Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Senior Indef Faisal Basri mengkritik rencana pemerintah untuk menerapkan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 200 persen untuk keramik impor asal China.

Dia menilai, rencana tersebut diambil tanpa analisis yang memadai.

Faisal juga menilai China hanya dijadikan kambing hitam atas permasalahan industri manufaktur Indonesia yang sedang merosot. Sebab, dalam penyelidikan dilakukan pemerintah saat industri manufaktur memang belum pulih dari dampak COVID-19.

“Periode penyelidikan itu (dilakukan saat) industrinya masih banyak yang merah. Jadi ini tren industri. Tiba-tiba solusinya BMAD apa sih gitu norak banget gitu. Jump conclusion-nya, cari kambing hitam,” ujarnya dalam diskusi Indef di Jakarta, Selasa, 16 Juli.

Menurut Faisal, fenomena banjir keramik China tidak terjadi di Indonesia. Berdasarkan data International Trade Center (ITC), volume impor dari China untuk HS code 690721 justru mengalami penurunan pada periode 2019 hingga 2020.

Faisal juga mengatakan untuk HS code lainnya juga mengalami hal yang sama. Seperti volume impor HS code 690722 sebesar 27.000 ton pada 2020. Namun, pada 2021 memang terjadi kenaikan mencapai 50.000 ton dan kembali turun pada 2022 menjadi 48.000 ton.

Mengacu pada data ITC tersebut, Faisal mengaku tidak melihat bahwa Indonesia kebanjiran produk keramik impor dari China.

“Ini dari International Trade Center. Kita tunjukkan sekali lagi tahun 2019 itu 900.000 ton untuk HS code 690721. Tahun 2020 sebesar 863.000 ton. Tahun 2021 naik jadi 1,1 juta ton. Di 2022 sudah turun lagu jadi 1 juta ton,” jelasnya.

“Jadi mana yang namanya dibanjiri oleh impor? Saya bingung. Dibanjiri kan? Mana? Ini fenomena sebelum COVID kok. Ini data resmi loh, bukan data saya,” sambungnya.

Selain itu, Faisal juga mengatakan kontrubusi China dalam ekspor impor ke Indonesia relatif kecil.

Di mana Indonesia hanya menyumbang 1,9 persen dari keseluruhan ekspor China. Sedangkan Indonesia hanya 2,9 persen dari total keseluruhan impor China.

Bahkan, Faisal menilai, dibanding dengan Indonesia, China justru lebih banyak impor dari negara tetangga yakni Malaysia dan Vietnam.

“Jadi buat China, Indonesia itu enggak penting-penting amat sebagai mitra dagangnya. Tujuan ekspor hanya 1,9 persen dari total ekspor. Impor dari Indonesia hanya 2,9 persen. Kalah dengan Vietnam dan Malaysia. Jadi lebih banyak China itu impor dari Malaysia dan Vietnam,” ucapnya.