Bagikan:

JAKARTA - Sekelompok ilmuwan international menerbitkan jurnal di Science Advances, Jumat 8 April 2022 dan mencatat polusi serta data kualitas udara untuk 46 kota besar depan di Afrika, Asia, dan Timur Tengah. Pengamatan itu berbasis ruang angkasa satelit NASA dan Badan Antariksa Eropa (ESA) dari tahun 2005 hingga 2018. Jakarta termasuk kota yang didata.

Dalam laporan itu mereka menemukan bahwa 470 ribu orang kota-kota dekat katulistiwa meninggal sebelum waktunya pada 2018. Hal ini dipicu oleh polusi  udara yang semakin meningkat bersamaan dengan pertumbuhan kota-kota ini.

Sentinel-5P, satelit pengamat polusi udara yang dimiliki Badan Antariksa Eropa (ESA). (EUROPEAN SPACE AGENCY)

Meningkatnya kematian dini akibat polusi udara di kota-kota tropis yang sedang berkembang dari tahun 2005-2018 menjadi judul makalah ilmiah yang diterbitkan tersebut. Para ilmuwan ini menganalisis peningkatan partikel halus di 46 kota tropis

Penelitian yang dipimpin Karn Vohra dari Geography Departement di University College London, Inggris ini menjelaskan bahwa mereka menemukan tren jangka panjang dalam polusi partikel halus di udara setiap kota. Mereka menemukan bahwa sinar matahari menyebarkan partikel, sehingga ada peningkatan 1,5 hingga empat kali lipat dalam polusi di 33 kota selama 2005 – 2018.

Faktor Penyebab

Menurut Vohra, penurunan kualitas udara disebabkan oleh perindustrian, sumber rumah tangga, dan peningkatan lalu lintas.

"Pembakaran terbuka untuk pembukaan lahan dan pembuangan limbah pertanian di masa lalu sangat mendominasi polusi udara di daerah tropis. Kami menganalisis dan menemukan bahwa kita telah memasuki era baru polusi udara di kota-kota ini,” ujar Vohra.

Vohra bersama timnya memasukkan data ke model risiko kesehatan yang terkait dengan paparan populasi partikel halus dan kematian dini. Hasilnya menunjukkan bahwa 30 persen lebih kematian dini disebabkan polusi ini, dan sebagian kasus terjadi di kawasan Asia.

Kepadatan lalu lintas juga menjadi faktor pemicu ledakan polusi udara Jakarta. (ANTARA)

"Partikel ini menembus jauh ke dalam paru-paru kita dan telah terbukti berdampak pada hampir setiap organ dalam tubuh kita," kata Vohra menambahkan.

Dhaka ibu kota Bangladesh dalam penelitian tersebut memiliki peningkatan terbesar dalam kematian dini akibat polusi udara. Selama masa penelitian ada sekitar 24 ribu orang meninggal sebelum waktunya karena polusi udara. Sedangkan untuk kota-kota India seperti seperti Mumbai, Bangalore, Kolkata, Hyderabad, Chennai, Surat, Pune, dan Ahmadabad dengan total kematian dini sebanyak 100 ribu orang.

Angka di Jakarta

Jakarta mengalami peningkatan kematian dini akibat polusi udara pada tahun 2018 berkisar 0-5 persen dibandingkan tahun 2005.

Jurnal tersebut juga mencatat untuk semua kota yang diamati terdapat peningkatan polutan yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Peningkatan polutan tersebut yaitu 14 persen nitro dioksida (NO2), 18 persen lebih partikel halus (PM 2,5), peningkatan ammonia 12 persen, dan 11 persen senyawa karbon yang mudah menguap (VOC).

Kota Jakarta terdapat penurunan NO2 bersama empat kota lainnya, yang menunjukkan bukti peningkatan kualitas udara karena langkah-langkah kebijakan yang mengarah pada penurunan NO2 dan VOC tetapi tidak pada PM 2,5.

Penggunaan bus listrik diharapkan dalam mengurangi tingkat polusi udara Jakarta. (ANTARA)

Kondisi kota-kota yang diamati semakin buruk karena polusi yang banyak dihasilkan oleh perkembangan aktivitas industri. Penelitian ini menunjukkan bahwa diseluruh daerah tropis terjadi peningkatan 62 persen jumlah kematian dini yang terkait dengan polusi.

“Kami harap dapat mendorong tindakan pencegahan kematian dini karena polusi di daerah tropis”, tambah Vohra.

Akan lebih banyak kematian dini kecuali solusi ditemukan. Namun, dampak terburuk dari polusi udara pada kesehatan kemungkinan akan terjadi dalam beberapa dekade mendatang.