terhadap kita semua. Jika Anda orang Rusia, Anda akan dituduh melakukan setiap dosa."
Akibat temuan tersebut, WADA melarang Rusia berpartisipasi di kejuaraan olahraga dunia untuk skema yang disponsori negara. Sebanyak 168 atlet dari Rusia tampil di Pyeongchang, Februari 2018 meski berada di bawah bendera atlet olimpiade dari Rusia (OAR).
Dua atlet di antaranya yaitu Alexander Krushelnitsky dan Nadezhda Sergeeva tidak lolos tes doping. Rusia juga mengikuti Olimpiade Tokyo 2020 meskipun baju yang mereka gunakan hanya diperbolehkan bertuliskan 'Rusia' tanpa logo bendera.
Pada 2019, Rusia kembali mendapatkan larangan empat tahun untuk program doping akibat inkonsistensi data. Namun larangan itu kemudian dikurangi menjadi dua tahun.
Atlet dan kelompok anti-doping bereaksi negatif akan pengurangan larangan tersebut. Para atlet masih dapat bersaing di Olimpiade dan Piala Dunia dengan mengenakan kaus dengan kata 'Rusia.' Peraih medali emas Olimpiade Callum Skinner mengatakan keputusan itu berarti "skandal doping terbesar dalam sejarah yang tidak mendapat hukuman."
Putusan itu juga disayangkan oleh kepala badan anti-doping Amerika Serikat (AS), Travis Tygart, yang menyebutnya sebagai "hasil akhir yang lemah." Tygart berkata: "Untuk sekali lagi lolos dari konsekuensi yang berarti sebanding dengan kejahatan, apalagi larangan nyata, adalah pukulan dahsyat bagi atlet yang bersih, integritas olahraga, dan supremasi hukum."
Kasus perdana
Kasus doping Rusia pertama kali ditemukan pada November 2015. Saat itu komisi independen yang dibentuk WADA yang dipimpin oleh Dick Pound menemukan atlet Rusia cabor atletik berkolusi dengan badan keamanan negara.
Usai temuan tersebut, Federasi Atletik Rusia (RUSAF) dihukum federasi atletik internasional (IAAF). WADA juga menilai Badan Anti-Doping Rusia tidak patuh.
Selain Rusia, Indonesia juga mengalami sanksi dari WADA. WADA menjatuhkan sanksi kepada Indonesia karena tidak mematuhi program test doping plan (TDP). Akibat sanksi tersebut, tim bulu tangkis putra Indonesia tidak bisa mengibarkan bendera Merah Putih di podium Piala Thomas 2020. Tim Indonesia hanya bisa menggunakan bendera PBSI.
WADA juga menjatuhkan hukuman untuk Thailand dan Korea Utara. Thailand yang berhasil memenangkan perunggu Piala Uber 2020 hanya mengebarkan bendera Asosiasi Bulu Tangkis Thailand. Thailand juga dilarang menggunakan mengibarkan bendera nasionalnya saat Piala AFF.
*Baca Informasi lain soal SEJARAH HARI INI atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.
SEJARAH HARI INI Lainnya
BACA JUGA: