JAKARTA - Mengizinkan pembakaran salinan kitab suci umat Islam Al Quran, di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm, adalah “kesalahan besar” dan undang-undang mengenai kejahatan kebencian di negara itu harus diubah, kata Dewan Komunitas Yahudi Swedia.
Ketua Dewan Komunitas itu, Lena Posner-Korosi, mengatakan kepada Anadolu, Swedia memiliki UU mengenai kebebasan berekspresi dan protes, tetapi UU tersebut seharusnya tidak melewati batas hingga mengarah pada ujaran kebencian.
Sambil mengacu pada UU terkait kejahatan dan ujaran berdasarkan kebencian, ia menyebut “mengerikan dan menakutkan” bahwa UU tersebut membolehkan orang melakukan tindakan-tindakan yang menyerang Al Quran, Alkitab, dan Taurat.
Meskipun pelaku memiliki hak hukum, katanya, polisi seharusnya tidak mengizinkan orang yang bersangkutan melakukan tindakan itu di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm, demikian dilansir ANTARA, Kamis, 26 Januari.
Pada 21 Januari, Rasmus Paludan, politisi ekstrem kanan Denmark, membakar Al Quran di depan Kedubes Turki di Stockholm --di bawah perlindungan polisi dan izin dari otoritas-- hingga memicu gelombang kecaman dari dunia Arab dan Islam.
“Tindakan itu jelas adalah provokasi. Ia bebas melakukannya di Swedia tetapi ia tidak bisa memilih di mana akan dilakukan, itu seharusnya tidak diizinkan. Itu adalah kesalahan besar,” kata Posner-Korosi.
Ancaman bagi Demokrasi
Posner-Korosi juga mengatakan mereka harus angkat suara sebagai minoritas di Swedia.
Dia menegaskan kejadian tersebut tidak dapat diterima dan juga merupakan ancaman bagi demokrasi.
“Kita harus merasa aman sebagai minoritas dalam masyarakat demokrasi. Kita harus bisa bebas di jalanan, tidak ada yang boleh melecehkan kita,” katanya.
“Hal ini menimbulkan dilema, tapi kami berdampingan bersama masyarakat Muslim dan kami tidak akan menyerah. Kami akan mengangkat isu ini lagi dan lagi,” ujar Posner-Korosi.
Mungkin ada upaya untuk merevisi undang-undang, katanya.
BACA JUGA:
Menurut Posner-Korosi, di Kota Malmo, Swedia selatan, seorang wanita menjadi sasaran kejahatan kebencian karena memakai jilbab dan jilbabnya coba dilepas.
Perlakuan serupa, sambung Posner-Korosi, dialami oleh seorang pria Yahudi yang mengenakan kipah (tutup kepala yang dipakai laki-laki Yahudi).
"Bahasa kebencian digunakan terhadap warga Muslim dan Yahudi," katanya.
Posner-Korosi juga mendesak kedua komunitas untuk melaporkan kejadian-kejadian seperti itu kepada polisi supaya tergambar dalam statistik.
Dia menyayangkan keadaan masyarakat Swedia bersifat homogen, yang tidak terbiasa dengan imigran dan kaum minoritas.
“Ketika terjadi kejahatan kebencian secara fisik maupun verbal, tidak jelas apakah pelaku sudah pasti akan dihukum," kata Posner-Korosi.
"Polisi perlu menyelidiki. Undang-undang perlu direvisi dalam ruang lingkup kebebasan beragama dan kejahatan rasial terhadap minoritas."