JAKARTA - Juru Bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati di Jakarta, Jumat 8 April mengatakan, hasil survei yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan pengembangan Kementerian Perhubungan mencatat terjadinya lonjakan pemudik pada Lebaran tahun ini. Kenaikan ini terutama dipicu oleh kebijakan pemerintah tentang penangangan COVID-19.
Survei dilakukan pada 22-31 Maret 2022 atau setelah pengumuman oleh Presiden Joko Widodo tentang pelonggaran mudik, jumlah pemudik terdata 85,5 juta orang. Dengan rincian jumlah pemudik Jabodetabek diperkirakan 14,3 juta orang.
Dari survei ini juga diketahui bahwa perjalanan pemudik sebagian besar akan menggunakan angkutan darat, mobil pribadi, dan sepeda motor.
Jasa Marga dalam siaran persnya Senin 11 April melalui Corporate Communication and Community Development Group Head Jasa Marga, Dwimawan Heru Santoso menjelaskan, diperkirakan 2,54 juta kendaraan akan keluar wilayah Jabodetabek pada H-7 sampai H+7 Hari Raya Idul Firi atau pada periode 25 April hingga 10 Mei 2022.
Jumlah itu mengalami kenaikan 10,8 persen pada periode Lebaran 2021 dengan prediksi puncak arus mudik jatuh pada Jumat 29 April 2022. Arus balik diprediksi mengalami puncaknya pada Minggu 8 Mei 2022. Untuk arus balik jumlah kendaraan pada periode yang sama 2,57 juta kendaraan, naik 12,9 persen dari periode Lebaran 2021.
Asal Muasal Tradisi Mudik
Pulang kampung atau mudik, telah menjadi tradisi turun-menurun yang dilakukan masyarakat Indonesia menjelang Lebaran. Orang rela antre berdesak-desakan serta mengalami kemacetan demi tradisi pulang kampung, dengan tujuan untuk bertemu dan bersilahtuhrahmi dengan keluarga di kampung halaman. Mudik secara khusus memang disematkan untuk momen pulang kampung saat Lebaran. Lantas bagaimana awal tradisi mudik lebaran di Indonesia?
Istilah mudik Lebaran baru berkembang sekitar tahun 1970an. Jakarta saat itu sebagai ibu kota mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, dengan berbagai kemajuannya dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia.
Jakarta menjadi dream city bagi sebagian besar orang Indonesia. Sebanyak 80 persen para urbanis datang mengadu nasib ke Jakarta mencari pekerjaan. Bagi mereka yang telah mempunyai pekerjaan, umumnya akan mendapatkan libur panjang pada Lebaran saja. Momentum inilah yang dimanfaatkan untuk mengunjungi keluarga.
Hal ini terus berlanjut dan semakin berakar ketika banyak urbanis yang mencoba peruntungannya. Tidak hanya di Jakarta, tradisi perpindahan penduduk dari desa ke kota juga terjadi di ibu kota provinsi lainnya di Indonesia. Terlebih dengan diterapkan otonomi daerah pada tahun 2000, maka orang semakin banyak mencari peruntungan di kota.
Sama seperti halnya di Jakarta, mereka yang bekerja di kota hanya bisa pulang ke kampung halaman pada saat liburan panjang yakni saat Lebaran. Sehingga momentum ini meluas dan terlihat begitu berkembang menjadi sebuah fenomena.
Media juga memiliki andil besar dalam mem-branding kegiatan pulang kampung ini menjadi sebuah tradisi wajib saat Lebaran. Dengan adanya program perusahaan dan pemerintah yang memudahkan kegiatan pulang kampung, tradisi ini pun semakin berakar. Kegiatan ini juga menjadi pengingat asal usul daerah bagi mereka yang merantau.
Dulu tradisi mudik bagi perantau juga bertujuan menunjukkan eksistensi keberhasilannya. Selain itu, juga ajang berbagi rezeki kepada sanak saudara yang telah lama ditinggal.
"Jadi, awal mulanya ketika mudik berbarengan hari raya, mereka mencari legitimasi sosial kesuksesan di kota besar dan ingin membangun persepsi sukses. Bahwa mereka mendapat pekerjaan, gaji yang besar, hidup yang yang mewah dibandingkan di desa,” kata sosiolog dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Dwi Winarno, seperti dikutip dari CNN Indonesia.
BACA JUGA:
Saat ini kata Dwi, tradisi mudik mengalami pergeseran makna karena bukan lagi pengakuan kesuksesan, tapi juga untuk bersilaturahmi atau bertemu dengan keluarga.
"Liburnya panjang, jadi memungkinkan mereka melakukan banyak aktivitas di kampung, seperti nostalgia dan refleksi kehidupan di kota," tutur Dwi.
Tradisi mudik merupakan kebiasaan yang masih belum tergantikan walau teknologi makin canggih untuk mengucapkan selamat Hari Idul Fitri. Mudik merupakan sebuah kesempatan untuk bertemu keluarga besar dan merayakannya.
