JAKARTA - Ekonom Senior Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri menayangkan rencana pemerintah untuk impor beras 1 juta ton. Sebab, Indonesia merupakan negara yang besar dan sangat subur.
"Ironis, negara seperti Indonesia yang sangat subur, keragaman hayatinya luar biasa banyak. Kita jadi pengimpor terbesar di dunia," kata Faisal Basri dalam diskusi virtual, Senin, 22 Maret.
Dalam perspektif komparasi, kata Faisal, food security berdasar Global Food Safety Initiative (GFSI) 2020, Indonesia menempati posisi di nomor 65 dari 112 negara. Harus diakui, Indonesia lebih rendah dari Thailand, Vietnam, Malaysia, China, tapi sedikit lebih baik dari Kamboja dan Filipina, juga Afrika Selatan.
Namun, kata dia, pada 2020, Indonesia kembali turun lagi, mundur ke posisi di tahun 2018 dari 62 ke 65. Meski begitu, menurut Faisal, posisi ini masih cukup baik untuk Indonesia.
"Tapi oke. Dari segi affordability kita lumayan bagus, skornya 73,5. Availability juga kita relatif baik. Rankingnya lebih banyak dari keseluruhan, yaitu 48 dengan skor 64,7," jelasnya.
Faisal mengatakan harga beras di Tanah Air relatif stabil dibanding harga beras internasional. Karena pandemi COVID-19, kemungkinan munculnya ancaman terhadap sektor pangan dunia ada. Negara-negara banyak membutuhkan pangan, sementara pasokannya segitu-gitu saja, sehingga menyebabkan harga meningkat.
"Utamanya harga Vietnam, Thailand juga. Indonesia tidak terkena fenomena ini. Lagi-lagi sebagai bukti availability Indonesia kian membaik," tegasnya.
Menurut Faisal, yang harus perhatikan adalah quality and safety. Karena Indonesia berada di nomor 85 dari 113 negara dengan skor di bawah 50. Kemudian, natural source and resilience itu kita nomor 109 dari 113. Bahkan tahun 2019 Indonesia paling bawah, nomor 113 dari 113 negara dengan skor hanya 34,1.
"Pertanian ini utamanya beras sangat bergantung pada kebijakan yang ramah lingkungan, kebijakan green economy yang butuh payung untuk pertanian yang ramah lingkungan dan sektor-sektor lain juga mendukung keramahan pertanian ini," ucapnya.
Faisal mengatakan untuk beras, ada kecenderungan produksi naik terus, walaupun kenaikannya landai. Namun, untuk konsumsi turun terus. Karena upaya pemerintah dalam diversifikasi pangan non beras yang lebih sehat, tapi harganya lebih mahal.
BACA JUGA:
"Konsumsi yang turun juga disebabkan oleh berkembangnya middle class, sehingga tidak lagi banyak mengkonsumsi pangan atau konsumsi beras relatif kecil. Ini sudah tren. Jadi ini momentum agar kita bisa mematri agar lebih kuat," tuturnya.
Di samping itu, Faisal mengingatkan agar pemerintah tak mengulangi kesalahan di tahun-tahun lalu, tepatnya di 2018. Di mana saat itu, Indonesia mengimpor 4 juta ton beras.
"Jangan kita ulangi kesalahan tahun 2018, kita impor beras 4 juta ton, tapi berhasil digagalkan 2 juta ton dan sudah masuk sekitar 1,2 juta ton, ini kacau balau dan tidak boleh terjadi lagi," tegasnya.
Menurut Faisal, sekarang Indonesia sudah punya estimasi yang lebih baik. Sehingga, memiliki data yang lebih solid. Karena itu, kesalahan di tahun-tahun lalu jangan sampai diulangi.
"Karena setidaknya kita bisa hemat 1 miliar dolar AS. Ini bisa kita gunakan untuk modernisasi sektor pertanian, supaya produktivitas kita naik. Jadi, ke depan kuncinya adalah peningkatan produktivitas," ucapnya.
Faisal menilai, jika Indonesia memiliki badan pangan, kemungkinan tidak akan ada masalah impor seperti ini. Pengalaman menunjukkan, beberapa tahun belakang, Indonesia mengimpor beras tatkala panen dan impor sedikit saat paceklik.
"Ini kenapa pola seperti ini tidak tahu saya. Dan ini akan terulang, jika sekarang kita tidak teriaki," ujarnya.