JAKARTA - Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri menolak rencana impor beras 1 juta ton tahun ini. Ada beberapa alasan mengapa ia menentang keinginan pemerintah, salah satunya adalah konsumsi beras yang turun saat bulan puasa atau Ramadan.
Faisal mengatakan sejauh ini berdasarkan pengamatannya, level harga relatif stabil. Termasuk tidak ada ancaman terhadap harga beras di pasaran. Sehingga, tidak ada early warning system yang menunjukkan harus impor beras.
"Saya punya keyakinan menjelang puasa, lebaran ini harga akan relatif stabil karena orang puasa konsumsi beras akan turun. Jadi jangan mengada-ada, menjustifikasi impor ini," tutur Faisal Basri dalam diskusi virtual, Senin, 22 Maret.
Apalagi, kata dia, konsumsi pangan khususnya komoditas beras juga mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Hal ini menggambarkan bahwa impor berasa memang belum dibutuhkan.
"Konsumsi beras juga turun dari waktu ke waktu. Rerata konsumsi seminggu menunjukkan penurunan terus menerus. Tekanan terhadap produksi juga tidak terlalu meningkat atau boleh jadi tidak meningkat," jelasnya.
Selain itu, kata Faisal, adanya sejumlah tren perbaikan dari kinerja maupun infrastruktur penunjang pertanian dalam negeri. Bahkan, di tengah tekanan pandemi COVID-19, sektor pertanian justru mencatatkan pertumbuhan positif. Di mana, subsektor tanaman pangan tumbuh positif 3,54 persen atau tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Tak hanya itu, kata dia, dua tahun terakhir ada perbaikan terhadap ada momentum perbaikan ketahanan pangan nasional. Hal ini dilihat dari keberhasilan pemerintah untuk terus meningkatkan ketersediaan lahan untuk komoditas beras. Sebagaimana yang dihimpun dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA).
"Lahan kita naik untuk beras dari 7,1 juta hektare (ha) menjadi 7,46 juta ha dari hasil pendekatan baru untuk mengestimasi lewat KSA misalnya," tuturnya.
Kemudian, Faisal mengatakan, alasan lain dirinya menolak impor beras adalah telah mantapnya infrastruktur penunjang sektor pertanian padi saat ini. Hal itu menyusul aksi kerja cepat pemerintah dalam membangun infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia.
Karena itu, menurut Faisal, sangat ironi jika pemerintah tetap ngotot untuk membuka keran impor beras pada saat ini. Sebab, kondisi sektor pertanian dalam negeri saat ini tengah berada dalam tren yang positif.
"Jadi, ini momentum sekali lagi untuk mematri agar (pertanian) kita lebih kuat lagi. Saya kok terkejut dengan rencana impor pangan di tengah tren seperti ini," tuturnya.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi memastikan tidak ada impor beras saat memasuki masa panen raya, sehingga harga di pasaran akan aman. Ia menekankan, rencana impor 1 juta ton beras bukan untuk menghancurkan harga beras petani.
"Saya jamin tidak ada impor saat panen raya. Dan hari ini tidak ada beras impor yang menghancurkan harga petani, karena memang belum ada yang diimpor," katanya dalam konferensi pers virtual, Jumat, 19 Maret.
Lebih lanjut, Lutfi berujar pemerintah tidak pernah menyatakan produksi beras dalam negeri kurang atau berlebih. Tetapi yang selalu ditekankan adalah Bulog harus memiliki stok cadangan atau iron stock sebanyak 1 juta hingga 1,5 juta ton.
"Angka stok itu merupakan prinsip dasar pemerintah yang sudah kita punya bertahun-tahun. Kemudian Bulog akan mengadakan pengadaan itu baik lokal maupun internasional," tuturnya.
Lebih lanjut, Lutfi berujar impor yang dimaksud adalah kebijakan untuk pemenuhan stok di Bulog. Menurut dia, hal ini untuk berjaga-jaga mengingat rendahnya daya serap gabah oleh Bulog pada Maret, di mana faktor musim hujan yang berdampak pada basahnya gabah.
Kata Lutfi, dalam Permendag Nomor 24 Tahun 2020 diatur syarat dalam menyerap gabah. Salah satunya adalah masalah tingkat kekeringan atau kadar air dari gabah tersebut. Karena itu, Bulog hanya bisa menyerap 85 ribu ton gabah.