Dampak Ekonomi Mudik
Di balik tradisi tahunan setiap Lebaran ini, ada roda ekonomi yang berputar menembus pedesaan seantero Nusantara. Daya beli di pedesaan meningkat karena banyak arus uang dari pusat kota mengalir ke desa-desa.
Direktur Indonesia Development dan Islamic Studies (IDEAS) Bhima Yudhistira mengatakan, sebelum pandemi diperkirakan sedikitnya terjadi perputaran uang sebesar Rp142,2 triliun dari para pemudik untuk keperluan transportasi, akomodasi, konsumsi, dan rekreasi selama Lebaran 2019. Itu dari proyeksi setidaknya 33 juta pemudik. Jika ditambahkan dengan perhitungan tunjangan hari raya (THR) dan tingkat upah minimum provinsi, proyeksi keuangannya membengkak sebesar Rp63,6 triliun.
Pada tahun 2021 Bank Indonesia (BI) menyiapkan uang tunai Rp152,14 triliun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama Ramadan atau Idul Fitri 1442 H. Ritual mudik terbukti bisa menggerakan ekonomi di semua sektor. Jumlah ini naik 39,33% dibanding kan dengan tahun 2020 yang sebesar Rp109,20 triliun.
Data BI menunjukkan akumulasi net inflow atau uang yang masuk dibanding uang yang keluar di Pulau Jawa semakin tinggi. Artinya, perputaran uang di Pulau Jawa cenderung meningkat selama musim mudik Lebaran.
Prediksi BI perwakilan Jawa Timur, arus uang kas kuartal II-2021 atau Lebaran akan mengalami net-outflow (uang yang keluar lebih tinggi dibanding yang masuk bank). Net-outflow masih tetap terjadi meski ada larangan mudik, yang berpotensi menekan pergerakan ekonomi atau perputaran uang di daerah.
Fenomena kontras justru terjadi di kota-kota lain yang menunjukkan net inflow cenderung negatif. Bahkan di Jakarta net inflow bisa minus Rp13,7 triliun. Hal ini tidak lepas dari pergerakan pekerja dari Jakarta ke provinsi lain di Pulau Jawa sehingga perputaran uang di Jakarta terhenti.
Mudik di Negara Lain
Bila mudik begitu meriahnya di Indonesia, bagaimana dengan negara lain? Mereka juga ternyata memiliki tradisi seperti Indonesia. Ada beberapa yang memiliki tradisi mudik seperti di Indonesia. Apa saja?
Malaysia:
Negara yang masih serumpun dengan Indonesia ini juga memiliki tradisi mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri. Karena penduduk Malaysia mayoritas muslim sehingga keramaian saat mudik Lebaran juga terasa,
Warga yang mudik adalah yang merantau ke kota untuk bekerja. Namun Malaysia tidak mengenal istilah mudik atau pulang kampung. Warga Malaysia menyebut tradisi mudik dengan ‘balik kampong’ atau ‘eksodus hari raya’, merujuk pada hiruk pikuk perjalanan ke kampung halaman yang umumnya dimulai pada satu minggu sebelum 1 Syawal. Malaysia memiliki dua kali hari mudik yaitu saat Idul Fitri dan Imlek.
India:
India salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, dan jumlah penduduk muslim sebesar 14,5 persen dari total populasi. Walaupun golongan umat muslimnya minoritas, namun perayaan Lebaran cukup meriah khususnya pada saat mudik.
Selain itu setiap tahun warga India muslim dan nonmuslim akan pulang kampung untuk merayakan festival cahaya atau Diwali. Perayaan jatuh pada bulan Oktober atau November, dan dirayakan selama 5 hari berturut-turut. Perayaan ini sama meriahnya dengan Idul Fitri, karena warga India akan berbondong-bondong pulang kampung.
Pemandangan mudik di negara ini lebih heboh dibanding di Indonesia. Transportasi umum seperti kereta api akan penuh sesak hingga banyak warga yang bergelantungan di pintu, jendela, hingga atap kereta.
China:
Jumlah penduduk China untuk sekarang mencapai lebih dari 1,4 miliar jiwa. Sekitar 18 juta penduduk memeluk Agama Islam. Penduduk beragama Islam kebanyakan tinggal di Xinjiang dan Yunnan. Kedua kota itu selalu merayakan Lebaran secara meriah.
Tradisi mudik warga China merayakan Imlek juga menjadi salah satu kebiasaan mudik terbesar di dunia. Mudik jelang Imlek ini dikenal dengan nama Chunyun. Pulang kampung dengan arus yang paling padat terjadi pada saat Imlek. Perayaan Imlek di Tiongkok jauh lebih meriah dibanding Hari Raya Idul Fitri.
Fenomena mudik di Indonesia merupakan hal unik dan tidak ditemukan di negara lain, terutama jumlah pemudik yang masif. Mudik juga menjadi terapi psikologis memanfaatkan libur Lebaran untuk berwisata setelah setahun sibuk dalam rutinitas pekerjaan sehingga saat masuk kerja kembali memiliki semangat baru.