JAKARTA – Candu terhadap konten pornografi kembali menjadi sorotan setelah kasus pemerkosaan dan pembunuhan di Palembang. Pelaku yang berjumlah empat orang masih di bawah umur dan ketahuan memiliki beberapa video porno di gawainya.
Safarudin tak akan lagi bisa melihat putrinya, AA (13), yang tewas terbunuh. Korban ditemukan meninggal di Tempat Pemakaman Umum Talang Kerikil, Palembang, Sumatra Selatan pada Minggu (1/9/2024).
Tidak berselang lama, polisi berhasil menangkan pelaku. Jumlahnya diketahui empat orang, dengan pelaku utama IS (16), dan tiga orang lainnya yakni MZ (13), NS (12), dan AS (12). Korban diketahui diperkosa sebanyak dua kali secara bergantian oleh keempat pelaku dalam kondisi sudah tidak bernyawa.
Dari hasil pemeriksaaan terhadap pelaku, polisi menyebut motif dari empat pelaku melakukan pemerkosaan terhadap AA karena ingin menyalurkan hasratnya. Ini karena pelaku disebut polisi kecanduan konten pornografi.
Dorongan Seks Tidak Terkendali
Keterangan polisi yang menyatakan bahwa pelaku kecanduan konten pornografi sudah sepatutnya menjadi alarm bagi semua. Sudah sejak lama peredaran konten pornografi menjadi perhatian berbagai kalangan, terutama para pemerhati anak.
Bicara soal pornografi, ini bukan hal yang asing di telinga. Di tengah era digital seperti sekarang, penyebaran konten pornografi sulit dibendung, sehingga mudah diakses oleh siapa saja, termasuk anak-anak. Hal ini tentu menjadi masalah yang pelik di tengah masyarakat, bahkan perlu penanganan serius.
Kepada VOI, psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto mengatakan anak yang terpapar konten pornografi akibat minimnya pemantauan dari orangtua membuat anak-anak dapat mengakses video dan informasi yang tidak pantas dan membuat mereka tertarik untuk mencoba.
Sedangkan psikolog Elly Risman mengatakan apabila anak terpapar pornografi, akan mengalami kerusakan otak. Menurutnya, kerusakan otak akibat pengaruh pornografi yang tergambar di mesin Magnetic Resonance Imaging (MRI), hasilnya sama dengan kerusakan pada mobil saat tabrakan keras.
Bagian Pree Frontal Cortex (PFC) dalam otak akan rusak ketika anak melihat pornografi. Padahal PFC adalah pusat nilai, moral, tempat di mana merencanakan masa depan, tempat mengatur manajemen diri. Bagian otak alis kanan atas inilah yang menentukan jadi apa seorang anak nantinya. Karena itulah PFC juga disebut direktur yang mengarahkan kita.
“Pornografi masuk lewat mata, kemudian langsung ke pusat perasaan di otak bagian belakang atau respondent. Maka perasaan anak deg-degan, nafsu, bergejolak, dan tidak puas ketika melihat konten pornografi,” ujar Elly Risman.
Selanjutnya respondent akan mengeuarkan hormon yang disebut dopamin. Hormon ini akan mengeluarkan zat yang akan membuat anak merasa senang, nikmat, bahagia, dan membuat anak kecanduan. Dari sinilah awal mula anak akan melihat konten pornografi berulang kali.
Yang lebih parahnya lagi, dikatakan Elly, candu pornografi membuat orang menjadi dissentifisasi. Gambar porno yang sudah dilihat tidak akan dilihat ulang karena dianggap sudah tidak berpengaruh lagi, maka yang ingin dilihat adalah yang ‘lebih’ dari sebelumnya lantaran rasa sensitifnya hilang. Oleh karena itu, pecandu pornografi akan selalu meningkat candunya seperti menaiki tangga, merasa ingin lebih, lebih, dan lebih lagi.
BACA JUGA:
“Ketika anak melihat satu kali pornografi maka dia ingin dua, tiga, empat kali lagi,” ujar Elly Risman.
Ia menambahkan, gambar pornografi sering melewati PFC, maka bagian yang menyimpan moral dan nilai, membuat perencanaan hidup ini, akan menciut, mengecil dan akibatnya dorongan seks akan tidak terkendali, karena mata tidak bisa ditahan, otak menjadi rusak dan ketagihan seks.
Butuh Pengawasan Orangtua
Psikolog forensik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Lucia Peppy mengatakan, secara umum anak usia dini sampai sekolah memiliki kekhasan dalam meniru. Mereka, ujar Lucia, memproduksi apa yang dilihat.
"Misalnya anak-anak melihat orang memukul tapi ekspresinya senyum, maka dipikirannya bahwa memukul itu bikin senang. Tapi karena kemampuan diri mereka dalam mengontrol emosi, moral, dan sosial belum sempurna jadinya tidak bisa bernalar dengan baik," ujar Lucia Peppy.
Konsumsi berlebihan terhadap konten-konten pornografi atau seksual, kata Lucia Peppy, akan membuat 'kamus memori otaknya' dipenuhi oleh aktivitas-aktivitas seksual. Dan ketika berinteraksi dengan perempuan bisa menjadi agresif. Terutama bagi remaja yang sudah pubertas, dorongan melakukan aktivitas seksual dini sangat mungkin terjadi akibat candu konten pornografi.
"Kayak menyentuh bagian-bagian tubuh perempuan atau bicaranya jadi cabul. Jadi dunianya terbatas pada seksual saja,” imbuhnya.
Meniadakan gawai sama sekali untuk anak, memang agak mustahil dilakukan apalagi di era sekarang ini. Untuk itu, psikolog Halina Maulidha mengimbang para orangtua mengawasai penggunaan gawai pada anak dan mengenali peringkat atau rating permainan yang mereka mainkan.
Selain itu, orangtua juga perlu paham icon (tanda) yang tertera pada permainan daring sehingga lebih mudah mengawasi apakah gim atau tontonan tersebut aman untuk anak-anak atau tidak. Ia mencontohkan, konten berbentuk kartun belum tentu tepat untuk anak-anak.
“Karena ada juga sekarang kartun yang berisi konten tentang LGBT hingga pornografi. Tampilan visual sering kali menipu, sehingga banyak orangtua yang tidak menyadari permainan atau tontonan anak yang ternyata kurang cocok untuk disaksikan anak-anak," katanya.
Karena itu, ia meminta orangtua terus belajar dan mengetahui permainan atau tontonan yang dimainkan maupun disaksikan. Jika konten yang terkandung dalam permainan atau tontonan yang disaksikan kurang tepat untuk anak, orangtua bisa mengedukasi anak-anaknya dan memberikan solusi dengan memberikan tontonan atau permainan yang pas untuk mereka. Dengan menerapkan hal ini, anak-anak dapat terlindungi dari pengaruh hal-hal negatif.
"Dampaknya, kelak remaja yang berkualitas juga akan mampu untuk mewujudkan Indonesia Emas," pungkasnya.