Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) menyatakan bahwa kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk keramik impor harus didukung penuh karena merupakan instrumen perlindungan terhadap industri dalam negeri, yang juga sesuai dengan peraturan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).

Ketua Umum Asaki Edy Suyanto mengatakan, pihaknya merasakan adanya kelompok tertentu yang tidak apabila suka industri keramik nasional menjadi tuan rumah yang baik di negeri sendiri.

Edy menyebut, industri keramik nasional masih bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, baik dari sisi volume produksi maupun tipe/jenis keramik Homogeneous Tile (HT) semua bisa dipenuhi oleh produsen keramik nasional.

Dia menambahkan, bahkan saat ini industri keramik masih memiliki kapasitas idle sebesar 60 persen atau sekitar 80-90 juta meter persegi untuk keramik jenis HT yang mana merupakan mayoritas keramik impor dari Tiongkok.

Menurutnya, industri keramik memiliki idle kapasitas sebesar itu karena adanya praktik unfair trade alias tindakan dumping dan predatory pricing yang merugikan produsen keramik dalam negeri.

"Sangat disayangkan terjadi defisit 1,5 miliar dolar AS selama 2019-2023 hanya karena keramik impor yang seharusnya tidak perlu terjadi karena sejatinya kami mampu produksi. Namun karena praktik dumping tersebut, pemerintah dan rakyat jelas yang dirugikan," ujar Edy dalam keterangan resminya, Selasa, 16 Juli.

Lebih lanjut, Edy menuturkan, yang menjadi kekhawatiran pihaknya saat ini adalah importasi keramik yang sangat masif.

Sebab, ada puluhan juta meter persegi keramik yang akan masuk dalam waktu satu bulan ke depan sebagai langkah antisipasi para importir menunggu diberlakukannya BMAD.

Asaki juga kembali menegaskan bahwa tidak hanya industri keramik nasional yang dirugikan, tetapi konsumen dalam negeri juga dirugikan selama ini.

"Yang mana hanya disuguhi dengan harga dumping/predator pricing dengan kualitas murahan dari produk impor tersebut karena terjadi pengurangan kualitas. Salah satu contohnya penurunan ketebalan keramik yang sebelumnya 1 cm menjadi 7 mm. Ini tentu memengaruhi kekuatan dari keramik itu sendiri yakni, bending dan breaking strength-nya menurun," tutur Edy.

Ketua Asaki itu pun mencontohkan negara-negara maju seperti, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Timur Tengah telah melakukan hal serupa terhadap produk keramik asal Tiongkok untuk melindungi industri keramik dalam negeri.

Hasilnya, hingga saat ini tidak ada keberatan maupun tuntutan balik oleh Tiongkok ke WTO karena memang terbukti praktik dumping tersebut.

"Kenapa mereka melakukan praktik dumping? Karena over capacity dan supply, yang mana industri keramik Tiongkok memiliki kapasitas produksi sekitar 11-12 miliar meter persegi dan saat ini jalan dengan utilisasi sekitar 50-55 persen," ungkapnya.